Jelang Pemilu 2019, Kurangnya Dokumen Buruh Migran Masih Jadi Masalah

Menurut data dari Kemenlu per Agustus 2017, jumlah buruh migran Indonesia di luar negeri mencapai 4.732.555 orang.

oleh Ratu Annisaa Suryasumirat diperbarui 08 Okt 2018, 06:06 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2018, 06:06 WIB
Migrant Care minta KPU perbaiki data Pemilih Tetap Luar Negeri
Meskipun KPU telah menetapkan jumlah DPTLN sebanyak 1,9 juta pemilih, Migrant Care menilai masih banyak buruh migran yang belum terdaftar dengan perkiraaan mencapai 7 juta orang. (merdeka.com/ Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Buruh migran diperkirakan masih sulit memberikan suara mereka untuk Pemilu 2019 mendatang. Hal ini disebabkan ketiadaan dokumen dan kurangnya sosialisasi pengetahuan prosedur pemilihan.

Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah sembari menambahkan banyak dari buruh migran ini yang juga tidak didata secara komprehensif.

"Gusdur dulu sering mengatakan hanya Tuhan yang tahu berapa sesungguhnya buruh migran di luar negeri. Karena pemerintah hanya punya data mereka yang terdaftar di KBRI, sementara mereka yang tidak terdaftar itu jauh melampaui mereka yang terdaftar," ujar Anis Hidayah di Bawaslu, Jakarta, Minggu (7/10/2018).

"Di Arab Saudi, pekerja migran kita diperkiran 1,5 juta orang, tetapi di DPT-nya (Daftar Pemilih Tetap) itu hanya 19.000," ia melanjutkan.

Menurut data dari Kementerian Luar Negeri per Agustus 2017, jumlah buruh migran Indonesia di luar negeri mencapai 4.732.555 orang dengan rincian 2.862.495 buruh migran berdokumen, dan 1.870.060 buruh migran tidak berdokumen.

Kemudian, sekitar 53% surat suara yang dikembalikan buruh migran kepada KBRI untuk Pemilu 2014 terhitung tidak sah karena mereka tidak menyertakan dokumen wajib.

"Kalau pada Pemilu 2014, mereka tidak menyertakan formulir C4, jadi mereka hanya kirim surat suaranya, tetapi formulir C4-nya tidak disertakan sehingga kemudian itu tidak sah secara administratif," beber Anis.

Dia menjelaskan, perlu ada sosialisasi yang lebih komprehensif dari pemerintah untuk mengatasi hal ini.

"Bagaimana teknis mengembalikannya, apa syarat-syaratnya, itu harus detil, sehingga teman-teman yang sudah bersusah-payah mengembalikan itu suaranya bisa terakomodasi sebagai pemilih. Nah itu yang selama ini terjadi. Apalagi mayoritas itu baik di Taipei, Singapura, kemudian di Hong Kong akan menggunakan mekanisme pemilihan lewat pos," ujar Anis.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Terikat dengan Majikan

Selain permasalahan pendataan dan sosialisasi, mantan buruh migran Siti Badriyah menjelaskan kendala sehari-hari yang dialami buruh migran dengan majikan mereka.

"Pertama, karena bekerja di rumah, kalau keluar harus izin majikan, maka kalau majikan tidak mengizinkan enggak bisa menggunakan hak pilihnya. Biasanya mereka lewat pos, nah surat suara yang lewat pos biasanya ke rumah majikan itu sudah terlambat, atau majikan ngasihnya itu sudah terlambat," Siti menjelaskan.

Karena itu, saat suara sudah dicoblos atau dicontreng dan dikembalikan ke kedutaan, suara tersebut tidak dapat dihitung karena sudah terlambat.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya