Liputan6.com, Jakarta - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta sistem pemilu secara langsung dikaji ulang. PDIP menanggapi positif gagasan mendagri untuk melalukan evaluasi terhadap pelaksanaan sistem pemilu langsung.
Sistem pemilu langsung ini diduga menyebabkan tingginya biaya pemilu, korupsi, dan ketegangan politik akibat demokrasi bercita-rasa liberal kapitalistik.
"Sistem politik, sistem kepartaian, dan sistem pemilu harus senafas dengan demokrasi Pancasila yang mengandung elemen pokok perwakilan, gotong royong, dan musyawarah," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Jakarta, Jumat (8/11/2019).
Advertisement
Dia menuturkan, dalam demokrasi Pancasila, hikmat kebijaksanaan untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara dikedepankan.
Menurut dia, pemilu langsung selama ini selain berbiaya mahal, memunculkan oligarki baru, kaum pemegang modal dan yang memiliki akses media yang luas, serta mereka yang mampu melakukan mobilisasi sumber dayalah yang berpeluang terpilih.
"Demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tereduksi menjadi demokrasi kekuatan kapital. Dalam perspektif inilah kritik Mendagri terasa begitu relevan," jelas Hasto.
Dia mengungkapkan, PDIP telah menyusun strategi dan melaksanakannya guna melakukan praktik politik yang dapat menyempurnakan demokrasi Pancasila. Yakni dengan menempatkan merit system melalui psikotest, test tertulis dan wawancara di dalam pemilihan pimpinan Partai di tingkat provinsi dan kabupaten kota. Semuanya diterapkan secara musyawarah tanpa voting, dan dipimpin oleh ideologi Pancasila.
"Hasilnya, kualitas kepemimpinan Partai di semua tingkatan meningkat, berbiaya sangat murah, dan minim konflik. PDI Perjuangan menegaskan sebagai Partai dengan biaya paling kompetitif dan efektif di dalam melakukan konsolidasi struktural Partai," ungkap Hasto.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Apakah Relevan 20 Tahun ke Depan?
Sebelumnya, Tito mempertanyakan, apakah sistem pemilihan langsung tersebut masih relevan hingga sekarang. "Kalau saya sendiri justru pertanyaan saya adalah, apakah sistem politik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," ujar Tito.
Tito menilai, sistem pemilihan secara langsung banyak mudaratnya. Dia mengakui ada manfaatnya terkait partisipasi politik, tetapi biaya politiknya terlalu tinggi hingga memicu kepala daerah terpilih melakukan tindak pidana korupsi.
"Kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar, mau jadi Bupati mana berani dia. Udah mahar politik," ucapnya.
Advertisement