Jelang Pelantikan Presiden, BSSN Minta Masyarakat Tak Terpancing Hoaks

Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) siap menangkal hoaks menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2019 mendatang.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 11 Okt 2019, 08:15 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2019, 08:15 WIB
Kepala BSSN Hinsa Siburian
Kepala BSSN Hinsa Siburian (Liputan6/Putu Merta)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) siap menangkal hoaks menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2019 mendatang.

Kepala BSSN Hinsa Siburian mengatakan pihaknya siap bekerjasama dengan berbagai pihak untuk mengkal hoaks.

"Untuk pelantikan Presiden 20 Oktober yang akan datang, kita bekerja sama dengan semua stakeholder," kata Hinsa di Hotel Grand Kemang, Jakarta, Kamis (10/10/2019).

Sebenarnya, kata dia, hanya masyarakat sendiri yang bisa menangkal tersebarnya berita bohong. Caranya, jangan mudah percaya dengan semua berita di media sosial.

"Jangan terlalu cepat dan mudah percaya terhadap informasi, terutama yang datangnya dari media sosial khususnya," jelas Hinsa.

Dia mengutarakan, ancaman siber yang mempengaruhi masyarakat sudah banyak dilakukan jelang pelantikan presiden. "Sudah ada sejak dari waktu lalu," ungkap Hinsa.

Karenanya, masyarakat harus mulai disiplin dalam menyerap segala informasi. Apalagi yang sudah mengarah ke hoaks.

"Dan kita berharap masyarakat tidak terpengaruh, terpancing, dengan isu-isu yang belum jelas dan belum tentu keberadaannya yang biasa kita sebut hoaks," pungkasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Ancaman Siber

BSSN sendiri terus berupaya mengatasi ancaman siber, dalam perkembangan yang serba digital ini.

Hinsa mengatakan, keamanan siber dewasa ini, menjadi fokus utama dalam penyelenggaraan sistem elektronik. Sebab, kata dia,serangan siber terjadi secara masif, hingga dapat mengancam jiwa manusia, kestabilan ekonomi, bahkan kedaulatan negara. Karenanya, dibutuhkan kebijakan manajemen krisis siber yang baik.

Menurut dia, saat ini transaksi banyak dilakukan secara digital yang semuanya perlu diamankan. Sehingga keamanan siber merupakan hal yang sangat penting dan mendesak.

"Untuk menopang dan mendukung keberhasilan digitalisasi berbagai sektor di Indonesia, termasuk dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 yang serba digital dan terhubung melalui internet. Hal tersebut bermuara pada satu tujuan, yaitu mewujudkan keamanan siber menuju kesejahteraan ekonomi," kata Hinsa.

Dia menuturkan, manajemen krisis siber sejatinya merupakan suatu langkah administratif dalam rangka pengambilan keputusan secara cepat, serentak, dan mampu menembus ruang dan waktu terhadap semua potensi ancaman keamanan siber.

Hinsa memaparkan, hasil penelitian dan laporan dari Google Temasek, serta Bain bertajuk e-Conomy SEA 2019, dimana diperkirakan nilai ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara mencapai USD 100 milar atau Rp 1.418,17 triliun pada tahun ini. Dan 40 persennya yang senilai US 40 miliar dolar, kata dia, berasal dari Indonesia.

"Dengan nilai pertumbuhan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan potensi ekonomi digital yang luar biasa. Indonesia harus menjaga potensi tersebut guna mewujudkan pertumbuhan ekonomi nasional," pungkasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya