HEADLINE: 5 Bom dalam 25 Jam, Kenapa Surabaya Jadi Sasaran?

Surabaya yang biasanya adem mendadak diguncang lima teror bom. Target, juga pelakunya, tidak biasa dalam sejarah teror di Indonesia.

oleh Dian KurniawanNanda Perdana Putra diperbarui 15 Mei 2018, 00:00 WIB
Diterbitkan 15 Mei 2018, 00:00 WIB
Bom Meledak di Markas Polrestabes Surabaya
Aparat kepolisian menutup jalan setelah serangan bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Senin (14/5). Seluruh akses menuju Mapolrestabes ditutup total dan tiap jalur dijaga petugas kepolisian bersenjata laras panjang. (AP/Achmad Ibrahim)

Liputan6.com, Jakarta - Iringan dua sepeda motor, jenis Supra dan Beat, melaju agak cepat menuju Mapolrestabes Surabaya, Senin (14/5/2018) pagi. Begitu tiba di Gerbang Mapolrestabes, ledakan terjadi. 

Rekaman CCTV memperlihatkan beberapa orang yang berada di sekitar lokasi terpental. Serangan bom Mapolrestabes Surabaya pagi itu menjadi ledakan kelima yang terjadi di Surabaya dalam 25 jam.

Sehari sebelumnya, empat ledakan lebih dulu terjadi. Tiga gereja menjadi sasaran plus satu unit rusunawa jadi lokasi perakitan bom yang gagal. Ledakan di Rusunawa di Wonocolo, Sidoarjo terjadi secara prematur, di tempat tinggal terduga teroris. 

Menurut Ali Fauzi, mantan anggota Jamaah Islamiyah, Surabaya bukan tempat baru bagi kelompok teror. Hanya saja, saat ini terjadi transformasi.

Dulu, kata Ali, Surabaya merupakan tempat mencetak pelaku teror. Begitu matang dan siap, mereka melakukan aksi di luar Kota Pahlawan.

"Tapi, akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan orang Surabaya yang bermain di Surabaya," kata Ali kepada Liputan6.com, Senin (14/5/2018).

Di sisi lain, aksi itu membuka membuka tabir sel-sel yang ada di Surabaya. Bagi Ali, kelompok yang bermain teror di Surabaya merupakan kelompok baru. Mereka mulai mencuat tahun 2010 ke atas.

Kemunculannya bersamaan dengan kehadiran Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS), yang sejatinya sudah babak belur dan terdesak di Suriah dan Irak.

Sofyan Tsauri punya pendapat senada. Mantan narapidana teroris kasus pelatihan militer di Aceh ini mengatakan pelaku teror di bom Surabaya merupakan deportan.

Mereka berencana berangkat ke Irak dan Suriah pada awal 2017 untuk bergabung dengan ISIS. Namun, perjalanan mereka terendus otoritas Turki dan kemudian dipulangkan ke Indonesia.

Menurut Sofyan, kondisi mereka berbeda dengan orang yang pernah merasakan tinggal bersama ISIS. "Kalau yang pernah ke ISIS akan bilang enggak enak, tapi mereka ini masih penasaran," katanya kepada Liputan6.com.

Di Indonesia, kelompok ISIS punya pola serangan yang berbeda dengan aksi teror sebelumnya. Bila sebelumnya aksi teror menyasar simbol Amerika atau penegak hukum, jaringan ISIS menargetkan warga sipil.

Menurut Sofyan, Surabaya dipilih sebagai tempat beraksi karena sel di sana lebih siap. Kota Pahlawan juga dianggap lebih punya celah.

"Enggak mungkin mereka serang Jakarta yang lagi siaga setelah kasus di Mako Brimob," kata Sofyan.

 

Infografis teror bom Surabaya (Liputan6.com/Triyasni)

 

Jamaah Ansharut Daulah

Rangkaian teror di Surabaya juga mencuatkan nama Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Kelompok ini secara ideologis terafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).

Di Indonesia, JAD dipimpin Aman Abdurrahman, eks narapidana teroris dalam kasus pelatihan militer di Aceh. Ia kini menjadi terdakwa dalam kasus lain.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut Aman punya andil dalam aksi bom Thamrin, Jakarta Pusat, 2016 lalu. Benang merah kelompok JAD dengan Bom Surabaya bertaut pada Dita Oeprianto.

Pelaku bom bunuh diri di Gereja Pantekosta, di Jalan Arjuno, ini merupakan Ketua JAD sel Surabaya. Dita juga satu kelompok dengan Anto, perakit bom di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo. "Anto Febriantono teman dekat saudara Dita," kata Tito di Mapolda Jawa Timur, Surabaya, Senin (14/5/2018).

Anto mengalami kecelakaan saat tengah merakit peledak. Bom yang dibuatnya justru meledak di unit rusun.

Ia sempat mengancam polisi yang datang ke lokasi dengan benda yang diduga bom pipa. Karena membahayakan petugas, polisi menembaknya hingga tewas.

Menurut Kapolri, Anto dan Dita pernah membesuk salah satu narapidana teroris di Lapas Tulung Agung. Namun, tak dijelaskan siapa yang dijenguk keduanya.

"Identitas ISIS" juga tampak dari temuan polisi di empat lokasi ledakan. Di semua lokasi ditemukan bom jenis pipa dengan bahan peledak TATP (triacetone triperoxide) yang dikenal sebagai 'Mother of Satan'.

Material ini sangat sensitif. Tito mengatakan TATP bisa meledak hanya dengan getaran dan benturan.

Menurut Kapolri, TATP jamak digunakan ISIS di daerah perang Irak dan Suriah. Yang berbeda dari bom di beberapa lokasi Surabaya, menurut Tito, hanya cara pengemasan dan campuran bahan.

Serangan bom terakhir di Mapolresta Surabaya, Senin (14/5/2018) pagi, juga masih satu jaringan dengan ledakan-ledakan sebelumnya.

"Bagian dari kelompok yang sama dengan kelompok Dita (otak pemboman gereja)," kata Tito, di Mapolda Jawa Timur. Pelaku peledakan bom di Mapolresta Surabaya diduga berinsial TM. Namun, Polri belum mau mengungkap identitas lengkapnya.

Pembalasan dendam disinyalir menjadi motivasi teror di Surabaya. Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkap ada faktor internal dan eksternal yang melingkupi motivasi mereka.

Di luar negeri, ISIS tengah di ambang kehancuran lantaran digempur pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat. Tekanan itu, menurut Tito, membuat petinggi ISIS memerintahkan selnya di semua negara untuk melancarkan aksi teror. "Mereka dalam kondisi terdesak," ucapnya.

Di dalam negeri pun nasib jaringan ISIS tak jauh berbeda. Polisi menggulung sejumlah pimpinan mereka. Aman Abdurrahman salah satunya.

Kedua faktor itu berkelindan, mewujud menjadi dendam yang dilampiaskan dalam bentuk teror bom Surabaya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Dua Peristiwa, Dua Keluarga

Pasca-Ledakan Bom di Gereja Santa Maria
Petugas memasang garis polisi dekat lokasi ledakan bom di Gereja Santa Maria, Surabaya, Minggu (13/5). Polisi Selain di Gereja Katolik Santa Maria, dua ledakan lain di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya dan Gereja Kristen Jawi Wetan. (AP/Trisnadi)

Yang mengejutkan dari teror bom di Surabaya adalah pelibatan keluarga dalam aksi pelaku. Kapolri mengatakan, Dita Oeprianto melakukan aksi di tiga gereja bersama istri dan empat anaknya.

"Alhamdulillah bisa mengidentifikasi pelakunya. Pelaku diduga satu keluarga," kata Tito di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jawa Timur.

Dita menurunkan istrinya dan dua anak perempuannya di Gereja Kristen Indonesia Diponegoro, Minggu, 13 Mei 2018 pagi.

Di sana ketiganya juga melakukan aksi bom bunuh diri. Sementara dua pelaku yang membawa sepeda motor di Gereja Katolik Santa Maria, Jalan Ngagel, juga punya hubungan darah dengan pelaku lain.

"Ketiga yang di gereja itu juga dua orang laki-laki yang diduga putranya (Dita)," Tito berujar.

Dita juga ikut melakukan bom bunuh diri. Ia membawa mobil Avanza ke Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Di sana, ia meledakkan diri.

Sementara, Kapolda Jawa Timur Kapolda Metro Irjen Machfud Arifin memastikan empat pelaku serangan bom Mapolrestabes Surabaya juga masih satu keluarga.

"Mereka satu KK (Kartu Keluarga)," ujar Machfud, Senin (14/5/2018).

Empat pelaku tewas saat melakukan bom bunuh diri dengan mengendarai dua motor jenis Beat dan Supra. Sementara satu bocah, A (8), yang ikut pelaku dalam serangan selamat dari kejadian tersebut.

"Ini fenomena baru, anak-anak dilibatkan dalam sebuah serangan teror," ujar dia.

 

Anak-Anak Jadi Kedok

Pasca-Ledakan Bom di Gereja Santa Maria
Aparat kepolisian melakukan penjagaan dekat lokasi ledakan bom yang terjadi di Gereja Santa Maria, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5). Dua orang tewas dan 13 orang menderita luka akibat ledakan di Gereja Santa Maria. (AP/Trisnadi)

Bagi mantan narapidana kasus terorisme, Sofyan Tsauri, pola teror menggunakan perempuan dan anak-anak menjadi tantangan baru. Meski, menurut dia, praktik tersebut bukan barang baru di dunia teror.

"Tujuannya mengelabui agar tak mudah terdeteksi," ia berpendapat. 

Pemanfaatan anak-anak dalam aksi teror, misalnya, sudah dilakukan saat konflik Chechnya. Saat ISIS berkuasa di Irak dan Suriah, metode tersebut digunakan lagi.

Mereka menggunakan anak-anak sebagai prajurit perang. Demikian juga dengan pelaku teror dari kalangan perempuan.

"Karena banyak perempuan yang mengajukan diri," kata Sofyan.

Yang jelas polisi bergerak cepat. Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menangkap 13 terduga teroris di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur. Penangkapan tersebut dimulai sejak pukul 02.30 sampai dengan 16.45 WIB, Senin (14/5/2018).

"Empat orang terduga teroris ditembak mati karena mencoba melawan polisi. Semuanya terjadi di wilayah Sidoarjo, termasuk Anton penghuni rusunawa," tutur Kabid Humas Polda Jatim Kombes Frans Barung Mangera di Surabaya.

Dia mengatakan, Tim Densus 88 Antiteror juga mengamankan sembilan terduga teroris dalam keadaan hidup. Penangkapan dilakukan di dua lokasi kejadian, yaitu Surabaya dan Sidoarjo.

"Jadi, total terduga teroris yang berhasil ditangkap hari ini ada 13 orang," kata dia.

Namun, Barung masih merahasiakan beberapa hal, termasuk kaitan masing-masing pelaku terhadap aksi teror.

"Kita mengantisipasi dan tidak menyampaikan di mana aksinya. Kita menutupi ini karena dilindungi oleh undang-undang," ujar Barung.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya