Liputan6.com, Jakarta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti fenomena maraknya penyebutan tindakan makar di Indonesia. Ketua Umum YLBHI Asfinawati menilai ada miskonsepsi delik dan makna makar dalam penegakan hukum di Indonesia.
"Nampaknya ada kesalahan pemaknaan Makar, sediki-sedikit disebut makar," katanya di gedung YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (15/5/2019).
Asfina menyatakan makar adalah bentuk serangan pembunuhan presiden atau wakil serta usaha menggulingkan negara atau pemerintahan. Sementara saat ini, meski belum ada bentuk serangan sudah disebut makar.
Advertisement
Senada dengan Asfina, Pengajar STHI Jentera, Anugerah Rizki Akbari, menyatakan suatu tindakan disebut makar apabila sudah terjadi serangan, baik serangan sudah selesai dilaksanakan atau belum. Apabila baru dalam tahap niat ataupun perencanaan, maka hal tersebut belum termasuk makar.
"Kita enggak bisa sembarangan menuduh orang karena makar. Jadi dia harus betul-betul punya niat menyerang dan itu betul-betul sudah dilakukan, meski belum selesai, jadi dia sampai tahap permulaan pelaksanaan," katanya
Ia mencontoh apabila ada seseorang berteriak bunuh presiden, atau mengajak orang untuk menggulingkan presiden, maka hal tersebut masuk dalam pidana penghasutan. Contoh itu baru bisa disebut makar apabila perencanaan dan serangan sudah dimulai.
"Kita tahu bahwa orang-orang yang koar-koar bunuh, atau ngomongin NKRI, itu enggak masuk makar," katanya
Meski tidak termasuk makar, hal-hal yang berniat atau berpotensi untuk makar tetap dapat dijerat hukum.
"Misal orang bareng-bareng ngajak ngeroyokin, meskipun targetnya presiden, itu bukan makar, itu adalah penghasutan kalau masih tahap hasutan, Pasal 160 KUHP," jelasnya
"Jangan semua dicampuradukan menjadi makar, kalau gitu akhirnya begitu berbahaya," tandasnya