Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim membandingkan Ujian Nasional (UN) dengan penggantinya yakni asesmen kompetensi minimum dan survei karakter dalam kaitannya mengukur prestasi siswa. Dia menganalogikannya seperti siswa berenang.
Nadiem mengatakan, konsep asesmen kompetensi minimum dan survei karakter menitikberatkan pada numerasi dan literasi.
Lebih lanjut Nadiem menjelaskan, numerasi bukan kemampuan menghitung, tapi bagaimana menggunakan konsep matematika yang tidak terlalu rumit tapi diaplikasikan kepada suatu masalah yang nyata.
Advertisement
Sedangkan, literasi bukan kemampuan membaca, tapi bagaimana memahami isi konten dari suatu bacaan dan menganalisanya.
“Kenapa minimum. Karena tidak cukup mengukur prestasi siswa, tapi cukup sekolah ini sudah di level mana, perlu ditolong atau tidak,” kata Nadiem di Hotel Century, Jakarta Pusat pada Jumat (13/12/2019).
Selama ini, UN hanya menyajikan materi dan topik yang dipadatkan berdasarkan mata pelajaran. Sehingga cara tercepat untuk mendapatkan angka tinggi di UN adalah menghafal.
“Banyak sekali guru stres karena penilaian sekolah dan siswa, dan orangtua stres karena seleksi dia ke tahap berikutnya bergantung kepada angka ini,” kata Nadiem.
Padahal, tujuan UN sebenarnya adalah menilai sistem pendidikan atau suatu tolok ukur untuk mengevaluasi sekolah.
“Bukan evaluasi sistem pendidikan, bukan untuk menentukkan prestasi siswa,” ucap Nadiem Makarim itu.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Analogi Berenang
Nadiem lalu menganalogikan kedua sistem tersebut seperti mengajak siswa untuk berenang di suatu pulau. Menurut dia, apabila masih menggunakan sistem UN yang sekarang, guru akan lebih dulu bertanya soal teori kepada para siswa.
“Ditanya dan dilatih pengetahuan terkait gaya renang. Tahu enggak gaya katak seperti apa? Tau enggak gaya bebas seperti apa? Air itu apa? berenang itu apa?,” ujarnya.
Lain halnya dengan sistem asesmen kompetensi minimum yang akan diterapkan pada 2021 nanti.
“Kalau kompetensi adalah bisa berenang enggak? Langsung diceburin ke dalam laut, dia bisa berenang atau tidak,” kata Nadiem.
Nadiem menerangkan itulah yang menjadi alasan ingin mengubah format dalam mengukur prestasi siswa. Nadiem menyinggung amanat UUD 1945, bahwa semua anak berhak mendapatkan pendidikan dengan mutu yang baik.
Maksud mutu itu adalah kompentensi, kemampuan, dan menjadi produktif di dalam masyarkat.
“Kalau kita (berharap), mereka enggak akan tenggelam pada saat setelah lulus SMA atau Perguruan Tinggi,” ucap Nadiem memungkasi.
Advertisement