Kala Hutan Beton Menggerus Maskot Jakarta yang Mulai Terlupakan

Sering pertumbuhan Jakarta menjadi kota metropolitan dan pohon-pohon tinggi berganti dengan deretan gedung pencakar langit, habitat Elang Bondol mulai terusik.

oleh Maria Flora diperbarui 22 Jun 2019, 13:03 WIB
Diterbitkan 22 Jun 2019, 13:03 WIB
20160414-elang bondol-jakarta-ragunan
Elang Bondol. (Ragunanzoo.jakarta.go.id)

Liputan6.com, Jakarta - Kebanyakan orang pasti akan menjawab Monumen Nasional (Monas) sebagai maskotnya Jakarta. Ternyata tidak demikian. Menurut Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No 1796 Tahun 1989, maskot Kota Jakarta sebenarnya adalah elang bondol dan salak Condet.

Liputan6.com pernah mengulas cerita ini pada 12 Mei 2016. Penetapan elang bondol dan salak Condet sebagai maskot lantaran keberadaannya tersebar di seluruh wilayah administrasi Jakarta, khususnya di daerah perbatasan. Di sana patung burung elang bondol berdiri tegak sambil mencengkram buah salak di kakinya.

Namun, keberadaan dua spesies itu saat ini mulai terancam punah dan dilupakan. Elang bondol misalnya, sering pertumbuhan Jakarta menjadi kota metropolitan dan pohon-pohon tinggi berganti dengan deretan gedung pencakar langit, habitat hewan ini mulai terusik.

Mereka kini kebanyakan mendiami pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu seperti di Pulau Kotok dan Pulau Pramuka.

Begitu pula dengan salak Condet. Pada awal era 80-an, buah bertekstur kasar ini pernah berjaya. Sama seperti elang bondol, lahannya pun kini tergeser oleh hamparan beton di kawasan Condet.

Seorang tokoh masyarakat di daerah Balekambang Condet pernah mengatakan, pada zamannya tanaman bernama latin Salacca Edulis Cognita ini dianggap mewah dan sangat terkenal di Ibu Kota.

"Ya terkenal. Pejabat, Gubernur DKI, itu favorit nya makan dukuh Condet dan salak Condet. Itu pun jadi sajian Istana," ujar Murhasim saat berbincang dengan Liputan6.com di rumahnya RT 05 RW 05, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Salak Sebesar Kelapa

Ilustrasi salak
Ilustrasi salak (Sumber: Pixabay)

Pria berusia 60 tahun itu bercerita, dulu kebun Salak miliknya sangat luas. Semua pohon yang ada sudah tumbuh secara alami. Keluarganya hanya tinggal merawat dan memanen hasil yang ada.

Perawatan salak Condet di masa lalu pun tak sembarangan. Tiap satu tangkai pohon salak Condet yang berbuah, tidak langsung dipetik semua.

Bakal buah yang masih muda pun sering sengaja dikorbankan agar mendapat hasil buah yang besar dan enak.

"Kalau orang Condet dulu itu (merawat pohon salak) dipelihara, ditutupin. Salak Condet nya diawasi mulai dari bunga, kemudian mekar dan seterusnya. Itu dilihatin (buahnya) bisa besar atau kecil. Kalau kelihatan bisa besar itu sengaja diambil satu (bakal buahnya) supaya ukurannya besar. Kalau nggak dibuang, nanti pada mencar tinggal gagang doang," jelasnya.

Berbeda dengan salak pada umumnya, salak Condet bahkan bisa memiliki ukuran sebesar buah kelapa.

Adapun soal rasa, bagi Murhasim, salak Condet itu tidak ada duanya. Dalam satu kebun salak Condet, bisa muncul bermacam-macam rasa di setiap pohon yang berbuah.

Namun makin hari, keberadaan perkebunan salak Condet makin tergerus pembangunan. Mungkin hanya secuil orang yang masih bisa mencicipi buah khas Jakarta itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya