Pemerintah Didesak Usut Meninggalnya ABK WNI di Kapal China

Ketua Umum SPPI, Ilyas Pangestu menyatakan rangkaian kasus hilangnya nyawa ABK Indonesia di kapal Long Xing 605 dan Tian Yu 08 menjadi indikasi kuat adanya eksploitatif yang dialami oleh para ABK.

oleh Yopi Makdori diperbarui 08 Mei 2020, 10:14 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2020, 10:10 WIB
Cuplikan video yang memperlihatkan aksi para ABK lainnya yang dikabarkan membuang jasad ABK WNI ke laut di Korea Selatan.
Cuplikan video yang memperlihatkan aksi para ABK lainnya yang dikabarkan membuang jasad ABK WNI ke laut di Korea Selatan. (Screenshot Youtube MBC News)

Liputan6.com, Jakarta- Ketua Umum Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI), Ilyas Pangestu menyatakan rangkaian kasus hilangnya nyawa ABK Indonesia di kapal Long Xing 605 dan Tian Yu 08 menjadi indikasi kuat adanya eksploitatif yang dialami oleh para ABK.

"Kami menduga perusahaan pemilik kapal sangat lalai dalam memastikan kondisi kerja yang aman, sehat dan manusiawi di setiap kapalnya," ungkap Ilyas melalui keterangan tertulisnya, Kamis (7/5/2020).

Ilyas mengaku prihatin bahwa kasus ini bukan kali pertama terjadi. Dia pun mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia dan China dalam mnyelesaikan kasus ini.

Hal yang sama juga diutarakan Hariyanto Suwarno, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), menurut dia masih amburadulnya kebijakan dan pengawasan tata kelola perekrutan ABK perikanan hingga saat ini, menyebabkan setiap WNI yang ditempatkan dan bekerja di atas kapal ikan asing sangat rentan dieksploitasi. Bahkan sering menjadi korban dari tindak pidana perdagangan orang.

"Belum adanya aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah hingga saat ini terkait dengan tata laksana perekrutan dan penempatan ABK sebagai turunan dari UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, semakin menambah kerentanan dan berlanjutnya eksploitasi terhadap ABK Indonesia," ujar Hariyanto melalui keterangan yang sama.

Ia beranggapan bahwa ketidakjelasan aturan di dalam negeri juga akan melemahkan posisi dan diplomasi Indonesia di tingkat internasional. Apalagi jika sejumlah instrumen internasional kunci seperti Konvensi ILO 188 belum diratifikasi.

Sementara itu, Nurrohman, aktivis dari Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI), menambahkan bahwa Pemerintah Indonesia perlu turut memastikan hak-hak ABK Indonesia dan keluarganya yang menjadi korban eksploitasi harus segera dipenuhi.

"Pemerintah harus memastikan perannya tidak hanya berhenti sampai pada proses pemulangan, tetapi juga hingga seluruh hak-hak ABK dan keluarganya seperti gaji dan santunan asuransi terpenuhi," desak Nurrahman.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara, Arifsyah Nasution, mengatakan sudah sepatutnya diplomasi dan investigasi proaktif secara internasional dilakukan terhadap kasus yang menimpa 18 ABK Indonesia ini serta kasus-kasus lainnya yang menimpa ABK Indonesia agar peristiwa serupa di masa mendatang tidak berulang.

"Pemerintah Indonesia harus mendesak negara bendera kapal, dalam hal ini China, untuk turut bertanggung jawab mengungkap rangkaian dugaan praktik perikanan ilegal dan bentuk-bentuk perbudakan modern yang selama ini sering dialami oleh ABK Indonesia dan juga kerap melibatkan kapal-kapal ikan berbendera China," tegas Arifsyah.

Berdasarkan keprihatinan bersama yang mendalam atas kejadian tragis yang dialami oleh 18 ABK Indonesia tersebut, SPPI, SBMI, PPI serta Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah Indonesia untuk segera memastikan pemenuhan hak-hak 18 ABK Indonesia dan keluarganya.

"Segera proaktif untuk mengusut tuntas penyebab hilangnya nyawa 4 ABK Indonesia yang diduga mengalami perlakukan dan kondisi kerja buruk di sejumlah kapal berbendera China milik perusahaan Dalian Ocean Fishing Co., Ltd yang juga diduga melakukan kegiatan perikanan ilegal dan bentuk-bentuk praktik kerja paksa dan perbudakan modern di laut," tegas Ilyas.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Segera Dipulangkan

Kemudian pihaknya juga mendesak agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan menuntaskan ego sektoral lintas kementerian/lembaga yang menyebabkan penetapan aturan pelaksana terkait perekrutan dan penempatan ABK hingga saat ini mengalami keterlambatan.

"Kami juga menyampaikan terima kasih atas dukungan berbagai pihak sehingga kasus-kasus yang dialami oleh ABK Indonesia ini menjadi perhatian dunia dan keprihatinan bersama komunitas internasional. Kami berharap semua pihak fokus terhadap upaya pengungkapan fakta dan penyelesaian kasus. Kami sangat menghimbau tidak ada pihak-pihak yang malah mengambil keuntungan dari kasus ini dengan menggesernya menjadi isu politik praktis dan SARA," tandasnya.

Sebelumnya diketahui, kisah tragis hilangnya nyawa Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia dialami oleh 4 orang dari 18 orang ABK yang bekerja dan sempat dipindah-pindahkan lintas kapal antara lain: Long Xing 629, Long Xing 802, Long Xing 605 dan Tian Yu 08. Empat kapal yang saling terkait itu berbendera China milik perusahaan Dalian Ocean Fishing Co., Ltd.. Perlakuan dan kondisi kerja buruk di atas kapal diduga menjadi penyebab utama.

Keempat ABK yang meninggal dilaporkan sebelumnya mengalami sakit kritis. Tiga ABK Indonesia, yang meninggal secara berturut-turut dan jasad ketiganya telah dilarung di laut, berinisial MA, S dan A. Rangkaian kematian tiga ABK yang dilarung tersebut diperkirakan terjadi dalam periode September 2019 sampai Februari 2020.

Adapun 1 ABK terakhir lainnya dengan inisial EP meninggal pada April 2020, setelah tiba dan sedang menjalani masa karantina di salah satu hotel di Busan, Korea Selatan. Sementara 14 ABK Indonesia lainnya yang masih berada di Busan, akan segera dipulangkan ke Indonesia pada Jumat, 8 Mei 2020 ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya