UU KPK Baru Dinilai Perlambat Kerja KPK, Ini Kata Istana

Jubir Presiden, Fadjroel Rachman, menegaskan bahwa Presiden Jokowi menghormati hukum yang berlaku saat ini.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 13 Jan 2020, 17:36 WIB
Diterbitkan 13 Jan 2020, 17:36 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memanggil Fadjroel Rahman ke Istana.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memanggil Fadjroel Rahman ke Istana. (Liputan6/Lizsa Egeham)

Liputan6.com, Jakarta - Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, meminta agar seluruh pihak memberi kesempatan kepada pemimpin dan dewan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bekerja menggunakan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Hal ini dikatakan Fadjroel menanggapi pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menilai bahwa UU KPK baru itu memperlambat kinerja lembaga antirasuah.

"Kita lihat saja, kita serahkan kepada Dewan Pengawas KPK, kepada pemimpin KPK yang sekarang. Beri kesempatan pada mereka untuk menjalankan undang-undang tersebut," ujar Fadjroel di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (13/1/2020).

Fadjroel juga merespons keinginan sejumlah pihak agar mengembalikan UU KPK kembali kepada UU Nomor 30 Tahun 2002. Dia menegaskan bahwa Presiden Jokowi menghormati hukum yang berlaku saat ini.

"Undang-undang yang sekarang adalah undang-undang berdasarkan politik hukum pemerintahan Jokowi, menghormati hukum positif yang ada. Kami hanya menjalankan apa yang menjadi undang-undang yang terbaru, yaitu UU 19 Tahun 2019 tentang KPK," jelasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan video pilihan berikut ini:


UU Baru Persulit Kerja KPK

Ilustrasi KPK
Gedung KPK (Liputan6/Fachrur Rozie)

Sebelumnya, peneliti ICW, Kurnia Ramadhan, mengatakan bahwa UU KPK baru terbukti mempersulit kinerja penyidik dalam melakukan berbagai tindakan pro-justicia. Hal ini terlihat dalam peristiwa OTT yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Dia menyoroti dua hal dalam operasi senyap yang dilakukan tim penindakan KPK itu.

"Pertama, KPK faktanya terbukti lambat dalam melakukan penggeledahan di kantor PDIP. Ini disebabkan adanya Pasal 37 B ayat (1) UU KPK baru yang menyebutkan bahwa tindakan penggeledahan mesti atas seizin Dewan Pengawas. Padahal, dalam UU KPK lama untuk melakukan penggeledahan yang sifatnya mendesak tidak dibutuhkan izin terlebih dahulu dari pihak mana pun," jelas Kurnia dikutip dari keterangan resminya, Senin (13/1/2020).

"Logika sederhana saja sebenarnya, bagaimana mungkin tindakan penggeledahan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan bukti dapat berjalan dengan tepat serta cepat jika harus menunggu izin dari Dewan Pengawas? Belum lagi persoalan waktu, yang mana proses administrasi tersebut dapat dipergunakan pelaku korupsi untuk menyembunyikan bahkan menghilangkan bukti-bukti," sambungnya.

ICW menduga tim KPK dihalang-halangi saat menangani perkara tersebut. Padahal, tindakan tersebut dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menggunakan Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.

"Dengan kondisi seperti ini dapat disimpulkan bahwa narasi penguatan yang selama ini diucapkan oleh Presiden dan DPR hanya ilusi semata. Sebab, keberlakukan UU KPK justru menyulitkan penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga anti rasuah tersebut," ucap Kurnia.

Untuk itu, ICW mendesak agar Presiden Joko Widodo tidak buang badan saat kondisi KPK yang semakin lemah akibat berlakunya UU KPK baru. ICW meminta Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menyelematkan KPK.

"KPK harus berani menerapkan aturan obstruction of justice bagi pihak-pihak yang menghambat atau menghalang-halangi proses hukum," jelas dia.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya