Hakim Cecar Sofyan Basir Soal Penerapan Perpres 4/2016 pada PLTU Riau-1

Anak perusahaan PLN, PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) Investasi hanya memiliki 10 persen saham dari kerjasama dengan perusahaan swasta.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Okt 2018, 23:09 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2018, 23:09 WIB
Dirut PLN Sofyan Basir Bersaksi di Sidang Lanjutan Suap PLTU Riau-1
Dirut PT PLN (Persero), Sofyan Basir usai memberikan kesaksian untuk terdakwa kasus suap pembangunan PLTU Riau-1, Johannes Budisutrisno Kotjo pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (25/10). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Anggota majelis hakim sidang kasus dugaan memberi suap oleh Johannes Budisutrisno Kotjo, Joko Subagyo mempertanyakan implementasi peraturan presiden nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan terhadap proyek PLTU Riau 1.

Dalam pengerjaannya, anak perusahaan PLN, PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) Investasi hanya memiliki 10 persen saham dari kerjasama dengan perusahaan swasta.

Realisasi tersebut bertentangan dengan Perpres nomor 4 tahun 2016 Pasal 9 ayat 3 pelaksanaan PIK berbunyi anak perusahaan PLN sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan anak perusahaan PT PLN Persero yang sahamnya dimiliki oleh PT PLN paling kurang 51 persen baik secara langsung dan atau melalui anak perusahaan PT PLN Persero lainnya.

Menanggapi hal itu, Sofyan menjelaskan secara hukum PLN melalui anak perusahaannya tetap memiliki komposisi saham 51 persen meski dalam realisasi hanya menyetor 10 persen saja.

"Itu utang jangka panjang, saat awal (swasta) siap membayarkan kami untuk kepentingan PLN. Jadi secara de jure kami punya 51 persen," ujar Sofyan saat memberikan keterangan sebagai saksi untuk terdakwa Johannes Budisutrisno Kotjo di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (25/10).

"Tetapi secara substansinya kan tidak memang Perpres 4 nomor 2016 itu bagaimana?" tanya Hakim Joko.

"Tidak ditentukan. Banyak investor yang mau pinjamkan equity itu ke PLN, dalam perjanjiannya disepakati ditandatangani ya ini kenapa menguntungkan PLN," ujarnya.

Sebelumnya, Direktur PT Samantaka Batubara, Rudi Herlambang menyesali komposisi saham PLN dalam pengerjaan proyek PLTU Riau 1. Anak perusahaan PLN yakni PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) tidak mampu memiliki saham atau modal untuk ikut menggarap proyek senilai USD 900 juta tersebut.

Rudi menjelaskan, berdasarkan Peraturan Presiden nomor 4 tahun 2016 tentang percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK) anak perusahaan PLN yang bekerjasama dengan perusahaan asing harus memiliki modal minimal 51 persen. Namun dalam realisasi kesepakatan penyertaan modal, anak perusahaan PLN dalam hal ini Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) hanya menyanggupi modal 10 persen.

"Yang terlibat adalah PJBI, Chec Huadian dan BNR (Blackgold Natural Resources). PJBI dengan saham 51 persen, Chec Huadian 37 persen dan BNR 12 persen. PJBI hanya mampu setor 10 persen dari 51 persen. Sisanya yang 41 persen Chec Huadian dan BNR," kata Rudi saat memberikan keterangan sebagai saksi atas terdakwa Johannes Budisutrisno Kotjo di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (18/10).

Sisa kewajiban yang harus dibayar PJBI akhirnya ditanggung oleh Chec Huadian dan BNR, perusahaan milik Kotjo. Porsi pembagiannya adalah 21 persen dibayar Chec dan sisanya ditanggung BNR.

 

Suap Rp 4,7 Miliar

Dirut PLN Sofyan Basir Bersaksi di Sidang Lanjutan Suap PLTU Riau-1
Terdakwa suap pembangunan PLTU Riau-1, Johannes Budisutrisno Kotjo (kiri) saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (25/10). Sidang mendengar kesaksian Dirut PT PLN (Persero), Sofyan Basir. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Diketahui Johanes Budisutrisno Kotjo didakwa telah memberi suap Rp 4,7 miliar kepada anggota Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham. Uang suap diperuntukkan agar Eni mengarahkan PLN menunjuk Blackgold Natural Resources, perusahaan milik Kotjo, mendapat bagian dari proyek PLTU Riau 1.

Uang diberikan Kotjo kepada Eni sebanyak dua, 18 Desember 2017 dan 14 Maret 2018, dengan masing-masing besaran Rp 2 miliar.

Uang kembali diberikan Kotjo setelah ada permintaan dari Eni untuk kepentingan suaminya mencalonkan diri sebagai Bupati Temenggung. Awalnya, Eni meminta uang Rp 10 miliar, namun ditolak dengan alasan sulitnya kondisi keuangan. Peran Idrus melobi Kotjo berhasil dan memberikan uang kepada Eni untuk keperluan sang suami sebesar Rp 250 juta.

Kotjo pertama kali mengetahui adanya proyek itu sekitar tahun 2015. Kemudian, dia mencari perusahaan lain untuk bergabung bersamanya sebagai investor, hingga bertemulah perusahaan asal China, CHEC Ltd (Huading). Dalam kesepakatan keduanya, Kotjo akan mendapat komitmen fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek atau sekitar USD 25 juta. Adapun nilai proyek itu sendiri sebesar USD 900 juta.

Dari komitmen fee yang ia terima, rencananya akan diteruskan lagi kepada sejumlah pihak di antaranya kepada Setya Novanto USD 6 juta, Andreas Rinaldi USD 6 juta, Rickard Phillip Cecile, selaku CEO PT BNR, USD 3.125.000, Rudy Herlambang, Direktur Utama PT Samantaka Batubara USD 1 juta, Intekhab Khan selaku Chairman BNR USD 1 juta, James Rijanto, Direktur PT Samantaka Batubara, USD 1 juta.

Sementara Eni Saragih masuk ke dalam pihak-pihak lain yang akan mendapat komitmen fee dari Kotjo. Pihak-pihak lain disebutkan mendapat 3,5 persen atau sekitar USD 875 ribu.

Atas perbuatannya, Kotjo didakwa telah melanggar Pasal 5 ayat 1 atau Pasal 13 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. 

Reporter: Yunita Amalia

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya