Suara Dangdutan Nelayan Indonesia Ganggu Penerbangan Internasional, Kok Bisa?

Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkomimnfo) terus berupaya mengatasi gangguan komunikasi penerbangan yang dikeluhkan para pilot.

oleh Achmad Sudarno diperbarui 04 Okt 2019, 10:09 WIB
Diterbitkan 04 Okt 2019, 10:09 WIB
20160412-pesawat terbang
Ilustrasi pesawat terbang lepas landas dari bandara.

Liputan6.com, Jakarta - Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkomimnfo) terus berupaya mengatasi gangguan komunikasi penerbangan yang dikeluhkan para pilot.

Tindakan ini menyusul banyaknya keluhan kebocoran frekuensi yang disampaikan penerbangan internasional. Frekuensi radio dari komunitas dan nelayan di lautan bocor ke dalam radio kontrol pesawat.

Mulai dari percakapan pribadi melalui handy talky (saluran radio pribadi), musik dangdut dan musik daerah lain kerap terdengar oleh pilot dan cukup mengganggu.

"Nelayan banyak menggunakan perangkat tidak sesuai spesifikasi yang mengganggu sistem navigasi pesawat. Sampai di pilot terdengar suara radio dangdut. Kita dikomplain oleh penerbangan internasional," kata Direktur Jenderal Sumber Daya Dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kemkomimnfo, Ismail saat kegiatan Innovations of Frequency and Standardization Festival (IFaS-Fest) 2019 di Bogor, Kamis (3/9/2019).

Menindak lanjuti keluhan para pilot ini, pemerintah berupaya mengatur frekuensi radio komunitas ilegal yang digunakan para nelayan saat berkomunikasi di lautan serta mendorong agar memiliki izin.

Dari hasil penelusuran di lapangan, kebocoran disebabkan frekuensi radio lokal yang dipancarkan oleh nelayan dan rumah-rumah pribadi menggunakan alat pemancar yang tidak memenuhi syarat. Namun demikian, Kemkominfo belum memiliki data berapa banyak saluran radio ilegal yang digunakan oleh nelayan.

Kecenderungan sebagian masyarakat menggunakan perangkat tersebut di antaranya karena buruknya kualitas layanan telekomunikasi yang sering banyak dikeluhkan sejumlah pengguna layanan telekomunikasi.

"Tapi jaringan operator sekarang sudah mulai membaik," kata dia.

Kini, Kemkominfo terus mensosialisasikan masyarakat pesisir pantai untuk tidak menggunakan alat penguat sinyal (repeater) dan jammer yang saat ini masih diperdagangkan secara bebas. Menurutnya, perangkat berbentuk seperti sebuah decorder sangat mengganggu performansi jaringan penerbangan yang pada akhirnya merugikan masyarakat secara luas.

"Mereka ini bukannya tidak ingin patuh tetapi karena ketidaktahuan prosedur, makanya kita dorong nelayan menggunakan perangkat yang tepat dan tidak melanggar aturan," kata Ismail.

Pihaknya juga mendorong masyarakat untuk mengurus perizinan frekuensi radio serta menggunakan perangkat telekomunikasi yang bersertifikat. Apabila izin keluar, perangkat telekomunikasi juga harus dipergunakan sesuai persyaratan yang sudah ditetapkan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Buka Layanan Frekuensi Khusus Daerah Pesisir

Sejauh ini, Kemkomimnfo mengaku sudah membuka layanan perizinan frekuensi radio di 8 provinsi khususnya di daerah pesisir yang mayoritas sebagai nelayan. 8 provinsi tersebut di antaranya di Jabar, DKI Jakarta, Jateng, Makasar, Jatim, dan daerah-daerah lainnya yang menjadi konsentrasi nelayan.

"Mereka ini butuh alat komunikasi yang menggunakan frekuensi radio makanya kita siapkan layanan perizinan di pinggir pantai agar radio nelayan itu tersertifikasi, terstandarisasi dan penggunaan ijin frekuesninya jelas," kata dia.

Layanan perizinan frekuensi radio dilakukan dengan sistim jemput bola ke setiap titik lokasi yang menjadi pusat penyebaran para nelayan.

"Modelnya kaya SIM keliling, kita hadir di tengah masyarakat. Seluruh proses perizinan sudah online mulai masukan berkas sampai tandatangan digital," terangnya.

Sejak program ini bergulir, lanjut Ismail, keluhan maupun laporan dari pilot atau lembaga penerbangan internasional terus berkurang.

"Kalau sekarang jauh lebih berkurang dibanding dua tahun sebelumnya," ucapnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya