Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif membeberkan alasannya ikut mengajukan judical review UU KPK yang baru bersama aktivis antikorupsi ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (20/11/2019).
Menurut Syarif, UU KPK tidak pernah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas). Selain itu, pembahasan UU terkesan tertutup tanpa melibatkan masyarakat. Bahkan, KPK sebagai pelaksana UU tidak pernah dilibatkan dalam proses tersebut.
"Itu tidak masuk prolegnas, tapi tiba-tiba muncul. Kedua kalau kita lihat waktu pembahasannya dibuat sangat tertutup. Bahkan tidak berkonsultasi dengan masyarakat, dan bahkan sebagai stakeholder utama KPK tidak dimintai juga pendapat," ujar Syarif di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Advertisement
Tak hanya itu, Syarif menyatakan, UU KPK yang baru tersebut dibentuk tanpa didahului naskah akademik. Padahal, Pasal 43 ayat (3) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan, 'Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik'.
"Apa kalian pernah membaca naskah akademik itu. Dan banyak lagi dan bertentangan juga dengan aturan, dalam hukum, dan UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Jadi banyak hal yang dilanggar. Itu dari segi formilnya," kata Syarif.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pasal Saling Bertentangan
Sedangkan dalam sisi materiil, menurut Syarif ada beberapa pasal yang saling bertentangan, seperti pasal 69D dengan Pasal 70C.
Pasal 69D menyatakan, 'Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang ini diubah'.
Namun, Pasal 70C menyebutkan, 'Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini'.
"Bahkan sebenarnya dulu ada kesalahan tentang pengetikan antara syarat komisioner apakah 40 tahun atau 50 tahun. Jadi banyak sekali. Memang kelihatan sekali UU ini dibuat secara terburu-buru. Oleh karena itu kesalahannya juga banyak. Apa-apa saja yang dimintakan dalam JR ini, nanti akan kami sampaikan ke MK," kata Syarif.
Sebelumnya, tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang menyambangi Mahkamah Konstitusi (MK) bersama beberapa aktivis pengiat antikorupsi.
Kehadiran tiga pimpinan KPK tersebut untuk melakukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Agus mengatakan, kedatangannya ke MK tidak membawa nama instansi KPK, melainkan atas dasar pribadi sebagai warga negara.
Advertisement