Liputan6.com, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai, Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang tengah dibahas DPR dan pemerintah hanya fokus penindakan. Padahal, menurutnya, dalam mengatasi aksi terorisme yang diperlukan adalah tindakan pencegahan.
"Kalau kita lihat draf RUU itu banyak pada proses penindakan ada sekitar 14 pasal baru terkait penindakan, penahanan, penyadapan yang dilakukan oleh aparat penengak hukum," kata Kepala Divisi Pembelaan HAM KontraS Arif Nur Fikri dalam diskusi publik 'Ada Apa Dengan RUU Terorisme?'di PP PMKRI, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (19/5/2018).
Arif memaparkan, setidaknya ada empat hal yang bermasalah dalam pembahasan RUU Terorisme. Antara lain, dalam pembahasan itu DPR dan pemerintah tidak fokus pada penanggulangan keluarga para teroris.
Advertisement
Dalam revisi tersebut tidak memperhatikan aspek perlindungan pada keluarga teroris. Hal itu, bisa menimbulkan masalah baru karena pihak keluarga merasa tidak ada perlakukan adil oleh pemerintah.
"Mekanisme perlindungan, perlindungan ini pemulihan hanya diberilkan pada korban orang yang terdampak aksi terorisme pemerintah tidak memperhatikan keluarga dari teroris juga," ungkap dia.
Â
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Distribusi Bahan Pembuat Bom
Masalah kedua dan ketiga adalah aturan distribusi bahan untuk membuat bom serta perlunya turunan tugas TNI di RUU terorisme. Dia hal itu, bagi Arif harus diatur dengan baik.
"Hcl (asam klorida) masuk kategori B3 (bahan berbahaya dan beracun) barang berbahaya. Di dalam UU Terorisme ini bahwa proses yang dikedepankan itu penindakan bukan pencegahan," ucapnya.
Â
Reporter: Sania Mashabi
Sumber: Merdeka.com
Advertisement