Ide Anies Legalkan PKL di Trotoar, Langgar Undang-Undang?

Rencana Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan agar trotoar di Jakarta bisa digunakan PKL untuk berjualan menuai kontroversi.

oleh Ratu Annisaa Suryasumirat diperbarui 10 Sep 2019, 13:20 WIB
Diterbitkan 10 Sep 2019, 13:20 WIB
Percantik Ibukota, Pemprov DKI Revitalisasi Trotoar Hingga Desember 2019
Pekerja mengerjakan proyek revitalisasi trotoar di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Kamis (1/8/2019). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merevitalisasi trotoar Jalan Salemba, Kramat Raya, dan Cikini Raya dengan anggaran sebesar Rp75 milliar yang rampung pada Desember 2019. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan berencana agar trotoar di Jakarta bisa dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan. Salah satunya digunakan untuk berjualan oleh pedagang kaki lima (PKL). Anies pun merujuk pada Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 3 Tahun 2014 sebagai landasan agar PKL boleh berjualan. 

Namun, rencana Anies ini menuai banyak kontroversi. Pengamat Tata Kota Nirwono Joga menilai, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI harusnya tetap mematuhi undang-undang (UU) yang berlaku dan tak membiarkan PKL berjualan.

“Peraturan harus dipatuhi, tanpa kecuali atau dengan persyaratan apapun. Permen (Peraturan Menteri) PUPR tersebut kan lebih rendah kedudukannya dari UU, jadi Permennya yang harus direvisi,” tutur Nirwono saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (10/9/2019).

Menurutnya, selama Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang jalan dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan masih berlaku, maka Pemerintah Provinsi DKI harusnya melarang PKL berjualan.

Nirwono menegaskan, penerapan dengan syarat tidak mengganggu pejalan kaki terbukti tidak efektif di lapangan. Hal ini bisa dilihat dari apa yang terjadi di Tanah Abang, Jatinegara, Pasar Senen, dan tempat lainnya di Jakarta.

“Penerapan ‘dengan syarat’ pada tempat-tempat tertentu juga tidak akan efektif, diskriminatif— membuka celah pelanggaran akan diikuti dengan pelanggaran-pelanggaran lainnya di lain tempat di Jakarta,” ungkap dia.

“Selama UU kita masih melarang sebaiknya dipatuhi, trotoar dibangun juga untuk pejalan kaki utamanya, bukan untuk menampung PKL. PKL kita sulit untuk mematuhi aturan,” imbuh Nirwono.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Saran Penanganan PKL

Nirwono menyarankan, sebaiknya PKL bisa ditangani dengan cara lain agar tak perlu berjualan di trotoar. Menurutnya, mereka sebaiknya didistribusi ke pasar rakyat atau pusat perbelanjaan terdekat, kantin gedung perkantoran, atau diikutkan dalam kegiatan festival kesenian.

Prinsipnya, Pemprov DKI dapat mewadahi tempat berjualan untuk PKL sehingga tidak ada yang dirugikan atau melanggar aturan.

“Mereka wajib menyediakan 10% lahan untuk menampung PKL seperti di Gandaria City. Atau diikutkan dalam berbagai kegiatan festival kesenian, dulu ada Festival PKL Night,” ujar dia.

Selain itu, Nirwono menyatakan bahwa Peraturan Gubernur Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pengaturan Tempat dan Pembinaan Usaha Mikro PKL juga hanya tinggal diteruskan penerapannya.

“Apapun motif Pak Gubernur, sebagai gubernur atau kepala daerah harusnya mematuhi aturan hukum yang berlaku, dan setiap kebijakannya di Jakarta dapat menjadi contoh atau ditiru oleh kota-kota lain di Indonesia, meskipun itu melanggar hukum,” ungkap dia

“Bisa dibayangkan betapa semrawutnya trotoar yang sudah susah payah dan mahal dibangun pada akhirnya diokupasi PKL, dan pejalan kaki tidak dapat berjalan aman dan nyaman di trotoar yang sejatinya dibangun untuk berjalan kaki,” Nirwono mengakhiri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya