Liputan6.com, Jakarta - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi, Kamis 28 Juni 2018, yang mengabulkan seluruh permohonan uji materi PSI terhadap beberapa pasal yang memberi keistimewaan bagi anggota DPR dalam UU No 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
“Kami menyambut baik putusan majelis hakim yang mengabulkan uji materi oleh PSI. Juga berharap anggota DPR, khususnya yang terpilih nanti di Pileg 2019 untuk menghormati dan menaatinya. Ini adalah simbol kemenangan rakyat dalam menjaga kualitas demokrasi dan melawan segala bentuk abuse of power dari lembaga legislatif,” ujar Sekjen PSI, Raja Juli Antoni, dalam keterangan pers, Kamis 28 Juni 2018.
Baca Juga
Dalam putusannya, majelis hakim MK menilai Pasal 73 ayat 1, Pasal 122 ayat 1 huruf I, dan Pasal 245 ayat 1 bertentangan dengan konstitusi karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang anggota dewan.
Advertisement
Jubir PSI Bidang Hukum dan Caleg Dapil Jatim V (Malang Raya), Surya Tjandra, mengapresiasi majelis hakim yang sempat menyebutkan keberadaan GOPAC (Global Organization of Parliamentarian Against Corruption) yang merupakan organisasi independen beranggotakan para anggota legislatif dari berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, dengan komitmen dan kode etik untuk melawan korupsi di negaranya masing-masing.
Lebih lanjut, Surya menyatakan, dengan keluarnya putusan MK ini, pupuslah harapan sebagian anggota dewan untuk mendapat keistimewaan ketika terlibat tindak pidana yang tidak terkait dengan fungsi, wewenang, dan tugas anggota DPR.
“Mereka yang melakukan tindak pidana tetap dapat terkena pergantian antar waktu (PAW), yang sebelumnya ingin dihapuskan,” ujar Surya.
Ajukan Permohonan Uji Materi
PSI adalah satu-satunya partai politik yang mengajukan permohonan uji materi terhadap pasal-pasal kontroversial tersebut. Sebelumnya, keputusan untuk menggugat UU MD3 dilakukan berdasarkan polling yang digelar PSI dan disetujui 91 persen responden.
Kemudian, PSI menggandeng 122 advokat yang diambil dari Pasal 122 UU MD3 sebagai sombol kekeliruan UU tersebut.
Beberapa pasal kontroversial tersebut adalah Pasal 73, mengenai permintaan DPR kepada Polri untuk memanggil paksa, bahkan dapat dengan penyanderaan, setiap orang yang menolak memenuhi panggilan para anggota dewan, serta Polri wajib memenuhi permintaan tersebut. Pasal 122 huruf k, mengenai wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum kepada siapapun yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.
Terakhir, Pasal 245 yang menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan presiden dan pertimbangan MKD.
Saksikan tayangan video menarik berikut ini:
Advertisement