HEADLINE: Mahasiswa Indonesia Serentak Bergerak, Lampu Kuning untuk Elite Negeri?

Mahasiswa kembali bergerak. Di Jakarta juga di daerah. Kali ini, untuk menggugat UU dan RUU yang dianggap tidak pro-rakyat.

oleh Mevi LinawatiPutu Merta Surya PutraMuhammad Radityo PriyasmoroIka DefiantiRatu Annisaa SuryasumiratYopi Makdori diperbarui 25 Sep 2019, 00:10 WIB
Diterbitkan 25 Sep 2019, 00:10 WIB
Gedung DPR/MPR Mulai Dipadati Mahasiswa
Mahasiswa datang dengan membawa papan-papan yang bertuliskan tuntutan terhadap DPR untuk membatalkan Rancangan UU KUHP dan revisi UU KPK. (Foto: Liputan6/Yopi Makdori)

Liputan6.com, Jakarta - Yel-yel 'revolusi' dan 'turunkan tirani' menggema tepat di depan Gedung DPR RI, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (24/9/2019). Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus bergerak. Mereka menolak aturan yang dianggap tidak pro-rakyat. 

Aturan yang digugat adalah RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan UU KPK. Demonstrasi digelar sehari sebelumnya, namun kemarin adalah puncaknya. Para mahasiswa mengepung gedung parlemen, bahkan membludak hingga ke Tol Dalam Kota yang melintang di depan Gedung DPR RI.  

Akibatnya, arus kendaraan di jalan tol dalam kota dari arah Pancoran menuju Slipi hanya diberlakukan satu lajur. Macet berat. Polisi mencoba membubarkan aksi dengan menyemprotkan air dari mobil water cannon, juga melontarkan gas air mata. 

Sejumlah orang dilaporkan luka-luka, dari pihak demonstran, aparat, juga wartawan yang sedang melakukan tugas jurnalistik. 

Tak hanya di ibu kota, aksi mahasiswa juga berlangsung di sejumlah wilayah di Tanah Air sejak Senin 23 September 2019. Termasuk di Bandung, Solo, Yogyakarta, Makassar, Palembang, Malang, Medan, dan lainnya. 

Mayoritas mengenakan jas almamater, mahasiswa di sejumlah daerah berdemonstrasi di depan gedung dewan. Dengan tuntutan serupa. Beberapa diwarnai rusuh tatkala para pendemo bentrok dengan aparat yang berjaga. 

Di Semarang, Jawa Tengah, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus di meminta Gubernur Ganjar Pranowo menandatangani kertas berisi tuntutan para pendemo. 

Di Makassar, Sulawesi Selatan, demo mahasiswa gabungan dari sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta awalnya berjalan kondusif. Para demonstran melakukan long march dari kampus masing-masing menuju Flyover dan berakhir di Gedung DPRD Sulsel.

Aksi bakar ban di kubu demonstran dan semprotan water cannon dari pihak aparat kemudian berujung bentrok. 

Sementara itu di Palembang, ribuan mahasiswa gabungan se-Sumatera Selatan juga memblokade Jalan POM IX di depan gerbang Gedung DPRD. Turunnya hujan tidak menyurutkan niat mereka untuk berunjuk rasa.

Di Yogyakarta, demo mahasiswa tergabung dalam Aliansi Masyarakat Bergerak terpusat di pertigaan Jalan Colombo mulai Senin 23 September 2019. Panggilan agar mahasiswa ikut demo muncul di media sosial dengan tagar #GejayanMemanggil.

Infografis Gelombang Demo Mahasiswa Tolak RUU Kontroversial
Infografis Gelombang Demo Mahasiswa Tolak RUU Kontroversial. (Liputan6.com/Triyasni)

Tak hanya mahasiswa dari Jakarta yang menggelar aksi di depan gedung DPR RI. Massa juga datang dari daerah lain. Termasuk dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), Jawa Tengah yang mengaku sempat ditilang polisi sebelum masuk ibu kota. 

"Keadilan sosial sudah tidak ada untuk masyarakat," kata salah satu mahasiswa Unnes, yang tak mau disebut namanya, di kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Selasa (24/9/2019). 

Di tengah kepungan para demonstran, DPR pada Selasa 24 September 2019, menyetujui permintaan Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menunda pengesahan empat rancangan undang-undang, yakni RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba, dan RUU Pertanahan.

Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, melalui Badan Musyawarah (Bamus) pada 23 September 2019, dan forum lobi, DPR sepakat untuk menunda pengesahan RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan. DPR dan pemerintah memiliki waktu untuk mengkaji dan sosialisasi RUU tersebut agar diterima masyarakat.

Sementara, RUU Minerba dan RUU Pertanahan masih dalam pembahasan tingkat pertama dan belum sampai ke pengambilan keputusan

"Karena ditunda, maka DPR RI bersama pemerintah akan mengkaji kembali pasal per pasal yang terdapat dalam RUU KUHP, khususnya yang menjadi sorotan publik. Sambil juga kita akan gencarkan kembali sosialisasi tentang RUU KUHP. Sehingga, masyarakat bisa mendapatkan penjelasan yang utuh, tak salah tafsir, apalagi salah paham, menuduh DPR RI dan pemerintah ingin mengebiri hak-hak rakyat," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Selasa (24/9/2019).

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lampu Kuning untuk DPR dan Pemerintah?

Ada Demo, Lalu Lintas di Depan DPR Macet
Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di sekitar Gedung DPR/MPR RI, Jakarat, Selasa (24/9/2019). Kemacetan tersebut diakibatkan aksi demo yang dilakukan mahasiswa dengan buruh tani. (liputan6.com/Faizal Fanani)

Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno berpendapat, demo mahasiswa ini terjadi karena pengesahan dari revisi UU KPK yang tidak melibatkan publik. DPR, menurut dia, terkesan terburu-buru mengejar target sehingga protes melebar ke jalanan.

"Andai sejak awal DPR dan pemerintah melakukan public hearing terhadap pihak yang menolak, saya kira tidak sebesar demo ini," kata Adi kepada Liputan6.com, Selasa (24/9/2019)

Dia menilai, ada persoalan komunikasi yang tersumbat dari DPR dan pemerintah kepada masyarakat dalam penyampaian revisi UU KPK. 

"Andai melibatkan KPK, dilakukan komunikasi apa pasal yang menjadi keberatan, apa yang bisa dikompromikan. Kemudian undang juga aktivis, LSM yang menolak keras, cendekiawan, maka tidak terjadi (penolakan). Prosesnya begitu cepat sehingga menyumbat aspirasi," kata dia.

Adi mengatakan, demo mahasiswa yang terjadi di sejumlah wilayah menunjukkan semangat mendukung pemberantasan korupsi yang luar biasa.

Saat ditanya apakah aksi demonstrasi akan mengubah sikap DPR dan pemerintah, Adi pesimistis. 

"Apalagi 1 Oktober kan berganti dengan (anggota DPR) yang baru. Saya menduga, tidak ada perubahan apapun. Kecuali, jika aktivitas demo jauh lebih besar dan tidak berlangsung hanya 1-2 hari, mungkin ada perubahan," kata dia.

Dia mengatakan, dalam pembahasan undang-undang, yang perlu dibuka adalah tranparansinya. Biasanya, kata dia, DPR memanggil pihak terkait untuk membahasnya. Namun, kata Adi, tidak terjadi hal demikian saat revisi UU KPK.

Dia pun menilai, demo mahasiswa ini merupakan peringatan kepada pemerintah dan DPR. Ketika tidak ada lagi oposisi di parlemen, yang mengontrol kebijakan DPR dan pemerintah, saatnya mahasiswa kembali bangkit menjadi kekuatan kontrol atau check and balance.

"Ini yang harus diwaspadai, karena sudah tidak melalui jalur konstitusional, tapi rapat jalanan. Ini menunjukkan, mahasiswa sangat kritis dan mengetahui perkembangan yang terjadi di DPR dan pemerintahan," kata Adi.

Sementara itu, pengamat politik dari LIPI Lili Romli menilai, demo mahasiswa ini merupakan bentuk gerakan moral terhadap regulasi yang telah ditetapkan dan belum ditetapkan, yang dianggap tidak pro-rakyat.

Apalagi sekarang, ada dugaan adanya pelemahan terhadap KPK dan bahwa RUU KUHP dianggap bertentangan dengan demokrasi dan HAM.

"Mahasiswa yang melahirkan reformasi ini. Maka, ketika kebebasan itu kemudian menyimpang dari roh reformasi, mereka kemudian melawan dengan aksi demonstrasi," kata Lili kepada Liputan6.com.

Dia mengatakan, revisi UU KPK dan RUU KUHP memang menuai pro kontra. Banyak masyarakat menolak ketika DPR mengesahkan dan membahasnya.

Namun demikian, kata dia, jangan sampai kemudian demo melebar tuntutan yang lebih luas, apalagi ditunggangi kepentingan lain.

Dia berharap, DPR dan pemerintah merespons tuntutan mahasiswa, agar korban tak sampai jatuh.  

Waspada Ditunggangi

Mahasiswa Demo di DPR Blokade Tol Dalam Kota
Massa mahasiswa memblokade Tol Dalam Kota saat berunjuk rasa di depan Gedung DPR/ MPR RI, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Unjuk rasa menuntut penolakan atas pengesahan sejumlah RUU kontroversial tersebut diwarnai aksi bakar sejumlah kardus di tol dalam kota. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Menkumham Yasonna Laoly menyebut, gelombang demo mahasiswa menolak RUU KPK dan RUU KUHP bisa ditunggangi sekelompok orang dengan tujuan politis.

"Di luar sana sekarang ini isu dimanfaatkan untuk tujuan tujuan politik," kata Yasonna di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (24/9/2019).

Yasonna berharap, mahasiswa tidak terbawa agenda politik tertentu dalam aksi penolakan RUU kontroversial itu. Ia meminta mahasiwa mengedepankan dialog.

"Saya berharap pada mahasiwa, adik-adik saya mahasiswa, jangan terbawa random agenda politik yang nggak benar. Kalau mau debat, kalau mau bertanya tentang RUU, mbok datang ke DPR, datang ke saya. Bukan unjuk rasa merobohkan (pagar)," ucapnya.

Mengenai permintaan mahasiswa yang merasa tidak didengarkan anggota Dewan, Yasonna mengklaim, DPR telah membuka ruang diskusi.

Politisi PDIP itu meminta mahasiswa mengedepankan jalur intelektual daripada mahkamah jalanan alias demo.

Pihak kepolisian pun mengimbau mahasiswa agar waspada saat berunjuk rasa. Terlebih, pasca-aksi serupa yang berakhir ricuh di Bandung, Jawa Barat, pada Senin 23 September 2019 malam.

"Semakin malam potensi disusupi perusuh itu semakin besar," tutur Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan.

Dedi menambahkan, bentrok yang terjadi saat unjuk rasa mahasiswa di Bandung, gara-gara disusupi oleh kelompok Anarko.

Dedi juga mengimbau mahasiswa yang berdemo untuk mengecek atau mengenali orang-orang di sekitarnya, apakah mereka demonstran mahasiswa atau kelompok tak dikenal. 

"Silakan menyampaikan aspirasi Anda, baik di gedung DPR maupun di tempat lain dengan cara-cara damai," kata Dedi. "Waspadai penyusup-penyusup yang berpotensi masuk." 

Sementara itu, Menko Polhukam Wiranto mengimbau masyarakat mengurungkan niat untuk berunjuk rasa. Sebab, Presiden Jokowi dan DPR telah menunda RUU KHUP dan empat RUU lainnya yaitu Pertanahan, Pemasyarakatan, Minerba, dan Ketenagakerjaan.

"Karena menguras energi kita, akan buat masyarakat tidak tenteram, mengganggu ketertiban umum. Lebih baik urungkan," kata Wiranto dalam jumpa pers, Selasa (24/9/2019).

Masalah RUU yang ditunda tersebut, kata dia, bisa didiskusikan dengan DPR periode 2019-2024 dan kepada pemerintah yang akan datang.

"Sehingga pada saat diundangkan, tidak menimbulkan kerugian atau pro-kontra lebar di antara masyarakat kita," kata Wiranto.

Dia menjelaskan, terkait revisi UU KPK, pemerintah tidak serta merta menerimanya, tapi sudah dilakukan kajian secara mendalam untuk keberlanjutan sistem ketatanegaraan yang sehat.

"Bukan pelemahan KPK. Tidak mungkin yang diisukan bahwa pemerintah atau Jokowi anti-penanggulangan korupsi. Pemerintah sangat ingin korupsi dapat diberantas, itu pasti. Jangan diputarbalikkan," kata dia.

Wiranto menegaskan, Presiden Jokowi menolak bagian dari revisi yang melemahkan KPK. Presiden, kata dia, setuju adanya dewan pengawas KPK. Alasannya, di negara demokrasi, lembaga yang ada perlu adanya pengawas, seperti di kepolisian dan kejaksaan.

"DPR MPR termasuk pengawas dari sistem yang dilaksanakan pemerintah. Ini justru memperkuat KPK supaya tidak dianggap sewenang-wenang," kata dia.

Pengamat politik dan Koordinator Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) Sebastian Salang menilai, demo mahasiswa yang massif ini dipicu kekecewaan publik yang sudah mengakumulasi.

Diawali kekecewaan terkait pimpinan KPK baru, disahkannya revisi UU KPK, dan adanya rencana DPR untuk mengesahkan RUU KUHP.

Sebastian meminta, semua pihak bersikap bijak. Termasuk aparat. Ia meminta pihak berwajib bisa memilah demonstran mahasiswa dengan para pembonceng yang bertujuan untuk merusuh.

"Karena Anda tahu, setiap kali ada momentum politik, setiap ada gerakan seperti itu, ada saja yang punya kepentingan. Yang membonceng gerakan itu bisa saja terjadi," kata Sebastian.

Menurutnya, dugaan adanya pihak yang sengaja memanfaatkan momentum ini untuk mengganggu pelantikan presiden tanggal 20 Oktober 2019 nanti, bisa saja benar adanya.

"Boleh-boleh saja orang menilai seperti itu, dan mungkin saja. Mungkin saja memanfaatkan, membonceng situasi. Tugas dari intelijen, tugas dari aparat pengamanan untuk mencoba mendeteksi," jelas dia.

Sebastian menegaskan, harus diidentifikasi, mana gerakan demonstrasi yang memang betul-betul murni untuk mengkritisi kebijakan, mana orang-orang yang sengaja memanfaatkan situasi. Agar aparat tak salah langkah. 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya