3 Alasan Gunung Anak Krakatau Berstatus Siaga

PVMBG merekomendasikan masyarakat dan wisatawan tidak melakukan aktivitas di dalam radius 5 km dari puncak kawah karena berbahaya terkena dampak erupsi berupa lontaran batu pijar, awan panas dan abu vulkanik pekat.

oleh Nila Chrisna Yulika diperbarui 27 Des 2018, 09:51 WIB
Diterbitkan 27 Des 2018, 09:51 WIB
krakatau
Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Banten. (Liputan6.com. Yandhi Deslatama)

Liputan6.com, Jakarta - Aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau yang terletak di Selat Sunda terus meningkat. Untuk itu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi atau PVMBG, Badan Gelologi Kementerian ESDM, menaikkan status Gunung Anak Krakatau dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III), dengan zona berbahaya diperluas dari 2 kilometer menjadi 5 kilometer.

Masyarakat dan wisatawan dilarang beraktivitas di dalam radius 5 kilometer dari puncak kawah Gunung Anak Krakatau. Naiknya status Siaga (Level III) ini berlaku terhitung mulai Kamis, 27 Desember 2018 pukul 06.00 WIB.

Hal ini karena adanya dampak erupsi berupa lontaran batu pijar, awan panas dan abu vulkanik pekat.

Di dalam radius 5 km tersebut tidak ada permukiman. Sementara itu, BMKG merekomendasikan, masyarakat agar tidak melakukan aktivitas di pantai pada radius 500 meter hingga 1 kilometer dari pantai untuk mengantisipasi adanya tsunami susulan. Tsunami yang dibangkitkan longsor bawah laut akibat erupsi Gunung Anak Krakatau.

Masyarakat diimbau tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaannya. Gunakan selalu informasi dari PVMBG untuk peringatan dini gunung api dan BMKG terkait peringatan dini tsunami selaku institusi yang resmi. Jangan percaya dari informasi yang menyesatkan yang sumbernya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berikut 3 alasan PVMBG naikkan status siaga:

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

1. Erupsi Berlangsung Fluktuatif

Berdasarkan data PVMBG, Gunung Anak Krakatau aktif kembali dan memasuki fase erupsi mulai Juli 2018. Erupsi selanjutnya berupa letusan-letusan strombolian, yaitu letusan yang disertai lontaran lava pijar dan aliran lava pijar yang dominan mengarah ke tenggara. Erupsi yang berlangsung fluktuatif.

Pada 22 Desember 2018 terjadi erupsi, tapi tercatat skala kecil, jika dibandingkan dengan erupsi periode September-Oktober 2018. Hasil analisis citra satelit diketahui lereng barat-barat daya longsor (flank collapse) dan longsoran masuk ke laut. Inilah kemungkinan yang memicu terjadinya tsunami.

2. Meletus Terus-menerus

Sejak 22 Desember 2018, diamati adanya letusan tipe surtseyan, yaitu aliran lava atau magma yang keluar kontak langsung dengan air laut. Hal ini berarti debit volume magma yang dikeluarkan meningkat dan lubang kawah membesar. Kemungkinan terdapat lubang kawah baru yang dekat dengan ketinggian air laut. Sejak itulah letusan berlangsung tanpa jeda. Gelegar suara letusan terdengar beberapa kali per menit.

Saat ini aktivitas letusan masih berlangsung secara menerus, yaitu berupa letusan strombolian disertai lontaran lava pijar dan awan panas.

3. Hujan Abu

Pada 26 Desember 2018 terpantau letusan berupa awan panas dan surtseyan. Awan panas ini yang mengakibatkan adanya hujan abu. Dominan angin mengarah ke baratdaya sehingga abu vulkanik menyebar ke baratdaya ke laut. Adanya beberapa lapisan angin pada ketinggiaan tertentu mengarah ke timur menyebabkan hujan abu vulkanik tipis jatuh di Kota Cilegon dan sebagian Serang pda 26 Desember 2018 sekitar pukul 17.15 WIB. Ini tidak berbahaya. Abu vulkanik justru menyuburkan tanah. Masyarakat agar mengantisipasi menggunakan masker dan kacamata saat beraktivitas di luar saat hujan abu.

Pengamatan Gunung Anak Krakatau selama 27/12/2018 pukul 00.00-06.00 WIB, aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau masih berlangsung, tremor menerus dengan amplitude 8-32 milimeter (dominan 25 milimeter), dan terdengar dentuman suara letusan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya