HEADLINE: Tarawih Akbar di Monas Batal, Mengapa Ada Ulama yang Menolak?

Pemprov DKI membatalkan rencana Tarawih Akbar di Monas pada Sabtu mendatang dan memindahkannya ke Masjid Istiqlal.

oleh RinaldoDelvira HutabaratLizsa Egeham diperbarui 22 Mei 2018, 00:07 WIB
Diterbitkan 22 Mei 2018, 00:07 WIB
Melihat Aksi Bela Palestina 115 dari Udara
Foto aerial umat muslim melaksanakan salat Jumat saat Aksi Bela Palestina di Kawasan Monas, Jakarta, Jumat (11/5). Aksi ini bertajuk Indonesia Bebaskan Al-Quds. (Liputan6.com/Arya Manggala)

Liputan6.com, Jakarta - Pemprov DKI Jakarta akhirnya menyerah. Rencana yang sudah disusun sejak pekan lalu untuk menggelar Tarawih Akbar di kawasan Monumen Nasional atau Monas pada Sabtu 26 Mei 2018 Pukul 20.00 WIB akhirnya dibatalkan. Derasnya kritikan dan penolakan membuat Pemprov DKI mengalihkan lokasinya.

"Kita mendengar yang disampaikan para ulama, kita dalam urusan ibadah ya merujuk pada para ulama. Karena itu kemudian rencana salat tarawih akan tetap diadakan pada 26 Mei dan insyaallah di Masjid Istiqlal," kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota Jakarta, Senin (21/5/2018) petang.

Dia kembali menegaskan bahwa Pemprov DKI akan taat pada ulama bila terkait dengan kegiatan ibadah.

"Jadi kita taat pada apa yang menjadi pandangan para ulama, apalagi menyangkut urusan ibadah. Ini bukan urusan lain, kalau urusan ibadah kita ikut pada pedoman yang digariskan ulama," tegas Anies.

Selain karena pandangan ulama, ada pertimbangan lain mengapa kawasan Monas batal menjadi tempat salat, salah satunya terkait keamanan.

"Ada juga catatan mengenai keamanan dan lain lain, memang lebih baik kita selenggarakan di masjid," ungkap mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.

Apa yang diucapkan Anies mempertegas apa yang sebelumnya sudah disampaikan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, beberapa saat sebelumnya.

"Akhirnya, setelah kita pertimbangkan, kita akan ikuti saran dari ulama. Kita lagi coba berkoordinasi dengan Masjid Istiqlal apakah bisa melakukan suatu koordinasi supaya kita puasa dan tarawihnya bisa dilakukan di Masjid Istiqlal," jelas Sandiaga di gedung Indosat, Senin siang.

Dia juga mengatakan, keputusan untuk membatalkan acara di Monas itu diambil setelah dirinya berkoordinasi dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membicarakan imbauan ulama yang mendesak agar Pemprov DKI membatalkan salat tarawih di Monas.

"Jadi tadi kita sudah meng-update Pak Gubernur yang menyampaikan tentunya kita harus mengikuti apa yang diinginkan oleh para ulama. Tadi sudah kita koordinasikan juga dengan teman-teman di NU, Muhammadiyah, dan MUI," ujar Sandiaga.

Politikus Partai Gerindra ini mengatakan, pihaknya memutuskan untuk membatalkan Monas sebagai lokasi Tarawih Akbar karena masalah tersebut sudah menjadi perhatian para ulama dan sudah masuk ke ranah fikih.

"Para ulama sudah menyampaikan bahwa lebih banyak manfaat untuk salat di masjid dan lebih banyak mudaratnya untuk salat di lapangan terbuka seperti itu (Monas). Jadi itu yang kami akhirnya putuskan bahwa kita akan berusaha berkoordinasi dengan Masjid Istiqlal untuk memindahkan," tegas Sandiaga.

Namun begitu, dia menegaskan bahwa niat awal untuk menggelar Tarawih Akbar berangkat dari keinginan banyak pihak yang meminta Pemprov DKI memfasilitasi cara tarawih yang bisa mewujudkan kebersamaan serta bisa mempersatukan umat.

"Ide itu tentunya masuk dari berbagai sumber ke kita. Juga datang dari beberapa ustaz yang kita temui. Dan yang menarik adalah karena ada sebagian yang menyatakan bahwa ada satu kebersamaan tersendiri kalau di Monas, sangat mempersatukan," tegas Sandiaga.

Hanya saja, alasan itu pula yang membuat Pemprov DKI menjadi sasaran kritik kalangan ulama, bahkan dari Majelis Ulama Indonesia atau MUI. Sebab, alasan salat tarawih di Monas untuk mempersatukan umat Islam dianggap bias.

"Yang mau disatukan dengan salat tarawih itu komponen yang mana? Dan yang tak satu yang mana? Kalau soal jumlah rakaat yang berbeda sudah dipahami dengan baik oleh masjid-masjid bahwa yang 8 atau yang 20 bisa salat bareng berjemaah, hanya yang 20 kemudian meneruskan," ujar Ketua Komisi Dakwah MUI Cholil Nafis kepada Liputan6.com, Senin siang.

Apalagi, lanjut dia, jika memang niatnya untuk mempersatukan, ada tempat yang lebih representatif dan selama ini telah menjadi simbol kebanggaan serta pemersatu umat Islam di Indonesia.

"Saya kok ragu ya kalau alasannya tarawih di Monas untuk persatuan. Logikanya apa? Bukankah Masjid Istiqlal yang megah itu simbol kemerdekaan, kesatuan dan ketakwaan. Sebab, sebaik-baik salat itu di masjid, karena memang tempat sujud. Bahkan, Nabi Muhammad SAW selama Ramadan itu itikaf di masjid, bukan di lapangan," ujar Staf Pengajar Ekonomi dan Keuangan Syariah Pascasarjana Universitas Indonesia itu.

Infografis pro-kontra tarawih di Monas
Infografis pro-kontra tarawih di Monas (Liputan6.com/Triyasni)

Dia menambahkan, bukan tak mungkin dengan menggelar salat tarawih yang mengumpulkan massa dalam jumlah cukup besar akan memunculkan anggapan bahwa acara itu tak lebih sebagai ajang pamer, padahal tujuan sebenarnya adalah untuk syiar.

"Marilah yang sehat menggunakan logika kebangsaan dan keagamaan. Jangan menggunakan ibadah mahdhah sebagai alat komunikasi yang memunculkan riya alias pamer. Salat Id saja yang untuk syiar masih lebih baik di masjid kalau bisa menampungnya. Meskipun ulama ada yang mengajurkan di lapangan karena syiar, tapi masjid masih lebih utama," tegas pria yang karib disapa Kiai Cholil itu.

Dia menambahkan, salat tarawih itu menurut sebagian ulama ditempatkan sebagai salat malam, karena itu lebih baik sembunyi atau dilakukan di masjid.

"Makanya Nabi (Muhammad) SAW hanya beberapa kali salat tarawih bersama sahabatnya di masjid," tutur pria kelahiran Sampang, Madura, Jawa Timur, 43 tahun lalu itu.

"Ayolah, agama ditempatkan pada relnya, jangan dibelokkan. Pemprov DKI lebih baik konsentrasi pada masalah pokok pemerintahannya, yaitu mengatasi banjir dan macet yang tak ketulungan dan merugikan rakyat," pungkas Cholil.

Lantas, siapa sebenarnya yang mengusulkan Tarawih Akbar tersebut kepada Anies-Sandiaga?

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Atas Nama Ulama

monas
Umat islam melakukan "Dzikir Akbar Ya Allah 1000 X" di Monas, Jakarta, Jum'at (9/7) malam. Dzikir ini untuk memperingati Isra' Mi'raj nabi Muhammad SAW 1431 H. (Antara)

Ajakan itu terpampang jelas di laman akun Twitter resmi milik Pemprov DKI @DKIJakarta, Jumat 18 Mei 2018. Pada postingan itu, Pemprov DKI mengatakan punya program baru pada Bulan Ramadan.

Mulai Ramadhan tahun ini, setiap hari Sabtu kedua di bulan #Ramadhan di Monas akan diadakan Tarawih Akbar.

Sabtu 26 Mei 2018 Pukul 20.00.Yuk, kita ikuti ibadah sholat Tarawih ini.

#WeLoveJakarta #TarawihAkbar

Demikian pengumuman yang menurut Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno merupakan usulan yang datang kepada Pemprov DKI dari sejumlah kalangan, terutama ustaz. Meski belakangan banyak dikritisi oleh ulama, termasuk dari MUI, Sandiaga menegaskan bahwa Tarawih Akbar ini sudah dikoordinasikan dengan ulama.

"Sebelumnya tentunya kita ada koordinasi terus, Kepala Biro Dikmental yang memang fungsinya melakukan persiapan acara tarawih di sana," ujar Sandiaga di Gedung Indosat, Jakarta, Senin (21/5/2018) siang.

Bahkan, dia mengatakan banyak ulama yang mendukung gagasan untuk menggelar Tarawih Akbar di Monas. Padahal, sejak kabar gelaran ini bergulir, penolakan dan kritikan datang dari MUI serta kalangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

"Justru banyak ulama yang menginginkan tarawih di Monas untuk momen Lebaran ini atau momen Ramadan ini," ucap Sandiaga.

Namun, dia menolak menyebutkan saat ditanya sosok ulama yang setuju serta diajak membahas rencana Tarawih Akbar sebelum kemudian disetujui pihak Pemprov DKI Jakarta.

Yang jelas, sejak pengumuman itu dirilis, komentar negatif terus mengalir ke Pemprov DKI, khususnya untuk Gubernur Anies Baswedan dan Wagub Sandiaga Uno. Pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Abdillah Toha, misalnya, mempertanyakan rencana itu melalui akun Twitter miliknya @AT_AbdillahToha.

"Gubernur DKI 26 Mei akan gelar tarawih di Monas. Jangan sampai ini nanti dibilang tarawih politik. Masjid Istiglal disebelahnya kan tiap malam ada sholat tarawih. Kenapa tidak bergabung saja disitu kalau mau menunjukkan persatuan?" cuit Abdillah Toha pada Sabtu 19 Mei 2018.

Kritikan juga datang dari Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini. Dia menilai sebaiknya urusan pelaksanaan salat tarawih dikembalikan ke masjid yang berfungsi sebagai tempat beribadah.

"Sebaiknya kalau penyelenggaraan tarawih itu di masjid lah. Kan masjid kita memadai dan cukup bisa menampung. Kecuali kalau dalam keadaan darurat, memang tidak tersedia masjid, tidak tersedia tempat untuk salat, bisa di tempat lain. Kita sepakati itu (Monas) sebagai tempat peribadatan. Tapi ini kan masjid ada," jelas Helmy saat dihubungi Liputan6.com, Senin petang.

Tentang alasan digelarnya Tarawih Akbar sebagai cara untuk mempersatukan umat, dia melihat alasan itu kurang tepat. Sebab, antara niat dan cara itu dua hal yang berbeda.

"Itu malah akan menimbulkan perbedaan pendapat lagi soal baik tidak baiknya. Artinya kan kalau niatnya baik mempersatukan umat, tapi caranya malah menimbulkan perpecahan umat. Misalnya, kenapa salatnya di Monas? Kenapa nggak di masjid? Kan itu menimbulkan kontroversi jadinya," ungkap Helmy.

Dia juga menampik keterangan Sandiaga yang mengatakan sudah membicarakan rencana Tarawih Akbar di Monas kepada ulama dan ormas Islam. Dia memastikan PBNU secara organisasi belum pernah dimintakan pendapat.

"Setahu saya belum ada ya. Mungkin ke orang per orang, saya nggak tahu. Kalau dimintai pendapat ya kita akan menyarankan tarawihnya di masjid saja," tegas Helmy.

Pandangan senada datang dari Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti. Dia menilai kegiatan salat tarawih berjemaah di Monas bisa menimbulkan persepsi negatif, mengingat publik tengah dihadapkan pada potensi polarisasi di tahun politik 2019.

"Ide melaksanakan Tarawih bersama itu bagus. Tapi sebaiknya diselenggarakan di masjid, tidak di Monas. Salat di Monas kesannya politis. Selain itu bisa menjadi preseden pemeluk agama lain akan melakukan hal yang serupa," ujar Abdul Mu'ti kepada Liputan6.com, Senin petang.

Dia menambahkan, akan lebih bagus jika Monas difungsikan untuk kegiatan lain yang bersifat sosial kemasyarakatan. Sedangkan untuk salat Tarawih, dia menyarankan agar pimpinan memperbanyak kunjungan ke mesjid yang ada di kampung-kampung.

"Sebaiknya Monas difungsikan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Akan lebih bagus kalau Gubernur dan Wakil Gubernur salat Tarawih di masjid-masjid kampung. Selain untuk memakmurkan masjid, juga untuk lebih dekat dengan rakyat," ujar dia.

Rencana menggelar Tarawih Akbar mendapat sorotan juga dikarenakan ini adalah pertama kalinya Monas jadi lokasi ibadah tersebut. Hal ini dibolehkan berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 186 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 160 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Kawasan Monumen Nasional, Monas.

Lewat pergub itu Anies-Sandi kembali membuka Monas untuk kegiatan pendidikan, sosial, budaya, dan keagamaan setelah dilarang di era Gubernur Djarot Saiful Hidayat. Pergub ini pula yang belakangan membuat Monas ramai dengan kegiatan. Bukan hanya wisata.

 

Pergub Baru untuk Monas

FOTO: Sambut Tahun Baru, Kawasan Monas Dihiasi Kembang Api
Kembang api menghiasi malam pergantian tahun baru 2018 di kawasan silang Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Senin (1/1/2018). Monas menjadi salah satu lokasi pilihan Warga Jakarta untuk merayakan malam pergantian tahun. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kawasan Monumen Nasional atau Monas yang berada di jantung Ibu Kota kembali semarak dengan banyak aktivitas. Perubahan itu terjadi sejak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membuka kembali kesempatan kepada warga untuk memanfaatkan kawasan Monas sebagai tempat kegiatan masyarakat.

Melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 186 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 160 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Kawasan Monumen Nasional, kawasan Monas kembali bisa digunakan untuk kegiatan pendidikan, sosial, budaya, dan keagamaan.

Aturan baru tersebut membuat Monas kini terbuka untuk kegiatan masyarakat. Pada era kepemimpinan sebelumnya, Gubernur Djarot Saiful Hidayat mengeluarkan pergub yang melarang Monas sebagai tempat untuk kegiatan budaya, pendidikan, sosial, dan agama per 13 Oktober 2017.

"Intinya adalah nomor satu, semula kegiatannya dibatasi yang berada di sini, kegiatan pendidikan, sosial, budaya, agama tidak termasuk yang boleh menggunakan Monas," kata Anies Baswedan saat acara Kirab Kebangsaan di Monas, Minggu 26 November 2017.

"Kami ingin agar masyarakat bisa memanfaatkan dengan optimal dan kembali nyaman berkegiatan di Monas," imbuh dia.

Anies mengatakan, Pergub Nomor 186 tahun 2017 memberikan kepastian hukum bahwa Monas kembali bisa digunakan untuk kegiatan masyarakat. Ia mengubah sejumlah pasal dalam Pergub 186 Tahun 2017, salah satunya Pasal 10 yang dinilai menjadi inti pergub tersebut. Pasal 10 tersebut kini berbunyi:

(1) Penyelenggaraan acara/kegiatan pada area di dalam Kawasan Monumen Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 hanya dapat digunakan untuk:

a. acara kenegaraan;

b. acara yang bertujuan untuk kepentingan negara, pendidikan, sosial, budaya dan agama;

c. acara yang memperkuat identitas Monumen Nasional (upacara);

d, olahraga individual atau karyawan kantor di sekitar Jalan Medan Merdeka dalam kelompok kecil; dan/atau

e. kunjungan wisata.

Pada poin b, disebutkan bahwa kawasan Monas dapat digunakan untuk acara yang bertujuan untuk kepentingan negara, pendidikan, sosial, budaya, dan agama.

Sebelumnya di Pasal 10 poin b Pergub 168 tahun 2017 poin b disebutkan bahwa Monas hanya diperuntukkan untuk kepentingan negara.

"Tanpa ada penyebutan peruntukan pada sektor pendidikan, sosial, budaya, dan agama," kata Anies.

Selain itu, sejumlah aturan juga ditambah dalam Pergub 186 tahun 2017. Salah satunya, pada Pasal 6 disebutkan bahwa kegiatan yang melibatkan massa dalam jumlah besar harus dilakukan dengan izin Gubernur berdasar pada rekomendasi sebuah tim.

Tim tersebut yang nantinya akan menilai dan memberikan rekomendasi apakah usulan kegiatan itu diperbolehkan dilakukan di Monas atau tidak. Pasal 6 itu berbunyi:

(1) Penyelenggaraan acara/kegiatan di Kawasan Monumen Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dan huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. diselenggarakan oleh instansi Pemerintah atau mendapat dukungan dari instansi Pemerintah;

b. mendapat izin keramaian dari Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya;

c. telah berkoordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait sesuai dengan lingkup acara/kegiatan;

d. telah membayar retribusi daerah;

e. memiliki sumber keuangan/dana;

f. mengajukan surat permohonan kepada Kepala UPK Monas; dan

g. mendapat izin dari Kepala UPK Monas.

(2) Dalam hal penyelenggaraan acara/kegiatan yang melibatkan massa dalam jumlah besar, maka harus mendapatkan persetujuan Gubernur berdasarkan rekomendasi tim.

Tim yang dimaksud beranggotakan gabungan SKPD terkait, Sekretariat Negara, Polda Metro Jaya, Pangdam Jaya, tokoh masyarakat, dan instansi lainnya.

"Mereka di tim ini yang melakukan penilaian kelayakan sebuah usulan kegiatan yang akan menggunakan kawasan Monas, lalu tim ini akan memberikan rekomendasi kepada Gubernur apakah diberi izin atau tidak," kata Anies.

Namun, dari rencana Pemprov DKI menggelar salat tarawih di Monas yang batal, terbukti tidak setiap kegiatan keagamaan bisa digelar di Monas.

Meski peraturan sudah membukakan pintu untuk kegiatan keagamaan, Monas sejatinya bukanlah tempat beribadah.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya