Liputan6.com, Jakarta - Penasihat hukum tersangka Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail menganggap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menodai perjanjian yang sudah dibuat pemerintah dengan warga negara.
Hal tersebut dikatakan Maqdir menanggapi penetapan kliennya, Sjamsul Nursalim dan istrinya Itijih Nursalim sebagai tersangka kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI)
"SN (Sjamsul) telah mengikuti permintaan pemerintah untuk menandatangani MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) pada 21 September 1998 kemudian ditindaklanjuti dengan memberikan surat R&D pada 25 Mei 1999," ujar Maqdir dalam siaran pers, Rabu (12/6/2019).
Advertisement
Menurut Maqdir, dalam penandatanganan tersebut, pemerintah berjanji melepaskan Sjamsul Nursalim dari segala tuntutan hukum. Dan kini KPK menjerat Sjamsul dan istri sebagai tersangka.
"KPK telah mencederai komitmen pemerintah yang sah dan berkekuatan hukum," kata dia.
Selain itu, Maqdir juga mempersoalkan penetapan Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka lantaran audit BPK tahun 2017 yang menyebut ada kerugian negara Rp 4,58 triliun atas penerbitan SKL BLBI terhadap BDNI.
Padahal, menurutnya dalam audit BPK tahun 2002 dan 2006 tidak disebutkan adanya kerugian keuangan negara dari penerbitan SKL tersebut.
"Selain tidak lazim, proses audit BPK 2017 itu juga justru bertentangan dengan dua hasil audit sebelumnya oleh BPK. Saat ini, pihak SN (Sjamsul Nursalim) tengah mengajukan gugatan atas hasil dan proses audit BPK 2017 ini di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Kini proses pemeriksaan perkara dan persidangannya masih berlangsung," kata Maqdir.
Saksikan video pilihan di bawah ini
KPK Minta Audit BPK Tak Diperdebatkan
KPK sendiri menyebut perbedaan laporan audit dari BPK terkait penerbitan SKL BLBI terhadap BDNI sudah dijelaskan di Pengadilan Tipikor.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, perbedaan audit BPK tersebut sejatinya tak lagi diperdebatkan. Menurut Febri, audit BPK di tahun 2002 dan 2006 merupakan audit kinerja, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pertimbangan hakim Pengadilan Tipikor.
"Sedangkan audit BPK tahun 2017 merupakan audit untuk tujuan tertentu, yakni untuk menghitung kerugian negara," ujar Febri saat dikonfirmasi, Selasa 11 Juni 2019.
Menurut Febri, dari pada pihak Sjamsul memperdebatkan audit tersebut, lebih baik pihak Sjamsul beritikad baik dengan meminta agar Sjamsul dan istrinya Itjih Nursalim menyerahkan diri ke KPK. Sjamsul dan Itjih sudah dijadikan tersangka dalam kasus ini.
"KPK memandang akan lebih baik jika pihak kuasa hukum SJN (Sjamsul) dan ITN (Itjih) membantu menghadirkan para tersangka untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut agar para tersangka juga dapat memberikan keterangan sesuai dengan data dan apa yang diketahui," kata Febri.
Febri mengatakan, sebelum menjerat Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka, pihak KPK terlebih dahulu sudah memberikan kesempatan agar keduanya menjelaskan kepada penyidik KPK, namun kesempatan tersebut tak digunakan dengan baik.
"KPK justru telah memberikan ruang yang cukup sejak tahap penyelidikan pada SJN dan ITN untuk menyampaikan keberatan atau Informasi bantahan terhadap proses yang dilakukan KPK, namun hal tersebut tidak pernah digunakan," kata Febri.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI.
Penetapan ini merupakan pengembangan dari perkara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung yang divonis 15 tahun penjara.
Berdasarkan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta, perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul sebesar Rp 4,58 triliun.
Advertisement