Liputan6.com, Jakarta - Nasib mantan kombatan ISIS yang ingin kembali ke Indonesia masih menjadi perdebatan. Banyak pihak yang menolak simpatisan kelompok teroris itu kembali ke Tanah Air, namun tak sedikit pula yang bisa menerima.
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail mengatakan, mantan kombatan ISIS dapat dimanfaatkan pemerintah Indonesia sebagai penangkal narasi ekstrimisme, terorisme, dan radikalisme.
Menurutnya, orang akan lebih mendengar pengalaman pribadi langsung dari mantan teroris yang bertaubat dari pada mereka yang tidak mempunyai pengalaman secara personal.
Advertisement
Noor menyontohkan, orang akan lebih menerima saran untuk berhenti merokok dari mantan perokok yang menderita penyakit paru-paru ketimbang nasihat dari dokter spesialis yang tidak pernah merokok.
"Orang ini saya bayangkan kalau dilatih oleh teman-teman di BNPT dan departemen sosial untuk melawan narasi-narasi itu," kata Noor Huda di Gedung Tempo Institute, Jakarta Selatan, Selasa (9/7/2019).
Selain itu, kata Noor, mantan kombatan ISIS juga bisa digunakan sebagai sarana mengorek informasi seputar gerakan terorisme, termasuk menggali pengalaman mereka bisa terpapar ideologi ekstrimis.
Dia berpendapat bahwa tidak ada seorang pun di dunia yang terlahir menjadi teroris. Dengan mempelajari bagaimana proses mereka terpapar ideologi terorisme, kata Noor, diharapkan pemerintah bisa membuat kebijakan yang berdasar pada data-data ilmiah.
"Ini pengalaman pribadi mereka, kalau pengalaman sudah tidak bisa didebat," kata Noor.
"Kita (akan) punya apa yang namanya emperical based policy. Policy yang bukan berdasarkan ngarang tapi berdasarkan emperical. Mereka prosesnya bagaimana sih?," imbuh Noor.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Kaji Pemulangan Eks Kombatan ISIS
Sebelumnya, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan RI (Menko Polhukam) dilaporkan tengah memimpin pembahasan antarlembaga terkait penanganan WNI di Suriah kata seorang pejabat Kementerian Luar Negeri RI.
Kabar itu datang di tengah polemik mengenai sejumlah warga negara Indonesia yang diduga menjadi simpatisan ISIS namun telah menyerah dan kini dikabarkan tinggal di kamp-kamp pengungsian di Suriah.
"Pemerintah Indonesia mengedepankan aspek kemanusiaan seraya menekankan aspek keamanan dan penegakan hukum dalam pembahasan tersebut," lanjut pernyataan yang diperoleh Liputan6.com dari Direktorat Perlindungan WNI, Kementerian Luar Negeri RI, Jumat (5/7/2019).
"Kekhalifahan" ISIS, yang membentang dari Suriah hingga ke gerbang Kota Bagdad di Irak, diklaim tamat pada Maret 2019. Wilayah terakhirnya di Baghouz takluk di tangan Syrian Democratic Forces (SDF) yang dibeking AS.
Sejak itu, muncul pertanyaan mengenai nasib para eks-simpatisan dan eks-kombatan, terutama mereka yang menyerah untuk kemudian diamankan oleh otoritas. Dan, beberapa di antara mereka menyatakan ingin pulang ke negara asal.
Namun, Kemlu RI pernah menyatakan bahwa perlu ada proses verifikasi khusus bagi para eks-simpatisan atau eks-kombatan ISIS di Suriah yang mengaku WNI dan meminta pulang ke Indonesia.
"Kita harus melakukan berbagai tahap sebelum bisa menentukan apakah akan memberikan pelayanan sebagai WNI kepada mereka," kata juru bicara Kemlu RI di Jakarta pada Maret 2019 lalu.
"Seperti melakukan verifikasi apakah mereka WNI. Verifikasi ada prosesnya tersendiri, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti Kemlu, Kemendagri, BNPT, Polri, dan lainnya. Setelah (verifikasi) itu kita baru bisa menentukan apa yang bisa kita lakukan," kata jubir Kemlu RI.
Ia menambahkan, proses lanjutan pascaverifikasi status kewarganegaraan dapat berupa tahapan yang sangat panjang, meliputi analisis profil hingga mencakup keikutsertaan dalam program deradikalisasi.
"Baru setelah itu kita bisa menentukan apakah mereka akan bisa kembali atau tidak," jelasnya.
Advertisement