Liputan6.com, Jakarta - Air mata Baiq Nuril Maknun menetes di pipi saat berdialog dengan anggota dewan, Rabu 10 Juli 2019. Suaranya berubah parau, masih belum bisa menerima putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya.
Jumat 5 Juli 2019, MA mengumumkan penolakan tersebut. Hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 tahun kurungan pun di depan mata.
Perempuan itu merasa ketidakadilan tak berpihak kepadanya. Menjadi terpidana ketika dia justru menjadi korban dugaan asusila dari orang yang menyeretnya ke meja hijau.
Advertisement
Meski harus menanggung malu karena menjadi sorotan publik, dia membulatkan tekad untuk berjuang memperoleh keadilan.
"Sebenarnya saya tak ingin menjadi konsumsi publik, karena bagaimanapun anak-anak saya pasti menonton, dan saya yakin (mereka) tak ingin melihat ibunya menangis," ujar Baiq Nuril yang merupakan mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu.
Tiba-tiba, dia berhenti bicara, tak kuasa menahan kesedihannya. Air matanya pun tak terbendung lagi.
Beberapa kali dia mengusap air mata yang membasahi mata dan hidungnya. Dia kemudian berusaha menguasai diri dengan menghela napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya, "Tapi saya yakin kebenaran dan keadilan itu pasti akan terjadi."
Nuril kembali mengambil napas panjang, lagi-lagi berusaha menahan diri agar air matanya tak keluar.
Di sampingnya, politikus PDIP Rieke Diah Pitaloka terus mengelus punggung Baiq Nuril, berusaha menguatkan.
Siang itu, Baiq Nuril bertandang ke DPR ditemani Rieke dan pengacaranya, berbicara soal rencana pengajuan amnesti agar terbebas dari hukuman.
Dia berharap DPR mendukung Presiden Jokowi dalam memberikan amnesti kepadanya. Sebab, Presiden harus mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung atau DPR sebelum memberikan amnesti ini.Â
Kini, amnesti dari Presiden menjadi harapan satu-satunya setelah PK ditolak Mahkamah Agung.
Beberapa hari lalu, orang nomor satu di Indonesia itu telah memberikan angin segar akan mewujudkan mimpi Nuril terbebas dari jerat hukuman.
Jokowi menyatakan, perhatiannya terhadap kasus yang menimpa Nuril tak pernah berkurang. Mantan Wali Kota Solo itu pun memerintahkan tim hukum Nuril segera mengajukan permohonan amnesti.
"Secepatnya (ajukan amnesti)," ucap Jokowi usai kunjungan kerja di Bandara Sam Ratulangi Manado, Jumat 5 Juli 2019.
Sebelumnya, pemerintah sudah menunjukkan keseriusan dalam mewujudkan keadilan untuk Baiq Nuril. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly telah mengumpulkan sejumlah ahli untuk menyusun argumentasi yuridis dalam pemberian amnesti.
Sebab, dia menilai, amnesti adalah solusi yang paling tepat bagi kasus Baiq Nuril.
Menkumham juga telah bertemu Nuril dan tim hukumnya terkait hal ini. Pengacara Baiq Nuril, Joko Jumadi mengatakan, pihaknya hanya bisa menunggu kebijakan pemerintah. Terlebih, lanjut dia, amnesti bisa diberikan Presiden tanpa pengajuan permohonan. Tapi, kalau pemerintah ingin pihaknya mengajukan permohonan, hal itu akan dilakukan.
Saat bertemu Menkumham, Joko juga menyampaikan berbagai pertimbangan yang menjadi dasar Nuril layak diberi amnesti.Â
"Kita menunggu dari Kemenkumham, Setneg. Kalau memang Setneg kemudian Kemenkumham menghendaki (mengajukan permohonan) kami siap. Jadi kami sekarang dalam posisi menunggu," kata Joko kepada Liputan6.com.
Dia pun optimistis Baiq Nuril segera memperoleh keadilan meski merasa sudah dua kali dikecewakan Mahkamah Agung.
"Saya selalu optimistis, meskipun kemudian dikecewakan Mahkamah Agung dua kali," ucap Joko.
Pakar hukum tata negara Mahfud Md mendukung Jokowi memberikan amnesti kepada Baiq Nuril. Meski berdasarkan teori hukum, kata dia, pemberian amnesti terhadap Nuril kurang tepat. Sebab, amnesti umumnya digunakan untuk kasus politik. Selain itu, amnesti diberikan kepada orang sebelum dihukum.
"Memang (kasus) Baiq Nuril ini secara hukum dilematis. Tapi kalau Presiden mau memberi amnesti, enggak apa-apa juga," kata Mahfud kepada Liputan6.com, Rabu (10/7/2019).
Meski begitu, menurut dia, amnesti adalah bantuan hukum dari Presiden yang dinilai paling mungkin diberikan kepada Nuril. Sebab, grasi secara teori hukum sudah tidak memungkinkan diberikan kepada mantan guru honorer itu.
"Saya merekomendasikan untuk menolong (Baiq Nuril), tapi supaya hati-hati betul, jangan sampai amnesti itu menjadi upaya hukum tingkat keempat sesudah PK," ucap mantan Ketua MK itu.
Mahfud khawatir, amnesti nanti disalahartikan sebagai peradilan keempat setelah upaya di tingkat pertama, banding, kasasi, dan PK kandas.
"Nanti setiap orang bisa minta. Tapi enggak apa-apa, prinsipnya kita tolong lah Baiq, apakah itu amnesti, itu bisa dibicarakan lebih lanjut," katanya.
Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun mengatakan, Jokowi perlu tampil dalam setiap persoalan yang menjadi isu nasional, tak terkecuali kasus Baiq Nuril. Jokowi memiliki kewajiban moral untuk berpihak pada rasa keadilan.
Dia mengatakan, hukum bisa dijadikan sebagai komoditi politik, berupa intervensi maupun pencitraan. Namun dalam konteks politik makro, kekuasaan bisa digunakan untuk kepentingan hukum yang lebih besar.
"Jadi kalau kasus Baiq Nuril itu memang tidak menunjukkan rasa keadilan yang universal, hak-hak hukum Baiq Nuril yang dinodai dan lain-lain, maka sesungguhnya kekuasaan bisa melakukan suatu tindakan yang menyelamatkan hukum," kata Ubedillah kepada Liputan6.com.
Pemberian amnesti kepada Baiq Nuril, kata Ubedillah, dapat memberikan pengaruh yang berbeda kepada Jokowi sebagai presiden. Jokowi bisa saja mendulang nilai positif dari keputusannya itu, begitu juga sebaliknya.
"Itu ditentukan oleh kekokohan argumentasi Jokowi. Kalau Jokowi bicaranya membangun atau memiliki argumentasi yang kokoh mengapa mengeluarkan amnesti atau mengapa tidak mengeluarkan amnesti. Kalau kemudian argumentasinya tidak argumentatif dan tidak masuk akal, ya siap-siap saja akan muncul citra negatif pada pemerintah. Tapi kalau argumentasinya bagus, kokoh, rasional, ya akan bisa berdampak positif pada citra pemerintah atau penguasa," ucapnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Sisa Asa Baiq Nuril
Harapan Nuril agar mendapatkan amnseti dari Jokowi sangat besar. Sebab dia sadar, amnesti menjadi asa terakhir memperoleh keadilan setelah upaya hukumnya melalui permohonan PK ke MA kandas.
Besarnya harapan Nuril sempat diekspresikan dalam sebuah surat untuk Jokowi. Dalam selembar buku bergaris, Nuril menagih janji Jokowi yang akan membantunya jika perjuangan di MA tak berbuah manis.
"Salam hormat untuk Bapak Presiden. Bapak Presiden PK saya ditolak. Saya memohon dan menagih janji bapak untuk memberikan amnesti, karena hanya jalan ini satu-satunya harapan terakhir saya. Hormat saya, B. Nuril Maknun," tulis Nuril dalam sebuah kertas yang viral di media sosial.
Dukungan untuk Nuril agar mendapat keadilan mengalir deras dari berbagai pihak. Pegiat HAM, pegiat sosial, hingga politikus ramai-ramai mendorong agar Presiden Jokowi memberikan amnesti kepada mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram itu.
Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK mengatakan, pemberian amnesti kepada Nuril sedang dibahas pemerintah. Dia yakin, pemberian amnesti kepada Nuril akan berjalan baik.
"Tentu ada kan permintaan itu. Mestinya tidak ada soal," kata JK di kantornya, Jakarta, Rabu (10/7/2019).
Dia yakin, Presiden Jokowi serta Menkumham siap mengkaji dan memberikan amnesti. Namun menurut JK hal tersebut perlu dikaji lebih dalam dan mendapat restu dari DPR.
"Untuk sama-sama sudah diketahui, untuk memberikan amnesti perlu persetujuan DPR. Karena itu pertama harus dibicarakan di DPR. Saya baca DPR siap memberi persetujuan apabila diminta," ungkap JK.
Ketua DPR Bambang Soesatyo meyakini Jokowi tengah mengkaji amnesti Nuril dengan matang. Dia mendorong Jokowi memberikan amnesti tersebut.
"Saya punya keyakinan presiden sudah punya informasi lengkap. Kita mendorong presiden mengabulkannya atas nama keadilan," kata Bambang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (10/7/2019).
Sementara Anggota Komisi III Fraksi PKS Nasir Djamil meyakini, dewan bakal memberikan pertimbangan positif terkait permohonan amnesti Baiq Nuril.
"Saya punya keyakinan kalau kemudian, ibu Baiq Nuril, itu kemudian meminta amnesti kepada Presiden dan kemudian Presiden meminta pertimbangan DPR, saya haqqul yakin bahwa seluruh fraksi di DPR akan memberikan persetujuan kepada Presiden terkait pemberian amnesti kepada ibu Baiq Nuril," ujar Djamil.
Menurut Djamil, Baiq Nuril memang tidak sepatutnya menjadi terpidana kasus ITE. Dia meyakini Nuril merupakan korban pelecehan seksual setelah mendengar pernyataan kuasa hukum terkait mantan atasan Nuril di SMAN 7 Mataram berinisial HM.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menilai Mahkamah Agung tidak melihat kasus terpidana pelanggaran Undang-Undang (UU) ITE Baiq Nuril secara kompleks. Kata dia, seharusnya MA juga mempertimbangkan alasan Baiq merekam ucapan-ucapan mesum dari Kepala SMAN 7 Mataram.
"Mestinya harus dipertimbangkan juga kenapa si terdakwa itu kok sampai mau melakukan itu. Ini yang tidak dilihat. MA tampak lebih melihat pada terpenuhi unsur pasal tapi surrounding circumstances-nya itu kenapa si terdakwa melakukan itu tidak dilihat," kata Arsul.
Baiq Nuril menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang mendukungnya untuk memperoleh keadilan. Penuh haru, ucapan terima kasih juga diberikan kepada Menteri Yasonna yang tengah serius membahas pemberian amnesti.
Hal itu disampaikan Nuril usai bertemu Menteri Yasonna di Kantor Kemekumham, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin 8 Juli 2019 malam. Nuril datang didampingi politikus PDIP Rieke Diah Pitaloka dan pengacaranya, Joko Jumadi.
"Sebelumnya saya ucapkan terima kasih, terima kasih, terima kasih yang..," ucap Nuril terhenti.
Nuril nyaris tak bisa berkata-kata saat ditanya wartawan usai bertemu Menteri Yasonna. Badannya terguncang. Dia tetap berusaha tersenyum kepada awak media, meski terlihat getir. Sesekali dia mengusap matanya dengan tangan dan sambil menghela napas panjang.
"Harapannya sampai saat ini saya masih bisa berdiri di sini, saya ingin mencari keadilan," katanya.
"Saya tidak akan menyerah. Harapannya, saya ingin Bapak Presiden mengabulkan permohonan amnesti saya dan saya rasa saya sebagai seorang anak kemana lagi harus saya meminta selain berlindung kepada bapaknya. Terimakasih," ucap Nuril mengakhiri.
Â
Â
Advertisement
Perjalanan Kasus Baiq Nuril
Kasus Baiq Nuril Maknun bermula pada Agustus 2012 silam. Saat itu, Nuril yang merupakan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat ditelepon oleh kepala sekolahnya berinisial HM.
Dalam percakapan melalui telepon, HM bercerita tentang pengalaman pribadinya kepada Nuril. Percakapan yang diduga bermuatan pelecehan seksual itu kemudian direkam Nuril.
HM rupanya bukan kali itu membicarakan soal seks melalui sambungan telepon. Hanya saja nuril tidak merekamnya. Karena takut difitnah, Nuril kemudian merekam salah satu pembicaraan teleponnya untuk membuktikan kepada orang-orang terdekatnya bahwa dirinya tidak memiliki hubungan spesial dengan HM.
Hingga pada Desember 2014, seorang rekannya meminjam telepon seluler atau ponsel milik Nuril. Selanjutnya, ia mengambil rekaman percakapan antara kepsek dan Nuril. Rekaman tersebut bocor, sehingga HM, yang membeberkan aib dirinya kepada Nuril, malu.
Tak terima, HM kemudian melaporkan Nuril atas tuduhan mentransmisikan rekaman elektronik secara ilegal. Meski rekaman itu mengandung unsur pelecehan seksual terhadap Nuril.
Kasusnya pun berlanjut hingga ke meja hijau. Di tingkat pertama, Nuril bebas setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram menyatakan dia tidak bersalah melanggar Pasal 27 ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) seperti yang didakwakan.
"Karena kesalahan terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka majelis hakim telah cukup alasan dan membebaskan terdakwa dari dakwaan penuntut umum," ucap Ketua Majelis Hakim Albertus Husada dalam sidang terbuka di Pengadilan Negeri Mataram, Rabu, 26 Juli 2017, dilansir Antara.
Namun, kasusnya tak berhenti di situ. Kalah di pengadilan tingkat pertama, jaksa penuntut umum (JPU) melakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA). MA melalui Majelis Kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni pada 26 September 2018, menyatakan Baiq Nuril bersalah dan menjatuhkan vonis hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Dalam putusannya, Majelis Kasasi Mahkamah Agung menganulir putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram yang menyatakan Baiq Nuril bebas dari seluruh tuntutan dan tidak bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 Juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Pada salinan putusan Nomor 574 K/Pid.Sus/2018 tertanggal 26 September 2018 yang diperoleh Liputan6.com, ada 3 pertimbangan hakim menyatakan Baiq Nuril bersalah.
Pertama, hakim menilai cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi jaksa dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Mataram, yang sebelumnya membebaskan Baiq.
Kedua, penjatuhan pidana diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi terdakwa, khususnya maupun masyarakat Indonesia pada umumnya agar berhati-hati dalam menggunakan media elektronik.
Ketiga, amar putusan dinilai cukup adil, dengan menetapkan lamanya masa penahanan yang telah dijalani Baiq Nuril.
Putusan itu diketok Ketua Majelis Sri Murhayuni serta dua hakim anggota, Maruap Dohmatiga Pasaribu dan Edy Army. Putusan ini diambil dengan mempertimbangkan hal meringan dan memberatkan.
"Hal memberatkan, perbuatan terdakwa membuat karier saksi Haji Muslim sebagai Kepala Sekolah terhenti, malu karena kehormatan dilanggar. Keadaan meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa memiliki tiga orang anak yang masih membutuhkan kasih sayang terdakwa," salinan putusan tersebut.
Merasa tidak mendapatkan keadilan, Baiq Nuril kemudian mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Anaknya yang bernama Rafi juga mengirimkan surat serupa.
Upaya Nuril tak bertepuk sebelah tangan. Pernyataan Jokowi soal dukungannya kepada Nuril untuk mencari keadilan membawa angin segar. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menjanjikan grasi kepada Nuril jika upaya terakhir di jalur hukum kandas.
Jokowi ingin, agar Baiq Nuril berjuang hingga akhir, yaitu dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung atas putusan kasasi yang memperberat hukumannya.
"Kita berharap MA memberikan keputusan yang seadil-adilnya," kata Jokowi di Lamongan, Jawa Timur, Senin, 19 November 2018.
Jokowi mengaku menghormati proses hukum yang saat ini sedang berjalan. Dia pun tak bisa mengintervensi perkara yang menjerat Nuril.
Namun, perjuangan Nuril melalui PK kandas. MA menolak PK yang diajukan Nuril. Dengan begitu, mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram itu tetap harus menjalani hukuman 6 bulan penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan sesuai putusan kasasi.
"Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Peninjaun Kembali (PK) Pemohon/Terpidana Baiq Nuril yang mengajukan PK ke MA dengan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019. Dengan ditolaknya permohonan PK Pemohon/Terpidana tersebut maka putusan kasasi MA yang menghukum dirinya dinyatakan tetap berlaku," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro dalam keterangannya, Jumat (5/7/2019).
Sidang PK itu diketuai hakim Suhadi dengan anggota Margono dan Desnayeti. Majelis hakim menilai, alasan permohonan PK Baiq Nuril yang mendalilkan ada kekhilafan hakim dalam putusan tingkat kasasi, tidak dapat dibenarkan.
"Karena putusan judex yuris tersebut sudah tepat dan benar dalam pertimbangan hukumnya," kata Andi.
Majelis hakim berpendapat perbuatan Baiq Nuril merekam pembicaraan lewat ponsel antara dirinya dengan HM sekitar satu tahun lalu dan menyimpan hasil rekamannya dan diserahkan kepada saksi Imam Mudawin mengandung unsur pidana. Terlebih setelah saksi Imam Mudawi memindahkan ke laptopnya hingga rekaman percakapan itu tersebar luas.
"Bahwa terdakwa yang menyerahkan handphone miliknya kepada orang lain kemudian dapat didistribusikan dan dapat diakses informasi atau dokumen eletronik yang berisi pembicaraan yang bermuatan tindak kesusilaan tidak dapat dibenarkan. Atas alasan tersebut permohonan PK pemohon atau terdakwa ditolak," kata Andi.
Kini, harapan Baiq Nuril untuk mendapatkan keadilan tinggal berada di tangan presiden. Jokowi diharapkan memberikan amnesti atau pengampunan kepada ibu tiga anak itu agar terbebas dari jeratan hukum.