Liputan6.com, Purworejo - Ratusan orang di Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, berpakaian ala keraton Jawa, melakukan kirab, menjadi pusat perhatian warga hari itu. Mereka membawa bendera dan panji-panji yang diaku dari Keraton Agung Sejagat.
Setelah deretan panji-panji, beberapa orang berseragam hitam jalan berjejer menabuh alat musik. Sejumlah pria lainnya, berbaju warna emas dan selendang merah, membawa tombak berjalan di urutan selanjutnya.
Ada pula perempuan-perempuan yang menenteng busur dan mengenakan kemben mirip pemain ketoprak.
Advertisement
Sementara, delapan pria lainnya berbeskap dan sejumlah perempuan berkebaya merah, mengikuti mereka dengan membawa makanan yang ditata sedemikian rupa, seperti seserahan pengantin. Gunungan makanan juga ikut diarak dalam acara tersebut.
Tak berapa lama terlihat seorang pria berbaju merah tengah menunggang kuda. Dia kemudian tersenyum kepada warga dan melambaikan tangan.
"Da....dada...," sambut warga sembari membalas lambaian tangan pria yang kemudian diketahui bernama Toto Santosa Hadiningrat itu.
Kemunculan Keraton Agung Sejagat itu kemudian membuat heboh warga Purworejo yang lain. Apalagi, video acara wilujengan dan kirab budaya yang mereka gelat pada Jumat-Minggu, 10-12 Januari 2020, menjadi viral di dunia maya.
Penasihat Keraton Agung Sejagat, Resi Joyodiningrat, mengaku Keraton Agung Sejagat bukan aliran sesat seperti yang dikhawatirkan masyarakat.
Dia mengatakan, Keraton Agung Sejagat merupakan kerajaan atau kekaisaran dunia yang muncul karena telah berakhir "perjanjian 500 tahun" yang lalu, terhitung sejak hilangnya Kemaharajaan Nusantara, yaitu imperium Majapahit pada 1518 sampai 2018.
Kerajaan tersebut dipimpin "seseorang" yang dipanggil Sinuhun, yaitu pria berkuda dalam kirab hari itu, Toto Santosa Hadiningrat. Dia memiliki istri siri yang dipanggil Kanjeng Ratu Dyah Gitarja dengan nama asli Fanni Aminadia.
Pengikut Keraton Agung Sejagat ini dikabarkan mencapai 450 orang dan sebagian besar dari Yogyakarta.
Masyarakat pun kian resah....
Tak mau keresahan ini berlangsung lama, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jateng turun tangan. Polisi lalu berkoordinasi dengan jajaran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, untuk melakukan kajian.
Sinuhun dan sang ratu dipaksa turun tahta. Polisi menangkap keduanya.
"Penangkapan dilakukan karena ada banyak keluhan dari masyarakat terkait adanya penarikan uang dan kegiatan ritual yang disertai pembakaran kemenyan," kata Kapolda Jateng Irjen Rycko Amelza Dahniel.
"Raja dan ratu Kerajaan Agung Sejagat kita tangkap Direskrimum kemarin di sekitar lokasi yang dijadikan kerajaan," lanjut Rycko di Semarang, Selasa, Rabu (15/1/2020).
Polisi pun menyita sejumlah barang bukti dokumen yang diduga dipalsukan pelaku serta buku tabungan. Salah satunya, kartu identitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang sudah pasti palsu.
Usai penangkapan dan penggeledahan, pemeriksaan intensif terhadap keduanya pun dimulai. Kepada penyidik, keduanya memberikan keterangan berbelit-belit. Mereka juga bersikukuh pada ceritanya tentang Keraton Agung Sejagat.
Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Iskandar Fitriana Sutisna mengatakan, kepada penyidik, raja dan ratu gadungan tersebut mengaku sebagai keturunan dari Kerajaan Majapahit. Kemudian mereka mendirikan Keraton Agung Sejagat pada 2018.
Pendirian Kerajaan Agung Sejagat merupakan ide Fanni. Ide awalnya, kerajaan ini hendak didirikan di Yogyakarta. Namun, ada penolakan dari masyarakat. Terlebih, mayoritas masyarakat Yogyakarta masih mengagungkan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Mereka kemudian menceritakan tentang perjanjian Kerajaan Mataram dengan Portugis. Kerajaan Mataram sebagai Majapahit membuat perjanjian dengan Portugis pada 1518. Perjanjian itu berisi tentang penguasaan rempah-rempah selama 500 tahun. Setelah 500 tahun, tidak ada lagi ikatan dari Portugis.
Dari situlah, Fanni mengaku mendapat "bisikan" untuk mendirikan Kerajaan Mataram kedua. Kemudian, tercipta Keraton Agung Sejagat.
"Jatuhnya 500 tahun ini di tahun 2018. Makanya mereka setelah berakhirnya 500 tahun itu punya inisiatif yang katanya mendapatkan wangsit mendirikan Kerajaan Mataram kedua," ujar Iskandar menirukan pengakuan Toto dan Fanni.
Menurut polisi, keduanya sudah menyusun dengan matang struktur organisasinya. Susunan itu dirancang dengan detil. Contohnya, pimpinan tertinggi ada di tangan raja. Sementara, di bawah raja ada 13 menteri yang membawahi gubernur-gubernur dan lurah.
"Artinya, ini orang terlalu pinter," kata Iskandar.
Lalu, bagaimana bisa keduanya mempengaruhi masyarakat untuk bergabung Keraton Agung Sejagat?
Berdasar penyidikan polisi, mereka merekrut orang-orang yang berpengetahuan sempit. Juga mengiming-imingi warga akan diangkat sebagai pengurus kerajaan dengan gaji dalam bentuk dolar.
"Karena menurut dia punya tabungan di Swiss dalam bentuk dolar," kata Iskandar.
Namun, sebelum mendapatkan gaji yang terkesan "wah" itu, setiap calon pengikutnya diminta menyetor uang Rp 3 juta sampai Rp 30 jutaan.
"Jadi sudah ada yang menyetor sampai setahun pun tidak dapat jabatan," tutur Iskandar.
Dengan jumlah pengikut ratusan, ada dugaan, uang yang diraup pasangan nikah siri itu tak sedikit. Polisi mengaku masih menghitung jumlah uang yang terkumpul dari hasil penipuan tersebut.
Untuk menguak motif Toto dan Fanni mendirikan kerajaan dan mencari pengikut, polisi akan memeriksa kejiwaan keduanya.
"Nanti dimintakan keterangan dari psikologi artinya kalau dinyatakan gila ya tentu perkara ini tidak bisa diteruskan," kata Iskandar.
Yang jelas, lanjut dia, dari kacamata hukum perbuatan Toto dan Fanni memenuhi unsur pidana. Ini sesuai dengan pendapat sejumlah ahli yang dimintai pendapat oleh kepolisian.
"Ini pidana murni," kata Iskandar.
Oleh karena itu, polisi menjerat Toto dan Fanni dengan Pasal 378 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tentang penipuan. Serta Pasal 14 UU yang sama tentang menyiarkan berita bohong atau tidak benar yang meresahkan warga masyarakat.
"Itu ancamanya 10 tahun," kata Iskandar.
Mengaku Presiden Tahu
Liputan6.com kemudian mencoba mencari informasi dari salah satu pengikutnya. Linda, seorang warga Sleman mengaku terlibat dalam keanggotaan Keraton Agung Sejagat itu. Ia disebut sebagai 'punggawa kerajaan'.
"Ini nyata loh. Bukan hoaks. Kerajaan Agung Sejagat muncul sebagai pelunasan janji 500 tahun runtuhnya kerajaan Majapahit tahun 1518," ujar Linda melalui sambungan telepon.
Linda juga mengatakan, munculnya Keraton Agung Sejagat itu untuk menyambut kehadiran Sri Maharatu (Maharaja) Jawa kembali ke tanah Jawa.
Menirukan ucapan Toto yang menunjukkan sejumlah dokumen, Linda menyebutkan, Keraton Agung Sejagat sudah didaftarkan di Mahkamah Internasional. Sengaja mengambil lembaga dunia karena kerajaan ini akan menjadi pusat kekuasaan dunia.
"Tinggal disahkan oleh Mahkamah Internasional," kata Linda.
Tak hanya itu, Linda juga menyebut, para pejabat sudah tahu tentang hal ini, termasuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Linda mengaku tak tahu proyeksi kerajaan ini akan seperti apa jika benar-benar mendapat pengesahan. Ia tak berani mendahului para konseptor kerajaan.
"Pak Toto ini kan punya darah Raja Solo, dan istrinya juga trah Raja Yogya," kata Linda.
Apakah nasib para Punggawa Keraton Agung Sejagat itu akan bernasib sama dengan anggota Gafatar setelah sang Raja dan sang Ratu ditangkap?
"Saya yakin tidak. Gusti Allah sudah menghendaki munculnya kerajaan ini," tutur Linda.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Demi Kekuasaan dan Pengakuan?
Antropolog dari Universitas Gajah Mada (UGM) Sri Edi Ahimsa mengatakan, tak menutup kemungkinan kemunculan Keraton Agung Sejagat ini hanya untuk memperoleh kekuasaan. Dia menduga Toto Santosa Hadiningrat banyak terpengaruh oleh kebanggaan masa lampau Jawa.
"Tujuannya kekuasaan, dia ingin meniru raja di masa lampau," kata Sri Edi kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (15//1/2020).
Sebenarnya, lanjut dia, mendirikan keraton baru dengan tujuan kekuasaan sangat biasa terjadi di masa lalu. Bukan hanya di Jawa, hal ini pernah terjadi di Sulawesi, bahkan Asia Tenggara. Jika keraton baru tersebut semakin besar, maka bisa menjadi pesaing bahkan meruntuhkan keraton yang sudah ada sebelumnya.
Setelah modernisasi, kerajaan-kerajaan tersebut runtuh, kecuali Kerajaan Yogyakarta. Namun, bukan berarti orang-orang yang memiliki orientasi mendirikan kerajaan baru ikut hilang.
Seseorang yang ingin mendirikan keraton itu, kata dia, biasanya merasa sebagai keturunan keraton.
"Biasanya mereka merasa punya keturunan keraton," ujar Sri Edi.
Celakanya, orang-orang ini biasa memberikan sumber daya ke masyarakat sekitar atau kerabatnya, hingga rela menjadi pengikut.
"Misalnya dia punya tanah, lalu pengikutnya diberi tanah, atau pekerjaan. Saya curiga dia (Toto Hadiningrat) punya tanah luas, sementara pengikutnya buruh taninya," kata Sri Edi.
Menurut dia, pendirian Keraton Agung Sejagat sebenarnya tak masalah selama tidak menganggu. Yang jadi masalah, sambung dia, Toto mengklaim sebagai raja.
"Ini nantinya jadi politik, dikhawatirkan akan menganggu kekuasaan yang sah," ujar Sri Edi.
Sosiolog dari Universitas Gajah Mada (UGM), Sunyoto Usman menilai, didirikannya Keraton Agung Sejagat hanya untuk menunjukkan jati diri dan mencari harapan baru bagi pengikutnya. Dia menduga, Toto dan pengikutnya sulit beradaptasi dengan sosial ekonomi yang berkembang sangat cepat.
"Dalam menghadapi perubahan politik, ekonomi ada kepanikan yang luar biasa. Akhirnya mereka membuat identitas," kata dia.
Harapannya, ujar Sunyoto, keberadaan mereka akan diakui oleh elite politik.
Sebelum polisi menyebut ada iming-iming ke warga yang bersedia jadi pengikut, dia sudah menebak, Toto menggunakan materi untuk pemanis.
"Tidak mungkin suka rela (bergabung). Pasti ada diberi stimulan apakah kegiatan bisnis, atau uang," kata Sunyoto.
"Bisa jadi diberi imingi-iming akan diberi akses ekonomi. Dugaan saya bukan gerakan politik tapi untuk mendapat pengakuan," tandas Sunyoto.
Advertisement
Jejak Suram Sang Raja
Sang raja Keraton Agung Sejagat, Sinuhun Toto Santoso Hadiningrat ternyata memiliki jejak suram sejak lama.
Pada 2016, Toto Santoso pernah mendirikan organisasi kemasyarakatan bernama "Jogjakarta Development Committee" atau Jogja DEC. Saat itu Jogja DEC dicurigai punya kemiripan dengan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
"Jogjakarta Development Committee bukan Gafatar ataupun Gafatar jilid dua, bukan teroris, akan tetapi didirikan dengan penuh welas asih untuk memanusiakan manusia," kata Toto yang saat itu menjadi Dewan Wali Amanat Panitia Pembangunan Dunia untuk Wilayah Nusantara.
Toto menyebut, Jogja DEC didirikan untuk membantu menjalankan misi kemanusiaan. Organisasi ini memiliki jaringan tingkat dunia yang didanai Lembaga Keuangan Tunggal dunia ESA Monetary Fund yang berpusat di Swiss.
Menurut Toto, DEC masuk Indonesia pada 2014 dan pertama menyosialisasikan gerakannya di Yogyakarta. Saat itu DEC berjanji memberikan dana antara USD 50-200 kepada anggotanya.
Dalam konferensi pers yang ia gelar di Ndalem Pujokusuman, Keparakan, Margangsan, Yogyakarta, Toto mengatakan pemilihan mata uang dolar Amerika adalah solusi agar perekonomian Indonesia dan dunia tak terpuruk, yang bisa menyebabkan potensi Perang Dunia III.
Ketika itu, Toto mengklaim telah memiliki pengikut sebanyak 10 ribu orang.
Toto membantah tak menarik biaya dari anggotanya, namun salah seorang anggota mengaku membayar Rp15 ribu untuk bisa bergabung.
Masyarakat juga mengaku, Jogja DEC mengajak warga Cangkringan Sleman menjadi anggota, dengan syarat membayar uang pendaftaran sebesar Rp 20 ribu, dan setelah menjadi anggota akan memperoleh gaji Rp 5 juta per bulan.
Untuk menjadi anggota, tidak ada ketentuan khusus, dan setiap anggota yang sudah mendaftar akan diberikan diklat. Kepada anggota yang sudah terdaftar akan diberikan Bantuan Langsung Kemanusiaan (BLK) sebesar USD 50-100 per bulan setiap orang dan asuransi jiwa sebesar USD 100.
Bagi mereka yang telah bergabung, akan mendapatkan Nomor Induk Kemanusiaan (NIK) yang disebutnya bersifat global dan terdaftar dalam pengkajian informasi terpadu seluruh Indonesia. Mereka juga bakal mendapat kartu identitas (ID Card). Jogja DEC juga menggunakan logo PBB dan menyebut sumber dananya berasal dari Swiss.
Namun, pertemuan yang diadakan Toto mendapat protes dari dari warga. Bahkan Acara tersebut juga tak diketahui RT/RW setempat.
Tentu saja ini cerita lama, jauh sebelum kerajaan Keraton Agung Sejagat dideklarasikan.