Liputan6.com, Jakarta Pemerintah sudah sejak lama memiliki pemikiran untuk menghadirkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pasalnya, ketiadaan GBHN menyebabkan pola pembangunan berlangsung secara parsial, tidak berkesinambungan antara pemerintah sekarang dan sebelumnya. Selain itu, ketiadaan GBHN juga menyebabkan perencanaan pembangunan hanya tergantung pada visi misi presiden terpilih selama berkampanye.
Karena itu, sudah sejak lama Pimpinan Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) periode 2009-2014, mengeluarkan keputusan untuk melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan model GBHN. Upaya tersebut dilanjutkan oleh Pimpinan MPR periode 2014-2019 dengan membentuk Badan Pengkajian dan Lembaga Pengkajian, masing-masing dengan anggota sebanyak 45 orang dan 60 orang. Selanjutnya, dalam sidang paripurna MPR Agustus 2018 telah dibentuk panitia Ad Hoc yang bertugas merumuskan GBHN dan rekomendasi.
Pernyataan itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sesjen) MPR RI, Ma'ruf Cahyono, saat menjadi pembicara kunci di seminar nasional yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum (FH) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung di Bale Sawala Unpad, Senin (7/10/2018). Seminar dengan tema 'Perlukah GBHN Dihidupkan Kembali Setelah Reformasi' ini menghadirkan dua orang narasumber, yaitu Guru Besar HTN FH Unpad Susi Dwi Hardjanto dan Dosen Ilmu Politik FH Unpad Mudiyati Rahmatunnisa.
Advertisement
Turut hadir dalam acara tersebut Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Arry Baimus dan Dekan Fakultas Hukum Unpad An An Chandrawulan.
Pembentukan Panitia Ad Hoc, ujar Ma'ruf, merupakan bukti keseriusan MPR untuk menampung aspirasi yang tumbuh di masyarakat. Panitia itu sudah bekerja sejak bulan Agustus, dengan harapan sebelum periode kepemimpinan MPR 2014-2019 berakhir, rancangan GBHN telah berhasil disiapkan.
"Karena itu saya sangat menghargai acara di Unpad ini, dengan harapan hasil yang didapat mampu memperkaya wacana pengembalian GBHN, seperti yang selama ini sudah disampaikan oleh berbagai pihak kepada MPR RI," ucap Ma'ruf.
Berdasarkan survei yang dilakukan MPR bekerja sama dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebanyak 85,5 persen responden setuju kembalinya GBHN dalam sistem ketatanegaraan. Selain itu, sebanyak 89 persen responden juga setuju jika MPR diberi kewenangan untuk menyusun GBHN.
Sebelumnya, Arry Baimus mengatakan bahwa pro kontra terhadap kembalinya GBHN sudah terjadi sejak lama. Masing-masing kelompok memiliki alasan dan keyakinannya tersendiri. Pihak yang pro terhadap GBHN mengatakan, hilangnya haluan negara menyebabkan arah pembangunan tidak jelas. Karena itu, arah pembangunan lebih cenderung menjadi Neo liberalis.
Sementara itu, pihak yang kontra beralasan bahwa kembalinya GBHN akan mengubah sistem ketatanegaraan dan mengubah konstruksi sistem barbangsa dan bernegara. Terlebih lagi, kalau MPR diberi mandat menjadi lembaga tertinggi negara. Intinya, korelasi terhadap kembalinya GBHN akan memiliki dampak panjang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
(*)