PKPU Larangan Eks Koruptor Nyaleg Disahkan, Nasdem Siap Mematuhi

Dia menyebut Nasdem telah menerapkan syarat integritas sebelum PKPU tersebut diundangkan oleh Kemenkumham.

oleh Ika DefiantiYunizafira Putri Arifin Widjaja diperbarui 04 Jul 2018, 20:46 WIB
Diterbitkan 04 Jul 2018, 20:46 WIB
KPU Rapat dengan DPR Bahas Peraturan Pemilu 2019
Ketua KPU Arief Budiman (dua kiri) mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Jakarta, Selasa (13/3). Rapat tersebut membahas Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur pelaksanaan Pemilu 2019. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Sekjen Partai Nasdem Johnny G Plate angkat bicara mengenai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait larangan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota kegislatif.

Dia mengatakan, Pemilu 2019 harus berdasarkan undang-undang, sehingga bila sudah disahkan maka semua pihak harus menaati.

"Karena itu sudah diundangkan, langsung formal, termasuk pakta integritas, makanya itu adalah aturan dan semuanya harus mengikuti itu," kata Johnny di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (4/7/2018).

Dia menyebut pihaknya telah menerapkan syarat integritas sebelum PKPU tersebut diundangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

"Kalau di Nasdem bukan hal baru karena sudah kami terapkan," jelas Johnny.

Sebelumnya, PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tersebut diundangkan dan telah diteken oleh Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana pada Selasa 3 Juli 2018.

Namun, terdapat perbedaan antara PKPU yang diterbitkan pada 30 Juni lalu dengan PKPU yang telah diundangkan kemarin. Meskipun begitu, Komisioner KPU Wahyu Setiawan menegaskan secara isi atau substansi tetap sama.

"Substansinya sama. Mantan napi korupsi, pelaku kejahatan seksual terhadap anak dan bandar narkoba tidak boleh nyaleg," jelasnya.

Lalu apa yang membedakan kedua PKPU itu? Secara redaksional, PKPU yang dikeluarkan pada tanggal 30 Juni 2018 memuat larangan ketiga model mantan napi tersebut menjadi caleg dalam pasal 7 ayat (1) huruf h.

"Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi," demikian bunyi pasal itu.

Kemudian, setelah PKPU diteken oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana, isi peraturan tersebut tercantum dalam pasal 4. Berikut isi pasal tersebut:

"Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi."

Konsekuensinya, kini partai politiklah yang harus memastikan bakal calon anggota legislatif bersih dari riwayat mantan terpidana korupsi. Begitu juga dengan larangan lainnya, yakni mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak dan bandar narkoba.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Punya Kekuatan Sama

Mengintip Persiapan KPU Sambut Pendaftaran Caleg
Petugas menata ruangan yang akan digunakan untuk pendaftaran Caleg di Gedung KPU RI, Jakarta, Selasa, (3/7). KPU RI mempersiapkan ruangan untuk pendaftaran Calon Legislatif DPR RI yang berlangsung mulai tanggal 4-17 Juli. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Namun hal ini tidaklah baru. Sebelumnya, KPU memang menyiapkan 2 opsi untuk pengimplementasian aturan tersebut. Pertama, akan sesuai dengan draft Peraturan KPU (PKPU), yang mana aturan tidak diserahkan kepada partai politik.

Opsi kedua, kata Wahyu, akan diimplementasikan kepada partai politik, yakni sebagai syarat rekrutmen parpol yang mewajibkan para caleg tak boleh mantan terpidana korupsi.

"Lalu kedua, parpol dalam mekanisme rekrutmen pencarian caleg, akan menetapkan aturan larangan mantan napi korupsi," katanya.

Wahyu menjelaskan, dua opsi itu memiliki tingkatan yang sama. Tidak dapat kemudian diartikan sebagai opsi pertama lebih tinggi atau lebih kuat daripada opsi kedua, ataupun sebaliknya.

"Sebenarnya dua opsi ini bukanlah dua opsi yang beda. Jadi bukan berarti opsi A lebih keras dari opsi B, atau tingkatan satu, tingkatan dua, tidak begitu. Hanya nanti impelementasinyanya saja (yang berbeda). Jadi dua opsi ini tidak menggambarkan gradasi ya," Wahyu menegaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya