Liputan6.com, Jakarta - Nama Enzo Zenz Allie mendadak menarik perhatian publik. Hal ini karena remaja keturunan Perancis-Indonesia itu berhasil lulus menjadi Calon Taruna Akademi Militer (Catar Akmil) TNI.
Enzo Zenz yang dinyatakan lulus menjadi Catar Akmil itu pun menarik perhatian Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
Saat ditanya Panglima ingin jadi apa, remaja berusia 18 tahun ini tegas menyatakan ingin jadi prajurit Infanteri dan Kopassus.
Advertisement
"Mau jadi apa?" tanya Panglima TNI Hadi.
"Siap, infanteri, Komando," jawab Enzo.
Namun belakangan, beredar isu, Enzo terpapar radikalisme. Isu tersebut berawal dari foto dalam akun Facebook Enzo Allié.
Berikut 3 hal tentang Enzo Zenz, remaja blasteran Perancis-Indonesia yang lolos Catar Akmil TNI dihimpun Liputan6.com:
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
1. Seorang Santri
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto memastikan, pemuda blasteran Perancis-Indonesia, Enzo Zensi Ellie yang masuk akademi militer (Akmil) adalah Warga Negara Indonesia. Dia menegaskan bahwa WNI adalah syarat mutlak jika ingin menjadi taruna Akmil.
"Ya dari persyaratan saja masuk ke daftar militer harus WNI, kita berbicara masalah persyaratan," ujar Hadi Tjahjanto di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa, 6 Agustus 2019.
Menurut dia, Enzo pernah mengenyam pendidikan di Prancis hingga Sekolah Dasar. Namun, setelah sang ayah meninggal, Enzo lalu tinggal bersama ibunya di Jakarta.
"Sama ibunya dimasukkan ke ponpes dia sekolah SMP hingga SMA," kata Hadi.
Panglima TNI mengatakan, Enzo lolos masuk Akmil lantaran telah memenuhi syarat baik secara fisik ataupun psikologis. Dia juga melihat cukup potensial menjadi taruna Akmil.
"Dilihat dari seleksinya memenuhi syarat vital itu pull up-nya, larinya, yah itu dihitung semua secara fisik kemudian psikologinya semuanya memenuhi syarat," kata Panglima TNI.
Â
Advertisement
2. Lolos Seleksi Mental Ideologi
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Sisriadi menyampaikan, pihaknya sudah sangat selektif dalam menyaring para taruna Akmil. Termasuk kepada Enzo Zensi Ellie.
"Tidak (radikal). Kita kan ada sistem seleksi yang berbeda dengan seleksi orang mau kerja sif siang, sif malam. Ini untuk megang senjata dia. Jadi sudah selektif," tutur Sisriadi saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (7/8/2019).
Menurut dia, TNI memiliki sistem seleksi mental ideologi. Mulai dari tes tertulis, wawancara, hingga penelusuran media sosial milik calon taruna akmil.
"Jadi itu sudah kita lakukan semua. Kalau masalah terpapar itu banyak orang terpapar. Mungkin mereka memberikan pendapat-pendapat tentang apa gitu," jelas dia soal Enzo Zensi Ellie.
Terlebih, selama masa pendidikan tiga bulan pun seluruh taruna akan menjalani pelatihan yang dapat membuatnya bersih dari berbagai pola pikir.
"Kemudian tiga bulan ini dia kan jadi nol lagi. Menjadi manusia biasa, bukan dengan segala ininya, mungkin bahasanya yang dia ahli itu bisa lupa itu. Pak Prabowo waktu masuk TNI kan dia tidak bisa bahasa Indonesia, bisa patah-patah. Wong sekolahnya dari kecil sampai SMA di Amerika kan. Zaman itu kita anti Amerika juga kan. Tapi enggak ada masalah. Sistem di TNI kita punya sistem untuk menyaring, namanya sistem seleksi dan klasifikasi. Jadi alat saringnya itu ketat sekali," kata Sisriadi.
"Kemudian potensi ekstremnya kita bisa baca di hasil psikotes, di hasil kepribadiannya. Kebaca di situ ini anak begini begitu. Kalau enggak lolos, dia kecoret di situ," Sisriadi menandaskan.
Â
3. Lolos Psikotes
Sisriadi juga memastikan, pihaknya tidak kebobolan terkait seleksi masuk TNI. Dia memastikan TNI punya sistem penyaringan yang ketat bagi tiap calon taruna yang akan bergabung.
"Untuk menyaring, namanya sistem seleksi dan klasifikasi. Jadi alat saringnya itu ketat sekali. Kemudian potensi ekstremnya kita bisa baca di hasil psikotes, di hasil kepribadiannya. Kebaca di situ, ini anak begini begitu, kalau enggak lolos dia kecoret di situ," ucapnya.
Dia meminta masyarakat lebih bijaksana menyikapi isu taruna akademi militer (Akmil) keturunan Prancis bernama Enzo Zensi Ellie, terpapar radikalisme. Apalagi menilai pemuda tersebut hanya lewat Facebook.
"Kita juga belum yakin kalau hanya lihat Facebook-nya, bergaulnya dengan siapa, Koramil itu kan mengawasi dia sehari-hari. Selama dia seleksi, apalagi dia sudah seleksi, aparat teritorial akan melihat. Sistem itu sudah dari dulu dibakukan," tutur Sisriadi.
Menurut Sisriadi, seleksi TNI sangatlah selektif, bahkan kini mencakup penelusuran akun media sosial milik para calon taruna Akmil. Terlebih, dalam uji psikotes pun dapat diukur sejauh mana tingkatan ekstrem ideologi seseorang.
"Kita buktikan dulu dia terpapar atau tidak. Nanti kita dalami. Andaikata iya, ya kita berikan perhatian khusus. Kita kan punya sistem deradikalisasi. Jadi banyak jalan," jelas dia.
Sisriadi mencontohkan bagaimana TNI melakukan seleksi ketat ideologi sejak dulu. Pada saat penerimaan Prabowo Subianto menjadi taruna Akmil misalnya, kala itu Indonesia sangat anti terhadap Amerika.
"Pak Prabowo waktu masuk TNI, kan dia tidak bisa bahasa Indonesia, bisa patah-patah. Wong sekolahnya dari kecil sampai SMA di Amerika kan. Zaman itu kita anti Amerika juga kan. Tapi enggak ada masalah.
Advertisement