Liputan6.com, Jakarta - Setahun kurang tiga bulan perkara megakorupsi KTP Elektronik yang melibatkan bekas Ketua DPR Setya Novanto bergulir.
Dinamika pelik mewarnai perkara yang menyedot perhatian banyak orang ini. Mulai dari drama sakit Setya Novanto, hingga kecelakaan lalu lintas yang melibatkan tiang lampu jalan, hingga dugaan menghalangi penyidikan KPK.
Untuk kasus menghalangi penyidikan KPK, saat ini masih bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan dua terdakwa dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo, dan pengacara Setya Novanto Fredrich Yunadi.
Advertisement
Setya Novanto dituntut hukuman 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan oleh jaksa penuntut umum. Mantan Ketua Umum Golkar itu dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi e-KTP yang ditaksir merugikan negara hingga Rp 2,5 triliun.
Jaksa KPK juga menuntut agar Setnov mengembalikan uang sebesar USD 7,3 juta dikurang Rp 5 miliar. Diketahui Setnov sudah mengembalikan Rp 5 miliar kepada KPK. Selain itu, jaksa KPK meminta agar Majelis Hakim Pengadilan Tipikor mencabut hak politik mantan Ketua DPR RI itu selama lima tahun.
Liputan6.com coba merangkum perjalanan kasus yang menjerat mantan Ketua Umum Partai Golkar tersebut, mulai dari lika-liku penetapan tersangka sebanyak dua kali hingga perlawanan politikus Partai Golkar.
Berikut perjalanan kasus yang bergulir sejak Juli 2017 tersebut:
17 Juli 2017, Setya Novanto ditetapkan tersangka pertama kalinya
Ketua KPK Agus Rahardjo menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka megakorupsi KTP elektronik. Selang dua hari, Rabu 19 Juli 2017, KPK tetapkan politikus Partai Golkar Markus Nari sebagai tersangka. Setnov juga tak pernah diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Markus.
Pemeriksaan perdana Setnov sendiri sebagai tersangka dijadwalkan pada 11 September 2017, namun dia tak hadir dengan alasan sakit. Kemudian pada 18 September 2017, KPK melakukan pemanggilan ulang dan Setnov kembali mangkir
5 September 2017, Setya Novanto Melawan
Setya Novanto resmi mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Setya Novanto tak terima dirinya ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Setya Novanto sudah mengajukan praperadilan di PN Jakarta Selatan tanggal 4 September 2017," ujar Humas PN Jakarta Selatan Made Sutrisna saat dikonfirmasi, Selasa 5 Septembert 2017.
Pengajuan praperadilan tersebut tercatat dengan Nomor 97/Pid.Prap/2017/PN Jak.Sel, yang diajukan oleh tim advokasi Setya Novanto. Terkait waktu persidangan, Made mengaku masih mencari jadwal yang tepat.
Â
Setya Novanto Sakit usai Jadi Tersangka
18 September 2017, Setya Novanto Sakit usai Jadi Tersangka Â
Setya Novanto dirawat di RS Premier. Dia menderita beberapa penyakit, mulai vertigo hingga jantung. Di rumah sakit ini, Setya Novanto sempat menjalani operasi kateterisasi jantung.
Jumat 29 September 2017, Setya Novanto Menang Praperadilan
Persidangan perkara praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto akhirnya berakhir. Hakim tunggal perkara praperadilan itu, Cepi Iskandar, memutuskan menerima gugatan Setya Novanto.
"Penetapan Setya Novanto sebagai tersangka tidak sah," kata Cepi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/9/2017).
Ia mengatakan, gugatan Novanto dikabulkan sebagian. Cepi menambahkan, proses hukum Setya Novanto harus dibatalkan.
Karena itu, ia meminta KPK menghentikan perkara Novanto. KPK juga diminta mencabut status pencegahan Setya Novanto ke luar negeri.
2 Oktober 2017, Menang Praperadilan, Setya Novanto Sehat
Setya Novanto meninggalkan Rumah Sakit Premier Jatinegara setelah dirawat beberapa hari di sana. Dia menjalani operasi pemasangan ring di jantungnya di RS Premier. Pemasangan ring tersebut diakibatkan adanya penyempitan fungsi pada jantungnya. Setelah menjalani operasi, Novanto dirawat di Intensive Cardiology Care Unit (ICCU).
31 Oktober 2017, KPK Tetapkan Setya Novanto Tersangka Kedua Kalinya
Ketua DPR Setya Novanto kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK melalui Sprindik yang diterbitkan 31 Oktober 2017. Namun, KPK baru mengumumkan status resmi tersangka Setya Novanto pada Jumat, 10 November 2017. Lembaga antirasuah itu mengaku memiliki bukti kuat setelah dilakukan proses penyelidikan.
"Setelah proses penyelidikan dan ada bukti permulaan yang cukup, pemimpin KPK, penyelidik, penyidik, dan penuntut umum melakukan gelar perkara pada 28 Oktober 2017, KPK menerbitkan sprindik atas nama tersangka SN, sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, saat mengumumkan status tersangka Setya Novanto.
Â
Advertisement
Setya Novanto kembali Melawan
15 November 2017, Setya Novanto kembali Melawan
Setya novanto mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait penetapan status tersangka untuk kedua kalinya.
15 November 2017, Mangkir Pemanggilan KPK, Hadir di DPR
Ketua Umum Partai Golkar itu kali terakhir muncul di depan publik pada Rabu sore 15 November 2017, saat memimpin pembukaan Masa Sidang II Tahun 2017/2018 di Gedung DPR RI. Kegiatan itu dijadikan dalih Setya Novanto untuk tidak hadir dalam pemeriksaan sebagai tersangka.
KPK lantas mencari Setya Novanto di kediamannya di Jalan Wijaya XIII, Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan berbekal surat perintah penangkapan atas namanya. Namun, penyidik tidak menemukan keberadaan Novanto
16 November 2017, Tabrak Tiang Lampu
Setya Novanto masuk rumah sakit. Ia dirawat di RS Medika Permata Hijau. Mobil Fortuner B 1732 ZLQ yang ditumpanginya naik ke trotoar di Jalan Permata Berlian, sekitar pukul 19.00 WIB.
Bagian depan kendaraan itu penyok-peyok, sementara tiang listrik yang ditabraknya masih tegak berdiri, hanya posisinya yang bergeser.
Pengacaranya, Fredrich Yunadi mengatakan, akibat kecelakaan itu, Setya Novanto mengalami luka-luka dan langsung pingsan. Mobilnya pun hancur…cur…cur.
Dengan menggunakan ojek, Ketua DPR RI itu kemudian dibawa ke RS Media Permata Hijau yang dekat dengan lokasi kecelakaan.
"Beliau dibawa ke sini pakai ojek karena sudah pingsan, sudah ketakutan, sudah bingung," kata dia di RS Medika Permata Hijau, Kamis malam (16/11/2017).
Rabu 6 Desember 2017, Berkas Perkara Setya Novanto Dilimpahkan ke Pengadilan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan berkas perkara Setya Novanto ke Pengadilan Tipikor. Lembaga antirasuah itu kini menunggu jadwal sidang perdana untuk tersangka kasus e-KTP.
Dengan begitu, gugatan praperadilan jilid dua Setya Novanto terancam batal. Merujuk pada Pasal 82 ayat (1) KUHAP yang menyebut, 'Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa ‎oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur’.
Sedangkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 102/PUU-XIII/2015 menyatakan, permintaan praperadilan dinyatakan gugur ketika sidang perdana pokok perkara terdakwa digelar di pengadilan.
Artinya, jika sidang perdana alias pembacaan dakwaan terhadap Setnov digelar di Pengadilan Tipikor, maka gugatan praperadilan akan gugur dengan sendirinya.
Â
Halangi Penyidik KPK
10 Januari 2018, Pengacara Setya Novanto dan seorang dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau, dr Bimanesh Sutarjo ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya dinilai menghalangi penyidikan KPK.
Kamis 29 Maret 2018, Setya Novanto Dituntut 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar
Setya Novanto dituntut jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK dengan hukuman 16 tahun penjara. JPU menilai, mantan Ketua DPR itu secara hukum dan bukti yang ada telah melakukan korupsi dalam pengadaan proyek e-KTP.
"Meminta majelis hakim, memutuskan menyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan menjatuhkan penjara 16 tahun, denda 1 miliar rupiah subsider 6 bulan kurungan," tegas JPU dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis 29 Maret 2018.
Dalam persidangan, Setnov dinyatakan terlibat dalam korupsi senilai Rp 2,3 triliun, ketika yang bersangkutan menjabat Ketua Fraksi Golkar di DPR.
Uang itu tidak diterima Setya Novanto secara langsung. Untuk mengaburkan aliran dana, uang diberikan dari orang yang berbeda. Setya Novanto mendapat US$ 3,5, juta dari Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, Direktur PT Murakabi Sejahtera selaku peserta lelang proyek e-KTP.
Ia juga mendapat US$ 3,8 juta secara bertahap dari Made Oka Masagung pemilik OEM Investment. Total Setnov menerima US$ 7,3 juta.
"Berdasarkan fakta hukum, maka dapat disimpulkan bahwa terdakwa telah menerima pemberian fee seluruhnya berjumlah USD 7,3 juta," ujar jaksa Wawan saat membacakan surat tuntutan.
Jaksa juga menolak permohonan justice collaborator yang diajukan Setya Novanto. "Dari keterangan terdakwa, kami jaksa penuntut umum menilai terdakwa belum memenuhi kualifikasi sebagai justice collaborator. Untuk itu, jaksa belum dapat memenuhi permohonan terdakwa," ujar jaksa Abdul Basir dalam pembacaan tuntutan.
Kamis 29 Maret 2019, KPK Bidik Cuci Uang Megakorupsi e-KTP
KPK tidak ingin penyidikan megakorupsi e-KTP berhenti di pidana pokoknya. KPK berupaya menelusuri aliran duit e-KTP sampai ke para penerimanya.
KPK membuka kemungkinan menjerat Setya Novanto dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP. Dalam tuntutan terhadap Setnov, jaksa KPK sempat menyinggung tentang 'cita rasa' pencucian uang di kasus proyek bernilai Rp 5,9 triliun ini.
"Pada prinsipnya, yang muncul di persidangan kami pelajari dan yang relevan akan kami dalami. Pengembangan bisa dilakukan terhadap perbuatan lain yang diduga dilakukan terdakwa Setya Novanto, seperti TPPU atau perbuatan lain," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Kuningan Jakarta Selatan, Kamis 29 Maret 2018.
Rabu 4 April 2018, KPK Tahan Perantara suap Setya Novanto
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan pengusaha sekaligus tersangka kasus dugaan megakorupsi e-KTP, Made Oka Masagung. Orang yang disebut-sebut sebagai perantara suap kepada Setya Novanto itu ditahan di rumah tahanan KPK usai menjalani pemeriksaan.
"Proses penahanan secara formil sudah dilakukan, tadi surat perintah penahanan sudah ada. MOM (Made Oka Masagung) di tahan 20 hari pertama tempatnya di rutan cabang KPK," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu 4 April 2018.
Sebelumnya, KPK menetapkan keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi dan Made Oka Masagung sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. KPK menduga Irvanto menampung uang dari keuntungan proyek e-KTP.
"IHP (Irvanto Hendra Pambudi) diduga menerima US$ 3,5 juta pada periode 19 Januari hingga 19 Februari 2012 yang diperuntukkan kepada Setnov secara berlapis melewati sejumlah negara," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK Kuningan Jakarta Selatan, Rabu, 28 Februari 2018.
Menurut dia, Irvanto juga disinyalir sudah mengetahui sejak awal soal fee sekitar 5 persen dari nilai proyek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun untuk anggota DPR periode 2009-2014.
"Konsorsium Murakabi walaupun kemudian kalah diduga sebagai perwakilan Setya Novanto. Ini diketahui IHB adalah keluarga (keponakan) Setya Novanto," jelas dia.
Jumat 13 April 2018, Bacakan Pembelaan, Setya Novanto Bantah Intervensi Proyek e-KTP
Setya Novanto membacakan pembelaan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam pembelaanya itu, dia membantah ikut cawe-cawe dalam mega proyek KTP elektronik atau e-KTP yang merugikan negara sekitar Rp 2,3 triliun itu.
Dia juga mengaku tidak terlibat pemberian fee untuk DPR. Ia menjelaskan kesepakatan itu melibatkan Irman, mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri, dan mantan Ketua Komisi II DPR, Burhanuddin Napitupulu.
"Di luar tanggung jawab saya. Apalagi kesepakatan itu dilakukan sebelum Andi Agustinus berkenalan dengan saya di hotel Grand Mulia," ujar Novanto saat membacakan nota pembelaan pribadi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat 13 April 2018.
Setya Novanto juga menyinggung dugaan uang korupsi proyek e-KTP yang mengalir ke Rapimnas Golkar di Bogor pada 2012.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu mengatakan, anggaran kegiatan partai berlambang pohon beringin itu berasal dari internal kader.
Dia mencontohkan soal Munaslub Bali 2016. Pada saat itu, sebagai ketua umum, dia memberikan dana Rp 1 miliar untuk menutup kekurangan biaya.
"Munaslub Bali 2016 yang menetapkan saya sebagai ketua umum dan saya berkontribusi Rp 1 miliar sebagai kekurangan biaya," kata Setya Novanto.
Sementara pada kegiatan Rapimnas Bogor, dia mengaku tak tahu Andi Agustinus alias Andi Narogong lah yang menggelontorkan Rp 5 miliar melalui Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo sekaligus keponakan Novanto dan kader Golkar. Dia baru mengetahui adanya aliran Rp 5 miliar dari Andi setelah adanya konfrontasi antara dirinya dan Irvanto.
"Pada Rapimnas di Bogor Juni atau Juli 2012, Irvanto juga terlibat aktif sebagai event organizer, baru kemudian dilaporkan kepada saya Andi pernah serahkan uang sebesar Rp 5 miliar kepada Irvanto yang mana sebagian uang tersebut sebagai kontribusi rapimnas di Bogor dan tidak menutup kemungkinan untuk kepentingan Partai Golkar yang lain," ujar Setya Novanto di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (13/4/2018).
Selasa 24 April 2018, Drama Berakhir di Palu Hakim
Majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 15 tahun kepada Setya Novanto. Dia juga diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan dan uang pengganti US$ 7,3 juta dikurangi Rp 5 miliar yang sudah dikembalikan ke KPK.
Hakim juga mencabut hak politik Setya Novanto selama 5 tahun. Ini berlaku setelah dia selesai menjalankan hukumannya.
Advertisement