Liputan6.com, Jakarta - Azan subuh belum terdengar, Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ahmad Subardjo bergegas mengambil makan dan minuman untuk sahur. Kala itu, 17 Agustus 1945, umat Islam tengah menjalankan puasa Ramadan.
Mereka baru bisa bernapas lega dan menyantap sahur, setelah naskah Proklamasi selesai dirumuskan di rumah Laksamana Maeda, petinggi Angkatan Laut Jepang, di sebuah jalan yang kini bernama Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat.
Baca Juga
"Sementara teks ditik, kami menggunakan kesempatan untuk mengambil makanan dan minuman dari ruang dapur...waktu hampir habis untuk ber-saur..." kenang Subardjo dalam buku Lahirnya Republik Indonesia.
Advertisement
Sayuti Melik lah yang mengetik naskah tersebut.
Naskah Proklamasi disusun hanya dalam waktu beberapa jam. Subardjo yang merupakan teman Hatta sejak masa sekolah di Belanda menuturkan, Jumat dini hari itu, Sukarno bertanya kepadanya, "Masih ingatkah Saudara teks dari Pembukaan Undang-undang Dasar kita?"
"Ya, masih ingat tapi tidak seluruhnya," balas Subardjo. Diskusi tentang naskah Proklamasi terus berlanjut di antara keduanya dan para tokoh.
Versi lain datang dari Bung Hatta.
"Aku persilakan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu sebab bahasanya kuanggap yang terbaik. Sesudah itu kita persoalkan bersama-sama. Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muka sidang lengkap yang sudah hadir lengkap," kata Sukarno seperti dikutip Hatta dalam memoarnya.
"Apabila aku mesti memikirkan, lebih baik Bung menuliskan, aku mendiktekan," jawab Hatta.
Namun, pada intinya, para tokoh tersebut kemudian menyepakati kalimat pertama itu berbunyi: "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia."
Belum selesai. Hatta menganggap, kalimat itu kurang memadai. Harus juga disusupkan soal "cara menyelenggarakan" revolusi nasional. Maka, Hatta mendiktekan kalimat berikut: "Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."
Didampingi Sukarni, Sajuti yang merupakan salah seorang tokoh pemuda, kemudian mengetik naskah Proklamasi tersebut dari tulisan tangan Sukarno.
Usai ditik, sekitar pukul 04.00, naskah itu dibawa ke para hadirin untuk dibacakan dan mendapatkan persetujuan.
Tentang Rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda
Rumah di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat, merupakan salah satu hasil dari pengembangan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda. Pengembangan yang dilakukan tahun 1920-an itu dimaksudkan untuk mencari kawasan baru untuk hunian pejabat Belanda. Ketika itulah Menteng dipilih sebagai lokasi yang paling tepat.
Pada masa Hindia Belanda, gedung ini terletak di jalan yang dinamai Nassau Boulevaard. Selanjutnya ketika pendudukan Jepang, nama jalan ini diubah menjadi Meiji Dori. Jepang menyerahkan bangunan kepada Laksamana Muda Tadashi Maeda dan keluarga sebagai tempat tinggal. Ketika itulah rumah ini akhirnya menjadi saksi sejarah.
Namun, riwayat tempat teks Proklamasi dirumuskan ini belum dapat diungkapkan secara tepat. Tidak ada catatan rinci mengenai tanggal, bulan dan tahun bangunan ini berdiri. Begitu pula mengenai pemilik bangunan tersebut, sangat sedikit sekali diketahui.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, bangunan ini tetap menjadi tempat tinggal Laksamana Maeda sampai Sekutu mendarat di Indonesia pada September 1945. Selanjutnya gedung ini digunakan sebagai Markas Tentara Inggris.
Setelah beberapa kali berpindah tangan, pada 1984 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada waktu itu Prof Dr Nugroho Notosusanto, memberikan instruksi kepada Direktur Permuseuman agar gedung tersebut menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Berangkat dari kajian dan data-data, akhirnya dibuat replika benda-benda yang sama seperti di dalam rumah Maeda selama dia tinggal di rumah tersebut. Replika benda-benda itu juga dibuat semirip mungkin dengan aslinya.
Advertisement