KPK Sebut Jokowi Tak Respons Surat Rekomendasi Terkait BPJS Kesehatan

Dalam surat itu juga KPK menyinggung soal putusan Mahkamah Agung (MA) dengan perkara nomor 7 P/HUM/2020.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 14 Mei 2020, 12:19 WIB
Diterbitkan 14 Mei 2020, 12:15 WIB
Iuran BPJS Kesehatan Naik
Suasana pelayanan BPJS Kesehatan di Jakarta, Rabu (28/8/2019). Sedangkan, peserta kelas mandiri III dinaikkan dari iuran awal sebesar Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per bulan. Hal itu dilakukan agar BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit hingga 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi ([KPK](Dalam surat itu juga KPK menyinggung soal putusan Mahkamah Agung (MA) dengan perkara nomor 7 P/HUM/2020. "")) menyatakan, Presiden Joko Widodo alias Jokowi tak merespons surat rekomendasi yang diberikan KPK untuk mengatasi defisit dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, surat rekomendasi tersebut diserahkan kepada Jokowi pada 30 Maret 2020 atau sebelum adanya keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Namun, menurut Pahala, hingga kini Jokowi tak menanggapi rekomendasi tersebut.

"KPK sudah kirim surat rekomendasi untuk mengatasi defisit BPJS kesehatan, tanpa menaikan iuran. Tapi enggak ditanggapi itu surat," ujar Pahala saat dikonfirmasi, Kamis (14/5/2020).

Dalam surat tersebut, KPK menyatakan telah menyelesaikan kajian tentang defisit pendanaan BPJS Kesehatan. Kajian dilakukan sebagai rangkaian terhadap program jaminan kesehatan nasional (JKN) yang sudah dilakukan KPK sejak 2014.

Dalam surat itu juga KPK menyinggung soal putusan Mahkamah Agung (MA) dengan perkara nomor 7 P/HUM/2020.

Dalam surat tersebut, setidaknya ada enam rekomendasi yang diberikan KPK kepada Jokowi agar tak menaikan iuran BPJS Kesehatan. Salah satunya yakni dengan menertibkan kelas di Rumah Sakit.

Pada 2018, KPK, Kemenkes dan BPJS kesehatan mengunjungi enam rumah sakit, dimana empat rumah sakit mengajukan klaim ke BPJS dengan kelas yang tidak sesuai dengan standar Kemenkes.

RS tersebut seharusnya mengajukan klaim dengan kelas yang lebih rendah. Over-payment dari klaim empat rumah sakit ini bernilai Rp 33 miliar pertahun, atau 8,25 miliar tiap rumah sakit dalam setahun.

Kemenkes telah review terkait kelas rumah sakit se-lndonesia dan klaim ke BPJS. Didapati 898 rumah sakit tidak sesuai kelas yang sudah ditetapkan oleh dinas kesehatan.

Penertiban ini akan berdampak pada berkurangnya over-payment sekitar Rp 6 triliun setiap tahun secara signifikan karena klaim rumah sakit berdasarkan kelas.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Iuran Naik

Diberitakan sebelumnya, Presiden Jokowi menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Perpres itu diteken Jokowi pada 5 Mei 2020. Kenaikan iuran ini berlaku bagi peserta mandiri Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).

Berikut rincian kenaikan iuran BPJS Kesehatanpeserta mandiri yang diatur dalam Pasal 34:

1. Iuran bagi peserta mandiri Kelas II naik menjadi Rp 100 ribu per orang per bulan2. Iuran peserta mandiri Kelas I yaitu, sebesar Rp 150 ribu per orang per bulan.3. Iuran bagi peserta Kelas III untuk tahun 2020 sebesar Rp 42.000 per orang per bulan. Adapun Rp 16.500 dibayarkan oleh pemerintah sehingga peserta BPJS kelas III hanya membayar Rp 25.500 per bulannya.

Namun, iuran peserta kelas III BPJS Kesehatan, baru naik menjadi Rp 42.000 per orang per bulan pada 2021. Dengan rincian, Rp 7.000 subsidi pemerintah sementara sisanya dibayarkan oleh peserta BPJS kelas III.

Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS kesehatan pada Maret 2020. MA mengembalikan iuran BPJS Kesehatan ke tarif awal yakni, kelas Rp 80 ribu, kelas II Rp 51 ribu, dan kelas III Rp 25.500.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya