Liputan6.com, Jakarta - Forum Lintas Hukum Indonesia (FLHI) kecewa mandat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diserahkan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Menurut mantan Direktur Penyidik Polri Kombes (Purn) Alfons Loemau yang juga anggota FLHI, seharusnya pimpinan KPK tak pernah menyerahkan mandat lembaga antirasuah kepada Jokowi.
"Sebagai sebuah lembaga negara penegak hukum, seharusnya dalam keadaan apa pun pimpinan KPK tetap di jalur dan menjaga marwah KPK," ujar Alfons Loemau di Kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, Minggu (15/9/2019).
Baca Juga
Dengan mundurnya Ketua KPK Agus Rahardjo dan dua wakilnya Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang, Alfons Loemau pun meminta agar Jokowi segera menunjuk pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK. Setidaknya hingga Desember 2019, atau sebelum pimpinan KPK terpilih periode 2019-2023 mengambil alih tugas pemberantasan korupsi.
Advertisement
"Sebaiknya pemerintah membekukan sementara kepemimpinan KPK periode 2015-2019 dengan menunjuk 5 (lima) orang pimpinan KPK sebagai Plt hingga pimpinan KPK periode 2019-2023 dilantik," kata dia.
Selain soal mandat KPK diserahkan kepada Jokowi, FLHI juga menyoroti soal revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Menurut Sekretaris FLHI Serfasius Serbaya Manek, UU KPK yang sudah 17 tahun sudah semestinya direvisi.
Dari salah satu draft revisi UU KPK yang disetujui oleh Serfasius yakni mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Setidaknya dengan penerbitan SP3 oleh KPK, lembaga antirasuah itu bisa memberikan kepastian hukum terhadap para terduga pelaku korupsi.
"Itu salah satu gambaran UU 30 Tahun 2002 dan sudah saatnya diubah karena ada dugaan abuse of power. Ada kewenangan hukum yang melangkahi hak-hak dasar seseorang," kata Serfasius.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kepastian Hukum
Pernyataan Serfasius ini diamini oleh anggota FLHI yang juga mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Chairul Imam. Sebab, dalam Pasal 5 UU KPK mengatakan KPK harus berasaskan kepastian hukum di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
"Jadi bagi kami, UU itu perlu direvisi karena banyak yang hal-hal tercecer yang belum dimasukkan ke dalamnya. Banyak hal-hal yang terlewatkan, sementara UU ini sudah ada selama 17 tahun lamanya," kata Chairul.
Advertisement