Liputan6.com, Jakarta - Presiden Keempat Republik Indonesia Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, merupakan sosok pemimpin negeri dengan kharisma kuat dalam mengayomi seluruh lapisan masyarakat, khususnya lewat sikap bertoleransi.
Ada kenangan tersendiri bagi Mahfud MD yang membuatnya haru, terlebih soal hubungan Gus Dur dengan masyarakat Papua.
Saat itu, akhir 2000, Gus Dur mengumumkan bahwa dirinya akan mengawali tahun 2001 dengan menikmati matahari terbit atau sunrise, bersama masyarakat Papua. Niatan itu sekilas sederhana. Tapi maknanya bagi Mahfud MD, terlalu mendalam.
Advertisement
"30 Desember dia sudah berangkat ke Papua, tanggal 1 pagi dia sudah duduk bersama rakyat, menunggu matahari pagi. Itu mengharukan, karena apa, karena Gus Dur pun tidak bisa melihat matahari," tutur Mahfud MD saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu (4/9/2019).
Menurut Mahfud, kasus ini seharusnya menjadi cermin bagi seluruh warga negara tentang bagaimana sikap harmonis bertoleransi. Mulai dari lapisan sipil hingga pejabat tinggi negara, baik itu aparat keamanan sampai dengan presiden itu sendiri.
"Gus Dur tuh matanya nggak berfungsi. Tapi karena dia cinta kepada masyarakat Papua, dia lakukan diplomasi itu. Saya mau bersama Papua, mau lihat matahari terbit. Dia nggak bisa lihat, apa yang bisa dia nikmati. Lho kalau begitu, itu karena pendekatan nurani untuk menjaga rakyat Papua. Itu cara menjaga toleransi dan kebersamaan," jelas dia.
Memori Mahfud MD soal Gus Dur selama menjadi Menteri Pertahanan (Menhan) soal toleransi terbilang banyak. Saat berkunjung ke Aceh misalnya, Gus Dur buat aparat keamanan kalang kabut lantaran khawatir.
Ini jadi kisah antara Gus Dur dan rompi anti-peluru. Antara kepala negara dengan rasa percaya masyarakat yang dipimpinnya.
"Gus Dur ke Aceh. Intel, aparat, menyiapkan Gus Dur pakai baju anti-peluru, dipakai. Tapi begitu tiba di Aceh, dia buka. Dia buka baju pelurunya, dia berpidato di Masjid Baiturrahman. Wah, katanya bergurau, saya ini katanya suruh pakai baju anti-peluru, saya buka, karena tidak mungkin orang Aceh yang saudara-saudara saya ini mau menembak saya," ucapnya.
"Woah, tentaranya kalang kabut di luar. Presiden, ini gimana, kok dibuka. Tapi presiden diplomasi. Ini saudara saya nggak mungkin nembak saya. Begitu caranya, tidak jaim kan. Berbaur, berbicara, ya dengan segala resiko tentu saja," tutup Mahfud MD.