Ali Fauzi: Bomber Gereja Surabaya Keponakan Teroris Bom Bali I

Dita Oepriarto, otak bom bunuh diri yang juga kepala keluarga ini disebut keponakan dari Sukastopo, anggota jaringan bom Bali satu.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Mei 2018, 16:37 WIB
Diterbitkan 17 Mei 2018, 16:37 WIB
Bom Meledak di Markas Polrestabes Surabaya
Aparat kepolisian menutup jalan setelah serangan bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Senin (14/5). Ada anggota polisi yang menjadi korban serangan ini, tetapi belum diketahui apakah meninggal ataupun terluka. (AP/Achmad Ibrahim)

Liputan6.com, Jakarta Publik dikejutkan dengan aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada Minggu (13/5/2018) yang menewaskan 14 orang. Publik semakin terhenyak setelah diketahui pelaku bom bunuh diri ini adalah satu keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, dan empat orang anaknya.

Dita Oepriarto, otak bom bunuh diri yang juga kepala keluarga ini disebut keponakan dari Sukastopo, anggota jaringan bom Bali satu. Hal ini diungkapkan Ali Fauzi Manzi dalam diskusi publik di Gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (17/5/2018).

"Dita ini keponakan Sukastopo. Sukastopo ditangkap 2002 akhir karena masuk jaringan bom Bali satu. Teroris melahirkan teroris," jelas adik kandung Amrozi dan Ali Imron ini.

Seperti diketahui Amrozi dan Ali Imron adalah pelaku bom Bali. Ali Fauzi juga merupakan mantan kepala instruktur perakitan bom Jemaah Islamiah (JI) Jawa Timur.

Sukastopo juga memiliki anak yang terlibat peristiwa bom Bali satu, yaitu Amin Abdullah. Amin ditangkap pada tahun 2002. Jaringan Sukastopo ini adalah jaringan lama. Sedangkan Dita disebut jaringan baru.

"Genetiknya nyambung," ujarnya.

Ali Fauzi mengatakan, satu keluarga bergabung dengan jaringan teroris bukan hal baru. Ini telah berlangsung sejak 2002 sebagaimana yang terjadi pada keluarganya.

"Di 2002 dan seterusnya sudah ada keluarga yang ramai-ramai masuk jaringan (teroris), salah satunya saya," kata pendiri Yayasan Lingkar Perdamaian ini.

Apa yang dilakukan Dita Oepriarto menurutnya bukan hal instan. Namun, ia meyakini Dita telah melakukan radikalisasi kepada istri dan anak-anaknya sejak lama, sejak anak-anaknya berusia dini.

Ia kemudian mengajak anak-anaknya melakukan aksi mematikan tersebut dengan memberikan pemahaman bahwa apa yang mereka lakukan akan berbuah surga.

"Yang dilakukan Dita sekeluarga bukan bimsalabim dan sudah melakukan radikalisasi usia dini baik kepada anaknya yang laki-laki dan anak-anaknya yang perempuan dan mereka sudah paham, sudah tahu, saya yakin. Kecuali pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya. Tapi pelaku bom bunuh diri di gereja itu satu keluarga sudah paham dan mereka tentu ada perpisahan dan ada dialog-dialog sebelum melakukan itu," paparnya.

 

Overdosis

Bom Meledak di Markas Polrestabes Surabaya
Aparat kepolisian bersenjata lengkap berjaga setelah serangan bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, Senin (14/5). Polisi mendata ada 10 korban luka dalam tragedi bom bunuh diri di Markas Polrestabes Surabaya. (AFP/JUNI KRISWANTO)

Kendati banyak pihak yang menyebut perilaku Dita tak bisa diterima akal sehat karena mengajak keluarganya, Ali mengatakan ini karena ideologi yang mereka pegang dan yakini.

"Ini bagian dari ideologi yang mereka punyai. Apa pun kalau sudah tentang ideologi tentu akan sangat susah (dicegah) kecuali dengan trik-trik tertentu," kata dia.

Menurutnya, para teroris ini adalah kaum yang overdosis dalam beragama. Islam adalah sebenarnya agama yang mengajarkan wasathiyah atau pertengahan.

"Agama jangan terlalu berlebihan, berbahaya. Saya dulu memahami agama secara berlebihan," ujarnya.

"Konsep Islam paling aman di tengah-tengah. Tidak lebih, tidak kurang," dia menambahkan.

Reporter: Hari Ariyanti

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya