Mendagri Minta Sistem Pilkada Langsung Dikaji Ulang

Tito menilai, sistem pemilihan secara langsung banyak mudaratnya.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Nov 2019, 20:27 WIB
Diterbitkan 06 Nov 2019, 20:27 WIB
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian (tengah). (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung untuk dikaji ulang. Dia mempertanyakan, apakah sistem pemilihan langsung tersebut masih relevan hingga sekarang.

"Kalau saya sendiri justru pertanyaan saya adalah, apakah sistem politik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," ujar Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2019).

Tito menilai, sistem pemilihan secara langsung banyak mudaratnya. Dia mengakui ada manfaatnya terkait partisipasi politik, tetapi biaya politiknya terlalu tinggi hingga memicu kepala daerah terpilih melakukan tindak pidana korupsi.

"Kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar, mau jadi Bupati mana berani dia. Udah mahar politik," ucapnya.

Mantan Kapolri itu menyatakan, Kemendagri akan melakukan riset akademik terkait sistem Pilkada secara langsung. Dia mengatakan, bisa saja opsinya tetap dilakukan secara langsung dengan catatan solusi untuk mengurangi dampak negatif.

"Tapi bagaimana solusi mengurangi dampak negatifnya, supaya enggak terjadi korupsi biar tidak terjadi OTT lagi. Tinggal pilih aja, kok kepala daerah yang mau di-OTT," kata Tito.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Usul Revisi UU Pilkada

KPU Uji Publik Rancangan Peraturan Pilkada 2020
Ketua KPU Arief Budiman (kedua kiri) didampingi Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan Evi Novida memimpin rapat Uji Publik Rancangan Peraturan KPU di Jakarta, Rabu (2/10/2019). Rapat membahas pencalonan, pembentukan dan tata kerja PPK, PPS dan KPPS dalam Pilkada 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman berharap, UU Pilkada direvisi untuk mengatur pelarangan mantan napi kasus korupsi, bandar narkoba, dan pelaku kekerasan seksual anak maju mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

KPU telah menyerahkan draf Peraturan KPU untuk Pilkada 2020 kepada Komisi II DPR. Dalam draf itu, KPU memasukkan larangan mantan napi korupsi, bandar narkoba dan pelaku kekerasan seksual anak mengikuti kontestasi Pilkada.

Aturan serupa pernah dibuat KPU pada pemilihan legislatif (Pileg) 2019, namun dibatalkan Mahkamah Agung (MA). Agar hal tersebut tidak terulang, Arief berharap, UU Pilkada direvisi.

"Kami tentu berharap ada revisi terhadap undang-undang. Karena kan semua pihak kalau saya lihat komentarnya, sepanjang ini diatur di dalam undang-undang maka kita bisa terima," ujar Arief di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/11/2019).

Arief mempertanyakan, komitmen apakah UU Pilkada ini mau direvisi atau tidak. KPU senang jika DPR mau merevisi UU Pilkada. Kendati begitu, KPU tetap memasukkan larangan mantan koruptor maju Pilkada dalam PKPU.

 

Dia menyebut, banyak kepala daerah yang ditangkap dan ditahan karena kasus korupsi. Ada juga yang pernah menjadi mantan koruptor yang kembali tertangkap karena kasus korupsi.

"Ada yang melakukan berulang, pernah menjadi terpidana korupsi sudah selesai menjalani kemudian mencalonkan lagi menjadi kepala daerah, jadi kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi lagi," kata Arief.

"Ini yang kita enggak mau kan. Jadi saya pikir kalau banyak pihak kemudian melihat seperti ini punya kekhawatiran yang sama dengan yang dikhawatirkan seperti ini ya mestinya ini bisa diterima," ucap Ketua KPU.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya