Liputan6.com, Jakarta - Lima orang bocah asyik bermain di Sungai Ciliwung, Balekambang, Condet, Jakarta Timur. Bau menusuk hidung, hitam pekat, serta limbah rumah tangga yang mengendap di sungai yang menjadi peradaban tertua di Jakarta ini tidak menghalangi keceriaan mereka.
Sungai sepanjang 120 kilometer yang membelah Jakarta tersebut mendadak mencuat. Presiden Joko Widodo atau Jokowi berharap Ciliwung memiliki keindahan bak Sungai Cheonggyecheon di Seoul, Korea Selatan. Dalam kunjungan kenegaraannya ke Korea Selatan, Presiden Jokowi kagum dengan kebersihan sungai yang membelah Ibu Kota Korea Selatan ini.
"Sungai Cheonggyecheon sebuah inspirasi yang sangat bagus, kalau di Jakarta ada Ciliwung bisa jadi bersih seperti ini, wow, dan itu bisa," kata Jokowi dengan nada optimistis, saat berjalan di pinggir sungai, dikutip Liputan6.com dari situs Sekretariat Kabinet, Selasa, 11 September 2018.
Advertisement
Meski demikian, tidak mudah untuk menata sungai yang hulunya di Gunung Pangrango ini. Problematika Sungai Ciliwung tak lepas dari eksistensinya sebagai ikon penting dari Kota Jakarta. Sungai ini mengalir melalui Kabupaten dan Kota Bogor, Depok, dan bermuara di Teluk Jakarta. Ciliwung memiliki sejarah panjang dengan kehidupan penduduk Ibu Kota.
Â
Kini Ciliwung diokupasi karena harganya yang relatif murah dan mudah dicapai. Banyaknya warga yang menetap di pinggiran sungai kemudian menimbulkan permasalahan. Menurut Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU) Hermanto Dardak, ada sekitar 250.000 jiwa atau 37.000 kepala keluarga yang mendiami bantaran Sungai Ciliwung per tahun 2013.
Banyaknya jumlah penduduk yang bermukim di sepanjang Sungai Ciliwung membuat lebar sungai terus menyempit. Selain itu, tak sedikit pula pabrik yang berdiri di sepanjang sungai dan menyalahgunakan lahan kosong.
Namun, permasalahan lahan bukan jadi satu-satunya problem yang perlu dibenahi. Banyaknya penduduk dan pabrik di sepanjang Ciliwung menimbulkan permasalahan lain, yaitu sampah.
Data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat, tonase sampah badan air di tahun 2018 paling tinggi berada di angka 8.162,44 ton di bulan Maret.
Sementara itu, data terakhir di bulan Juli menunjukkan penurunan tonase sampah badan air sebesar 1.225,58 ton menjadi 6.936,86 ton. Angka fantastis sampah yang memenuhi sepanjang sungai.
Â
Problematika Ciliwung
Menurut Ketua Komunitas Condet Kita Foundation, Lantur, pemerintah saat ini hanya melihat Sungai Ciliwung sebagai sampah dan aliran limbah tanpa pernah melihat Ciliwung dari sisi sejarah besarnya. Dia menilai, pemerintah saat ini tidak konsisten dan perbedaan rezim berujung pada perbedaan kebijakan.
"Pada zaman gubernur yang lalu misalnya sangat memberdayakan bagaimana menghidupkan komunitas-komunitas yang ada di bantaran Sungai Ciliwung. Mereka diberikan pendidikan segala macam, tentang bagaimana bercocok tanam segala macam, kegiatan-kegiatan positif untuk masyarakat. Terus ini tidak dilanjutkan, terputus," jelas Lantur saat ditemui di bengkelnya di Balekambang, Kramatjati, Senin, 17 September 2018.
Lantur menyebut bahwa kunci dari pembenahan Sungai Ciliwung adalah regulasi, ketegasan, dan komitmen pemerintah. Tidak hanya puas dengan menjadi lebih baik daripada sungai lain, tetapi juga memperhatikan barometer lingkungan, seperti makhluk hidup yang ada di sungai.
Lantur juga mengkritisi kriteria Penyedia Jasa Lainnya Orang Perorangan (PJLP) yang bekerja di sungai. Menurut dia, petugas yang bekerja di sungai seharusnya berasal dari masyarakat sekitar bantaran sungai yang benar-benar paham tentang sungai itu sendiri.
"Bukan seperti orang buka lowongan pekerjaan, terima orang yang penting masuk kriteria. Akhirnya begitu turun ke kali ternyata mereka nggak bisa berenang. Nah, ini kan lucu, PPSU sungai enggak bisa berenang. 'Bang jangan, katanya Ciliwung banyak cerita mistis, kita enggak berani’. Nah ini kenapa direkrut orang-orang ini," kritiknya.
Â
Sementara, pegiat dan pengamat sungai, Sudirman Asun, menyatakan persoalan sungai masih berdasarkan administrasi pemerintahan. Pemerintah dinilainya masih tidak terintegrasi.
"Pemerintah daerah hulu Jawa Barat, pemerintah di daerah hilir DKI Jakarta itu tidak nyambung. Mereka ya berjalan sendiri-sendiri," ujarnya saat ditemui di Kedai Jatam, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Rabu, 19 September 2018.
Keadaan tersebut menyebabkan adanya tumpang tindih kewajiban antara dua pemerintah daerah. Pendiri Ciliwung Institute ini menyebut seharusnya pemerintah membuat badan khusus yang menyatukan berbagai lembaga terkait ke dalam satu payung hukum.
"Kami dorong itu bahwa ada Badan Nasional Sumber Daya Air yang memang bisa memfasilitasi semua kebijakan di situ baik PU, Kementerian Lingkungan Hidup, pemerintah provinsi atau pemerintah daerahnya sendiri," dia menuturkan.
Pria yang akrab disapa Asun ini tampak pesimistis saat membicarakan masalah sungai di Indonesia. Pasalnya, pemegang kebijakan sungai di tingkat pusat adalah Kementerian Pekerjaan Umum yang bergerak di bidang engineering.
"Jadi, solusi selama ini di Indonesia itu infrastruktur. Beton, dam, bendungan. Nah, persoalan sungai sebenarnya itu kan lebih besar," katanya.
Advertisement
Perspektif Keliru
Pembetonan dan relokasi masyarakat pinggir sungai yang dilakukan pemerintah dinilai menghilangkan budaya sungai yang ada di Indonesia. Ia mengkritisi pernyataan yang sempat dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok tentang nenek moyang bangsa Indonesia yang keliru karena tinggal di tepi sungai.
"Orang di pinggir sungai itu paling terbuka untuk pendatang, ada transfer teknologi, ada perputaran ekonomi. Mereka lebih maju dari orang gunung. Terbalik sekarang ini ketika era jalan raya, sungai-sungai ditinggalkan. Sungai jadi tempat-tempat orang termarjinalkan, orang-orang tidak mampu, yang cari kontrakan, jadi terbalik," jelas Asun.
Asun memuji konsep naturalisasi sungai yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta saat ini, Anies Baswedan. Konsep itu pun masih sulit dilakukan karena PU-lah yang memiliki kebijakan paling besar, sementara DKI hanya punya kebijakan untuk pembebasan lahan dan itu pun masih bermasalah hingga saat ini.
Pekerjaan rumah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini adalah bagaimana melakukan penawaran kepada pemerintah pusat bahwa pemerintah DKI bisa menata sungai mereka dengan konsep alamiah.
"Naturalisasi itu benar, cuma ke teknis ya bagaimana itu jadi ada payung hukum. Misalnya SK Gubernur, bisa enggak Anies itu menurunkan penataan sungai se-Jakarta itu dalam bentuk payung hukum buat ke pusat," ujarnya.
Â
Upaya Pemerintah
Jauh sebelum mimpi Sungai Ciliwung seperti Sungai Cheonggyecheon di Seoul hinggap di benak Jokowi, Pemprov DKI Jakarta sudah mengerahkan sekitar 4.000 PJLP yang setiap harinya bertugas di beberapa titik lokasi penanganan untuk membersihkan sampah di setiap suku dinas di DKI Jakarta, termasuk di Sungai Ciliwung.
Pekerja yang dikenal juga dengan Pasukan Oranye ini bekerja selama delapan jam sehari mulai dari pukul 07.30 hingga 16.30. Mereka diawasi oleh pemantau dari PJLP yang bertugas mengawasi tiap kecamatan.
Di atasnya, masih ada pemantau yang berasal dari pegawai negeri sipil yang bertanggung jawab atas tiga hingga empat kecamatan dan melaporkan hasilnya ke Kepala Satuan Pelaksana (Kasatlak) yang menangani satu kota.
Laporan tersebut nantinya berbentuk absensi, data jumlah kubikasi sampah yang terangkut, hingga perbandingan luas aliran sungai dengan jumlah PJLP yang dipekerjakan.
Tak hanya pemantauan dari manusia, kinerja mereka pun dimonitor closed circuit television (CCTV) yang terhubung langsung ke Command Center yang ada di Dinas Lingkungan Hidup dan tim media sosial yang bertugas mendokumentasikan hasil pekerjaan PJLP tersebut. 4.000 PJLP ini bekerja secara mobile bergantung pada wilayah mana yang membutuhkan tenaga lebih.
"Karena sifatnya sampah mengalir, jadi kadang ada sampahnya kalau airnya lagi surut. Kalau lagi tinggi (airnya), enggak kelihatan," jelas Staf Media Sosial UPK Badan Air Dinas Lingkungan Hidup Uli Rahmadini kepada Liputan6.com.
Pasukan oranye tidak hanya diberikan alat-alat seperti perahu, pembersih, sepatu khusus, sarung tangan, dan rompi, tetapi juga ada 113 unit alat berat sarana penunjang kebersihan badan air seperti berbagai jenis excavator, kapal, crane yang ditempatkan di daerah perbatasan dan pendangkalan aliran sungai untuk menangani pembersihan sungai dari sampah.
Meski demikian, Uli juga mengakui bahwa masih banyak titik-titik yang belum masuk ke lokasi penanganan Dinas Lingkungan Hidup. Hal ini karena lokasi yang terlalu terpencil, sehingga akses alat berat terhambat.
"Kalau di permukiman warga di Kali Gendong di Cilincing, itu berada di dalam permukiman warga. Akses untuk masuk cuma bisa dua motor yang bersebelahan, maka untuk ngangkut itu petugas perlu nenteng sampai jalan besar baru bisa diangkut ke truk sampah," ujar Uli.
Â
Advertisement
Sanksi untuk Pembuang Sampah ke Sungai
Tak hanya pembersihan sampah di sungai, Dinas Lingkungan Hidup juga memiliki bidang pengawasan dan penaatan hukum untuk menindak oknum-oknum yang melakukan pencemaran lingkungan.
Anggota Seksi Pengawasan Lingkungan dan Kebersihan, Prihatma, menyatakan pengawasan tersebut awalnya berasal dari dokumen, yakni hasil laboratorium terhadap limbah perusahaan. Bila ada yang tidak melaporkan atau tidak sesuai standar baku, maka perusahaan itu akan diberikan peringatan. Tingkatan selanjutnya adalah penindakan ke lapangan dengan menutup saluran pembuangan limbah.
"Jadi, dia harus disedot ke perusahaan yang mengolah limbah, misalnya di Jakarta ada PD PAL, jadi dia bayar ke PD PAL," tutur Prihatma.
Bila perusahaan tersebut masih tidak mengindahkan penindakan yang dilakukan oleh Bidang Pengawasan dan Penaatan Hukum, maka izinnya akan direkomendasikan kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta untuk dicabut.
Berdasarkan data yang didapat dari website resmi Dinas Lingkungan Hidup, jumlah perusahaan yang diawasi secara langsung di tahun 2017 dan 2018 mengalami sedikit penurunan. Pada 2017, ada 11 dari total 97 perusahaan yang memenuhi standar baku Dinas Lingkungan Hidup sementara pada Maret 2018 hanya tiga dari total 86 perusahaan yang menaati standar baku tersebut dan empat perusahaan yang menaati dokumen lingkungan, tetapi tidak memiliki data ketaatan lainnya karena tidak dilakukan pengambilan sampel air limbah.
Dari data di atas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan jumlah perusahaan yang menaati standar baku Dinas Lingkungan Hidup, kontras dengan pernyataan Prihatma yang menyebut bahwa sanksi administrasi hingga pencabutan izin itu efektif.
Terkait perusahaan-perusahaan yang berada di Bantaran sungai Ciliwung, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Isnawa Adji mengungkapkan bahwa kebijakan ini bersifat dilematis.
"Saat berhadapan dengan masyarakat menengah ke bawah yang butuh pergerakan ekonomi untuk menghidupi kehidupan mereka, kita kan kaya dilematis. Kita cabut izinnya dia tidak bisa berusaha, menambah pengangguran," ungkap Isnawa saat ditemui di kantornya di Dinas Lingkungan Hidup, Cililitan, Jakarta Timur.
Â
Solusi terbaik menurut Isnawa adalah mengedukasi pemilik bisnis bahwa usahanya harus ramah lingkungan, menggunakan water treatment ataupun penampungan sementara. Peran RT dan RW yang dianggap lebih dekat dengan warganya pun penting untuk mengingatkan serta menegur warga yang masih membuang limbah ke sungai.
Untuk koordinasi antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat pun masih harus dijembatani oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan untuk membantu revitalisasi Sungai Ciliwung. Hal ini dikarenakan perbedaan anggaran serta skala prioritas di kedua daerah tersebut.
"Mungkin DKI dengan anggaran sekian triliun, sungai menjadi salah satu prioritas. Saya mohon maaf untuk daerah sana, boro-boro untuk sungai, mungkin untuk sekolah saja dia belum," jelas Isnawa.
Bahkan, Dinas Lingkungan Hidup sendiri baru sampai level membersihkan sampah yang ada di permukaan air. Pekerjaan rumah terbesar dinas ini adalah pengembalian air sungai ke standar baku air. Pada pantauan pertama, air Sungai Ciliwung tercemar berat dengan adanya bakteri e colli yang jumlahnya ratusan kali lipat dari standar baku air yang layak.
Berbicara soal harapan Presiden Jokowi yang ingin mengubah Sungai Ciliwung menjadi sebersih Sungai Cheonggyecheon, Iswana menganggap kedua sungai tersebut tidak bisa dibandingkan karena karakteristik, permasalahan, dan tantangan alam yang berbeda.
"Tantangan kita untuk mewujudkan seperti Cheonggyecheon itu bisa, asal semuanya bekerja, semuanya care sama Ciliwung," harap Iswana.
Iswana menambahkan, faktor limbah masih menjadi pekerjaan rumah berat bagi Dinas Lingkungan Hidup.
(Liputan6.com/Melissa Octavianti)