Liputan6.com, Jakarta - Kampung Matraman terletak di Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Kampung ini terletak dari arah Jatinegara menuju Salemba Raya.
Salah satu bangunan yang paling terkenal di wilayah ini adalah toko buku Gramedia. Toko buku itu disebut terlengkap di Jakarta dan terbesar se-Asia Tenggara.
Namun siapa sangka, Kampung Matraman hingga periode 1990-an terkenal angker. Di wilayah ini kerap kali terjadi tawuran berdarah antara warga Palmeriam, yang dihuni kaum Betawi dan pendatang dengan warga Bearland yang merupakan anak kolong atau tangsi tentara.
Advertisement
Penyebabnya terkadang karena masalah sepele. Salah satu contohnya adalah berebut lahan putaran atau Pak Ogah. Itulah yang menyebabkan hingga kini di sepanjang Jalan Matraman Raya tidak ada lagi putaran dan bahkan dipagari besi. Tujuannya tak lain untuk meminimalisir konflik antara dua wilayah yang bertetangga itu.
Lalu, bagaimana asal-usul nama Matraman? Hingga saat ini belum ada keterangan yang memuaskan. Bahkan warga di Matraman rata-rata tidak paham bagaimana asal-usul nama kampung itu.
Berdasarkan penelusuran Liputan6.com dari berbagai literatur, ditemukan beberapa versi sejarah tentang asal-usul Kampung Matraman.
Yang paling kuat, kampung ini diperkirakan menjadi kawasan pertahanan pasukan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung ketika menyerang Kota Batavia melalui darat untuk kedua kalinya, yakni pada 1629.
Rachmat Ruhiat dalam Asal Usul Nama Tempat di Jakarta menyebut tidak mustahil kalau di kawasan itu dibangun kubu-kubu pasukan Mataram, termasuk pasukan-pasukan dari Sumedang dan Ukur (Bandung).
Menurutnya, ketika Mataram menyerang Batavia, Ukur serta Sumedang merupakan bagian dari Kesultanan Mataram dan memang diberitakan ikut berpartisipasi.
Profesor Dr Djoko Soekirman dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan judul Kebudayaan Indis menyatakan, di Jakarta Matraman merupakan tempat tinggal Tuan Matterman. Namun, ia tidak menyebaut keterangan lebih lanjut sumbernya.
Dugaan lainnya, nama Matraman merupakan warisan pengikut Pangeran Diponegoro sebagaimana ditulis oleh Mohammad Sulhi dalam majalah Intisari bulan Juni 2002 dengan judul Betawi yang Tercecer di Jalan.
Dugaan ini mungkin sekali meleset karena jauh sebelum Perang Diponegoro atau Perang Jawa pada 1789, Matraman sudah disebut-sebut sebagai milik tuan tanah David Johannes Smith (De Haan, 1910 (I): (64).
Menurut F de Haan, kawasan itu diberikan kepada orang-orang Jawa dari Mataram setelah Mataram berada di bawah pengaruh VOC dan menyusul ditandatanganinya perjanjian antara Mataram dan VOC pada 28 Februari 1677.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dipisahkan Sungai Ciliwung
Jika ditarik sejarahnya ke belakang, dahulu Batavia dibelah menjadi dua bagian dengan garis pemisahnya Sungai Ciliwung di daerah Matraman Dalam.
Daerah tersebut merupakan wilayah kekuasaan pemerintahan kongsi dagang Hindia Belanda (VOC). Sebagai kota sungai dan kanal, saat itu Sungai Ciliwung bahkan mampu dilayari hingga 30 perahu yang membawa berbagai barang keperluan sehari-hari dari luar kota.
Di sebelah barat Ciliwung, yang menjadi wilayah Matraman sekarang, di wilayah yang masih berupa semak belukar dan rawa-rawa, bermukimlah pasukan Kerajaan Mataram.
Mereka merintis daerah tersebut, termasuk juga berbaur, hingga akhirnya kalah dan diusir dari Batavia oleh pasukan koalisi kompeni.
Penyebab gagalnya serangan ini adalah diputusnya jalur suplai makanan dari Tambun, Bekasi, hingga Cirebon, Jawa Barat oleh VOC.
Setelah pasukan Mataram dilumpuhkan, banyak di antara mereka yang akhirnya memutuskan berbaur dengan masyarakat dan tidak kembali ke Jawa Tengah. Sebagian lagi lari ke sekitar daerah Jatinegara kaum.
Wilayah ini dipercaya sebagai tempat pelarian Pangeran Jayakarta sampai akhir hayatnya. Pada masa itu Jatinegara Kaum merupakan daerah pusat perlawanan terhadap Belanda yang tidak pernah tersentuh oleh kompeni.
Bahkan menurut sejarawan JJ Rizal, setiap Gubernur Jakarta yang berkuasa patut ziarah ke Jatinegara Kaum, khususnya Masjid As Salafiyah.
Â
Advertisement
Benteng Mataram
Benteng Mataram akhirnya dikuasai oleh Belanda dan sekarang menjadi daerah Bweerland atau Bearland. Wilayah ini dulu digunakan sebagai benteng kavaleri Belanda, posko pasukan berkuda, serta kantor dinas Blantbweer markas pemadam kebakaran.
Adapun di seberangnya dijadikan gudang peluru dan amunisi meriam dan permukiman tentara kompeni asal pribumi, sekarang disebut Palmeriam (paal meriem).
Menurut website www.jakarta.go.id, Palmeriam sendiri merupakan wilayah yang diserahkan oleh seorang pangeran Mataram kepada pamannya dalam penyerangan ke VOC, "Monggo, Paman (Silakan Paman)".
Permukiman petinggi tentara Belanda yang tersisa adalah kompleks gereja tua Santo Yosef (Gereja Santa Yusuf ). Sekarang gereja ini menjadi sekolah kristen Marsudirini dan kompleks Rumah Sakit Santo Carolus. Rumah sakit itu dibuat pemerintah Belanda setelah wabah kolera yang merenggut ribuan jiwa manusia tahun 1629.
Pada waktu itu Batavia mengalami banjir besar karena meluapnya Sungai Ciliwung yang menenggelamkan setengah wilayah Batavia menjadi rawa. Dikisahkan salah satu penyebabnya adalah ulah pasukan Mataram yang membendung dan mengotori Sungai Ciliwung.
Bahkan akibat meluapnya Sungai Ciliwung, Gubernur Jenderal VOC J.P. Coen ikut tewas karena terkena wabah kolera setelah tiga hari dirawat.
Jasad Coen dimakamkan di halaman gereja kompleks gedung Staadhuis (sekarang Museum Sejarah DKI Fatahillah, Jakarta Kota).
Adapun gerejanya akhirnya hancur oleh serangan pasukan Mataram. Makam J.P Coen akhirnya dipindahkan ke Kali Baru, tepatnya di pemakaman De-oude Hollandsche kerk—sekarang menjadi Museum Wayang.
Pertikaian tak putus-putus antara warga Palmeriam dengan Bearland barangkali menurun dari sejarah kedua wilayah itu. Satunya adalah bekas permukiman tentara Mataram, sementara wilayah satu lagi menjadi benteng tentara kompeni.