Liputan6.com, Bogor - Permasalahan penyediaan air minum di wilayah Sentul City, Bogor, Jawa Barat masih berlarut. Mediasi antara warga dan pengembang Sentul City yang diprakarsai Kemenko Polhukam pun belum menemukan titik terang.
Dalam mediasi ini semua keluh kesah warga perumahan elit maupun dari pihak Sentul City diungkapkan dalam sebuah pertemuan di salah satu hotel di Kota Bogor, Senin (17/6/2019). Namun pihak Kemenko Polhukam justeru menyerahkan kembali permasalahan tersebut ke masing-masing pihak.
"Kami hanya memfasilitasi, tidak merekomendasikan hasil apapun. Silahkan tanyakan sama masing-masing pihak yang ikut pertemuan," ujar Kepala Bidang Penyelesaian Kasus Hukum Kemenko Polhukam, Aberto
Advertisement
Menurutnya, pertemuan antara pengembang dan warga Sentul City yang diprakarsai oleh Kemenko Polhukam tersebut atas perintah Presiden RI untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang berkepanjangan ini. Dalam pertemuan tersebut turut hadir Ombusdman RI perwakilan Jakarta Raya.
"Ada beberapa pihak yang memang melaporkan kepada presiden. Melalui Sekretaris Negara, presiden meminta Menko Polhukam meminta segera difasilitasi," kata dia.
Deni Erliana Juru Bicara Komite Warga Sentul City (KWSC) menyebut koordinasi penyelesaian dalam agenda rapat yang difasilitasi Kemenko Polhukam dinilai sebagai intervensi terhadap hukum, terlebih sudah ada dua putusan inkrah terkait permasalahan di Sentul City.
"Saat ini kami sudah memenangkan dua gugatan di Mahkamah Agung (MA), yaitu terkait pengelolaan air dan iuran pengelolaan lingkungan," ujar Deni.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 463 K/TUN/2018 pada intinya membatalkan Keputusan Bupati Bogor tentang Pemberian Izin Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) kepada PT Sentul City Tbk dan mewajibkan Bupati Bogor untuk mencabut keputusan itu.
Kemudian Putusan Mahkamah Agung Nomor 3415 K/Pdt/2018 yang pada intinya menghukum PT Sentul City untuk bertanggung jawab membiayai pemerliharaan prasarana, sarana, dan utilitas di kawasan Permukiman Sentul City sampai adanya penyerahan kepada Pemerintah Kabupaten Bogor dan menyatakan PT Sentul City Tbk dan anak perusahaannya tak berhak menarik biaya pemeliharaan dan perbaikan lingkungan dari warga di seluruh kawasan Sentul City.
Pada 27 November 2018, Ombudsman telah menyampaikan Laporan Hasil Akhir Pemeriksaan yang intinya menyimpulkan Bupati Bogor telah melakukan malaadministrasi berupa pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan SPAM di Sentul City dan dalam penyerahan prasarana, sarana, dan utilitas di Sentul City. Ombudsman mengajukan langkah korektif agar Bupati Bogor segera mengalikan penyelenggaraan SPAM kepada PDAM Tirta Kahuripan dan melakukan penyerahan prasarana, sarana, dan utilitas dari PT Sentul City, Tbk.
"Dengan dua kondisi di atas, kami menilai lebih tepat dan pas bagi pemerintah pusat, dalam hal ini Kemenko Polhukam untuk memastikan putusan MA yang telah menjadi hukum tersebut ditegakkan di Sentul City. Sebab hingga kini, baik Bupati Bogor maupun PT Sentul City masih enggan melaksanakan putusan secara sukarela," terang Deni.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Penjelasan Sentul City
Sementara itu, Alfian Mujani, Head of Corporate Communication PT Sentul City mengatakan, pengelolaan lingkungan kawasan hunian Sentul City merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) yang diteken kedua belah pihak yaitu konsumen sebagai pembeli dengan pengembang sebagai penjual. Karena itu, PPJB adalah hukum yang mengikat kedua belah pihak.
"Jadi sejatinya warga Sentul City yang membeli rumah pada kami sadar, mengerti dan setuju secara hukum bahwa pengelolaan lingkungan atau kami sebut township management dikelola oleh kami secara profesional," jelasnya.
Konsep township management sudah dikembangkan juga oleh pengembang-pengembang besar lain seperti Sinar Mas Group, Citra, Summarecon Group.
"Setiap bulan warga perumahan di tempat lain membayar Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) kalau di kami yaitu BPPL (Biaya Pemeliharaan dan Perbaikan Lingkungan). Kami sudah cek BPPL kami lebih murah daripada IPL mereka dan gak ada masalah juga," papar Alfian.
Alfian menjelaskan, PT SC dan pengembang-pengembang lain yang mengembangkan township management tidak dapat disamakan dengan pengembang yang menyerahkan pengelolaan lingkungan kepada Ketua Rukun (RT) dan Rukun Warga (RW).
"Tidak apple to apple menyamakan dengan kami misalnya dengan Perumnas. Karena kami punya pasar dengan segmentasi yang berbeda. Jadi dengan meneken PPBJ sesungguhnya konsumen sudah sadar mau tinggal di kawasan hunian yang kelasnya beda dengan segala hak dan kewajiban yang melekat beserta konsekuensinya," paparnya.
Oleh sebab itu, PT SC mengambil langkah meminta perlindungan hukum ke negara dengan melayangkan surat ke Presiden RI terkait keluarnya putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor : 3145 K/Pdt/2018.
Langkah tersebut dilakukan karena jika putusan MA dilaksanakan berimplikasi pada dua masalah besar. Pertama pihak PT SC mendapat ancaman hukum dari 7000 warga Sentul City yang selama ini tidak ada masalah dengan pengelolaan township management.
"Realitas yang ada mayoritas warga Sentul City ingin pengelolaan ownship management jalan terus, bisa dicek di lapangan," kata Alfian.
Selain itu, jika pengembang menghentikan pelayanan township management, Pemkab Bogor dipastikan tidak mau menggantikan peran PT SC untuk membiayai semua pelayanan yang selama ini diberikan oleh pengembang kepada warganya.
"Kami tidak ada maksud melakukan pembangkangan terhadap hukum, apalagi masih ada langah hukum terakhir yang tengah dipersiapkan yakni Peninjauan Kembali (PK)," kata dia.
Untuk itu, PT SC mengapresiasi langkah Presiden yang telah merespon surat permohonan perlindungan hukum PT SC dengan menugaskan Kemenko Polhukam memanggil para pihak untuk mencari jalan keluar masalah tersebut.
Advertisement