HEADLINE: Tarif Murah MRT Rp 8.500, Kurangi Mimpi Buruk Macet Jakarta?

DPRD DKI Jakarta mengetok tarif MRT adalah Rp 8.500 untuk sekali jalan dari Bundaran HI-Lebak Bulus dan sebaliknya. Efektif urai kemacetan?

oleh Ika Defianti diperbarui 26 Mar 2019, 00:02 WIB
Diterbitkan 26 Mar 2019, 00:02 WIB
Bulan Depan Masyarakat Bisa Ikut Uji Coba MRT
Petugas berjalan di dalam kereta MRT yang menuju stasiun Lebak bulus Jakarta, Senin (25/2). 5 Maret nanti pihak Kereta MRT akan membuka pendaftaran uji coba umum. Dengan begitu, masyarakat bisa mengikuti progres pembangunan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Teka-teki soal berapa tarif Moda Raya Terpadu (MRT) akhirnya terjawab. Melalui perdebatan yang alot, DPRD DKI Jakarta mengetok tarif MRT Rp 8.500 untuk sekali jalan dari Bundaran Hotel Indonesia ke Lebak Bulus atau sebaliknya.

"Kita ambil jalan tengah yaitu nominal Rp 8.500. LRT Rp 5.000, setuju?" tanya Prasetyo yang dijawab dengan kata "Setuju" oleh anggota dewan di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (25/3/2019).

Rp 8.500 lebih murah dari usulan Pemerintah Provinsi DKI yang mengajukan angka Rp 10 ribu untuk tarif MRT.

Murahnya tarif MRT diharapkan bisa memancing masyarakat yang selama ini menggunakan kendaraan pribadi untuk beralih ke moda transportasi massal itu. 

Pengamat transportasi Jakarta, yang juga Ketua Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar), Sugianto meyakini, MRT akan jadi pilihan transportasi warga Jakarta jika tarifnya hanya Rp 8.500.

"Kalau tarifnya cuma Rp 8.500 itu sangat murah sekali. Mereka yang tinggal atau beraktivitas di jalur MRT pasti beralih. Kalau tidak, ya kebangetan," ujar Sugianto kepada Liputan6.com, Senin (25/3/2019).

Sugianto mengaku belum mengetahui apa yang jadi  pertimbangan DPRD DKI memutuskan tarif MRT di angka tersebut. Hanya, merujuk pada tarif tersebut, dipastikan subsidi dari APBD untuk itu pastilah sangat besar.

"Tapi biarlah, nanti kan ada evaluasi. Kalau memang terlalu murah kan nanti bisa revisi. Yang terpenting sekarang jalan dulu saja," ujarnya. 

Sugianto menyatakan, MRT ke depan akan jadi prioritas warga Jakarta dan sekitarnya. Namun, dengan catatan alat angkut masal berbasil rel ini harus terintegrasi dengan moda transportasi masal lainnya seperti, Transjakarta atau Kereta Rel Listrik (KRL).  

"MRT juga harus diperluas dan bisa menjangkau semua wilayah ibu kota. Dan ini kan sedang proses fase II, jika semua sudah selesai MRT akan berfungsi maksimal," katanya.

Infografis MRT Era Baru Warga Jakarta. (Liputan6.com/Triyasni)

Terpisah, pengamat transportasi Djoko Setidjowarno menyatakan, tarif MRT idealnya memang di bawah Rp 10 ribu. Jika lebih dari itu, dipastikan warga akan keberatan dan memilih transportasi lain.

"Kita hitungannya tarifnya tidak lebih dari Rp 10 ribu. Karena kalau sekilo Rp 1.000, 17 km jadinya Rp 17 ribu. Masih mahal. Tidak lebih dari 10 ribu tetapi subsidinya perkilometer jarak tempuh, jadi entah berapa orangnya dihitungnya kilometer jarak tempuh, rata rata orang bayar Rp 10 ribu, enggak lebih dari itu," jelasnya.

Djoko, yang juga Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyatakan, MRT saat ini belum bisa menjadi solusi pemecah kemacetan Jakarta. Tapi diyakini sudah bisa mengurangi, terutama di jalur yang dilintasi MRT.

"Kalau 17 kilometer belumlah. Kan ini mau bikin 220 kilometer, kita masih nunggu. Tapi bertahaplah," jelasnya.

Kondisi MRT saat ini masih serupa KRL di 2013. Waktu itu, pengguna KRL hanya berkisar 200 ribu hingga 300 ribu sehari. Namun, seiring pembangunan KRL di sejumlah titik, saat ini pengguna KRL mencapai 1 juta perhari.

Sementara itu, sinyal kurang puas dengan tarif MRT ditunjukkan Pemprov DKI. Sekda Pemprov DKI Jakarta Saefullah menyatakan, pihaknya akan kembali menemui pimpinan DPRD DKI untuk membahas kembali masalah tarif MRT.

"Masih ada ruang yang harus kita bicarakan kembali. Besok mungkin kita agendakan dengan pimpinan dewan. Hari ini kita akan lapor dulu (ke gubernur)," ujar Saefullah di Balaikota Jakarta, Senin (25/3/2019).

Saefullah menyatakan, pihaknya ingin keputusan terkait tarif MRT diputuskan dengan logika serta perhitungan cermat dan matang. "Kita ingin keputusan yang long term," singkatnya.

Saefullah menyatakan, pihaknya sebetulnya tidak mematok angka untuk tarif MRT. Tetapi di Perda Nomor 5 tahun 2014 pasal 177 mengatur soal tarif angkutan orang dan angkutan barang.

"Kita memperhatikan usulan dari DTKJ (Dewan Transportasi Kota Jakarta). Untuk DTKJ dengan tarif terintegrasi itu Rp 12.000, untuk MRT dan LRT-nya Rp 10.800. Kemudian BUMD mengusulkan Rp 8.500 dan 10.000 (tarif MRT), LRT Rp 5.000 dan Rp 7.000," jelasnya. 

 

Momentum Peradaban Baru?

MRT
Bagian kepala kereta Mass Rapid Transit (MRT) melintas di Depo MRT Lebak Bulus, Jakarta. (Liputan6.com/Arya Manggala)

Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta resmi melenggang membelah jalanan ibu kota, Minggu 23 Maret 2019. Ada yang melayang di atas, sebagian terbenam dalam terowongan bawah tanah Jakarta.

Total 13 stasiun tersedia di MRT fase I. Tujuh stasiun layang, yakni di Lebak Bulus, Fatmawati, Cipete Raya, Haji Nawi, Blok A, Blok M, dan Sisingamangaraja. Sisanya, stasiun Senayan, Istora, Bendungan Hilir, Setiabudi, Dukuh Atas, dan Bundaran Hotel Indonesia terbenam di bawah tanah.

Presiden Jokowi menyatakan, MRT merupakan budaya baru masyarakat Indonesia. Dia meminta agar masyarakat tertib serta menjaga kebersihan saat menggunakan transportasi masal tersebut.

"Ini adalah peradaban baru, kita harus yakin kita bisa mengubah masyarakat dari budaya lama ke budaya baru ini. Apa itu? Yang tadi saya sampaikan, antre kalau mau masuk ke MRT, jangan buang sampah sembarangan di stasiun MRT maupun di dalam MRT-nya," ujar Jokowi saat peresmian, Minggu 24 Maret 2019.

Dia mengingatkan agar masyarakat disiplin, tidak berdesak-desakan saat naik MRT. Menurutnya, masyarakat harus bersama menjaga dan merawat transportasi baru ini.

"Kalau ini tidak dibudayakan, percuma kita memiliki MRT, artinya kita harus menjaga kita harus merawat MRT yang kita miliki ini," ucap Jokowi.

MRT memang menjanjikan kenyamanan dengan kabin dan interior ruangan yang menawan. Lebih dari itu, MRT menjanjikan kecepatan dan efisiensi waktu. Hanya butuh 30 menit dari Lebak Bulus untuk tiba di Bundaran HI.

Sementara itu, Direktur MRT Jakarta William Sabandar optimistis, MRT akan mengubah arus lalu lintas di Jakarta. Mimpi buruk warga Jakarta akan kemacetan diyakini bakal berkurang.

"Inilah saatnya untuk mengubah Jakarta. Inilah saatnya untuk menjadikan Jakarta lebih baik dan bebas dari kemacetan," kata Direktur MRT Jakarta William Sabandar, beberapa waktu lalu.

William tak main-main. Ada tiga moda transportasi berbasis rel yang mengepung Jakarta saat ini. Selain MRT yang baru resmi diluncurkan, sebelumnya sudah ada kereta rel listrik (KRL) dan light rail transit (LRT). Ketiga moda transportasi dengan sarana kereta tersebut diharapkan mampu melayani mobilitas warga Ibu Kota dalam beraktivitas sehari-hari, sekaligus memangkas kemacetan.

Meski terkesan sama, ketiga moda ini punya beberapa perbedaan baik dari perlintasan, kapasitas penumpang, dan rangkaiannya. LRT atau kereta api ringan, misalnya, mengacu pada beban ringan dan bergerak cepat. Meskipun MRT dan KRL memiliki daya angkut lebih besar, LRT dapat memindahkan penumpang melalui rute yang lebih banyak.

Selain itu, kelebihan dari moda transportasi LRT ini, sistem perlintasannya dibuat melayang sehingga tidak memiliki konflik sebidang yang sering ditemukan di lintasan KRL. Karenanya, headway atau jarak antarkereta dapat dipastikan waktunya.

Sedangkan commuter line atau KRL yang sudah mulai beroperasi sejak tahun 1925 merupakan kereta rel yang menggunakan sistem propulsi motor listrik sebagai penggerak keretanya. KRL yang melayani rute Jabodetabek ini seringkali mengalami konflik sebidang dengan penyeberangan jalur kendaraan mobil dan motor. Hal ini yang kerap menimbulkan kemacetan serta kecelakaan.

Kemudian MRT yang merupakan transportasi dengan transit cepat dan memiliki daya angkut yang lebih besar dari LRT. Perlintasannya dibuat melayang dan bawah tanah, sehingga meminimalisir pertemuan dengan konflik sebidang sama halnya dengan LRT.

William membeber spesifikasi teknis MRT. Dia mengatakan, kereta MRT Jakarta dibuat oleh perusahaan Nippon Sharyo asal Jepang. Posisi kemudi masinis berada di sisi sebelah kanan karena disesuaikan dengan arah jalur perjalanan kereta.

Seluruh kereta MRT Jakarta dibuat dari material stainless steel. Satu rangkaian kereta MRT Jakarta dapat menampung sebanyak 1.200 penumpang dan jika sangat padat dapat mencapai 1.950 penumpang. Satu unit kereta atau gerbong memiliki dua unit penyejuk ruangan.

Satu rangkaian kereta nantinya terdiri dari enam kereta. Pada kereta 1 dan 6 yang merupakan kereta dengan kabin masinis merupakan kereta tanpa motor penggerak atau disebut juga trailer car. Untuk kereta 2 hingga 5 yang merupakan kereta tanpa kabin masinis memiliki masing-masing 1 pantograf tipe single arm dengan motor penggerak.

 

 

Masukan YLKI untuk MRT Jakarta

Rampung 98 Persen, Begini Wujud Proyek MRT Fase I
Sejumlah kereta Mass Rapid Transit (MRT) berjajar di Depo MRT Lebak Bulus, Jakarta, Rabu (20/2). MRT Jakarta akan segera dioperasikan pada Maret 2019. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyatakan, secara umum MRT Jakarta sudah bagus, baik infrastruktur stasiun, kabin kereta dan kualitas selama perjalanan.

"Tidak berisik dan kecepatan stabil. Kualitas pengereman juga nyaman. Kereta berhenti di stasiun selama 30 detik, dengan headway 5 menit," ujar Tulus, Jakarta, Senin (25/3/2019).

Tulus bersama tim YLKI sudah menjajal langsung MRT pada Selasa 19 Maret 2019. Uji coba dilakukan tim YLKI dari Stasiun Bundaran HI hingga Stasiun Lebak Bulus.

"Yang patut diapresiasi, di semua ruang tunggu stasiun dilengkapi pintu pembatas yang bisa buka tutup secara otomatis, sebelum penumpang naik atau turun kereta," ujarnya.

Dari sisi safety, kata dia, pintu pembatas ini sangat penting untuk menghindari kecelakaan penumpang yang tersenggol atau tertabrak kereta.

Meski begitu, Tulus mengatakan, pihaknya punya sejumlah catatan untuk MRT. Di antaranya adalah minimnya rambu atau peringatan yang memberikan informasi dan edukasi pada penumpang, baik penandaan di stasiun dan kabin kereta.

"Di kabin kereta tidak ada penandaan sebagaimana penandaan di KRL Jabodetabek, seperti dilarang bersandar di depan pintu. Juga tidak ada penandaan dilarang makan dan minum di kereta dan atau di ruang tunggu," jelas Tulus.

Dia menambahkan, di semua MRT dunia selalu ada penandaan larangan makan dan minum. Informasi, baik dengan suara atau tulisan.

"Terkait buka tutup pintu kereta juga tidak ada, padahal ini sangat penting bagi konsumen. Apalagi jika penumpangnya penuh sesak. Tidak ada rak bagasi di kabin kereta," ungkapnya.

Tulus mengaku sudah menanyakan hal ini ke pihak MRT, dan ternyata space rak bagasi akan dipakai untuk iklan.

"Iklan boleh tapi jangan mengurangi hak dan kenyamanan konsumen. YLKI menyarankan rak bagasi tetap ada, walau mungkin tidak full," katanya.

YLKI, sambung Tulus, meminta manajemen MRT Jakarta segera melengkapi dengan penandaan yang lebih informatif. MRT Jakarta, kata dia, harus menjadi sarana transformasi dalam bertransportasi bukan hanya sekadar mengangkut penumpang secara massal.

"Informasi yang edukatif sangat penting untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat sebagai penumpang MRT," katanya.

YLKI akan kembali memonitor kualitas pelayanan dan keandalan MRT sebulan usai beroperasi resmi.

"Termasuk monitor kepatuhan terhadap regulasi, misalnya kepatuhan terhadap Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang telah ditetapkan oleh Ditjen Perkeretaapian Kemenhub dan Dishub DKI Jakarta, baik SPM di stasiun atau SPM di dalam kereta," pungkas Tulus Abadi.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya