Ikatan Guru Indonesia Minta Tahun Ajaran Baru Digeser ke Januari 2020

Menggeser tahun ajaran baru menghindarkan siswa dan orang tua dari stres berkepanjangan. Jika tatap muka dipaksakan, orang tua akan stres.

oleh Yopi Makdori diperbarui 29 Mei 2020, 18:07 WIB
Diterbitkan 29 Mei 2020, 18:07 WIB
Persentase Sistem Zonasi Minimal 50 Persen di Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun 2020/2021
Ilustrasi siswa-siswi sekolah mengikuti upacara bendera.

Liputan6.com, Jakarta - Simpang siur tahun ajaran baru akan dimulai pada Juli mendatang telah dibantah oleh Mendikbud Nadiem Makarim. Ikatan Guru Indonesia (IGI) meminta agar Kemendikbud menggeser tahun ajaran baru pada Januari 2021.

“Dalam kondisi ketidakpastian ini, tak banyak yang bisa dilakukan karena terjadi ketidakpastian dalam perencanaan dan kinerja dunia pendidikan kita. Ketidakpastian inilah yang memicu IGI menuntut Kemendikbud agar memberikan kepastian agar tahun ajaran baru digeser ke bulan Januari,” kata Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli Rahim melalui keterangan tulis, Jumat (29/5/2020).

Ramli beralasan ada beberapa pertimbangan penundaan tahun ajaran baru ini hingga Januari mendatang. Pertama, guna memberikan kepastian tahun ajaran baru bergeser ke Januari akan membuat dunia pendidikan memiliki langkah-angkah yang jelas terutama terkait minimnya jumlah guru yang memiliki kemampuan tinggi dalam menjalankan pembelajaran jarak jauh atau PJJ Online.

“Data Kemendikbud yang disampaikan oleh Plt. Dirjen Dikdasmen menunjukkan lebih dari 60 persen guru bermasalah dalam PJJ karena ketidakmampuan guru dalam penguasaan teknologi. Jika penguasaan teknologi saja lebih dari 60 persen bermasalah maka bagaimana kita bisa berharap guru menghadirkan PJJ yang menyenangkan dan berkualitas?” tanya Ramli.

Dalam hal ini, kata Ramli Kemendikbud harus membuka mata bahwa realitas pembelajaran jarak jauh kita masih bermasalah.

“Dan inilah yang selama ini dikerjakan kawan-kawan IGI yang justru tak kami lihat adanya upaya Kemendikbud menuntaskan masalah rendahnya kemampuan guru melaksanakan PJJ. Dan karena itu IGI siap mengambil tanggung jawab itu dengan syarat Kemendikbud memberikan tanggung jawab itu secara resmi ke IGI,” tegas dia.

Menurutnya, dengan menggeser tahun ajaran baru, Kemendikbud juga bisa fokus meningkatkan kompetensi guru selama enam bulan agar di bulan Januari sudah bisa menyelenggarakan PJJ berkualitas dan menyenangkan jika ternyata Covid-19 belum tuntas.

Kedua, menggeser tahun ajaran baru menghindarkan siswa dan orang tua dari stres berkepanjangan. Jika tatap muka dipaksakan, orang tua akan stres.

"Mengapa, anaknya tak ke sekolah takut dihukum oleh sekolah, jika anaknya ke sekolah, takut tertular virus maka sepanjang hari orang tua akan stres memikirkan anak mereka. Jika tatap muka belum dijalankan lalu dilakukan PJJ maka kasusnya sama dengan poin pertama siswa akan stres karena lebih dari 60 persen guru masih terkendala penguasaan teknologi digital yang minim,” terang dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Menghindari Covid-19

Sementara itu alasan lainnya ialah dengan menggeser tahun ajaran ke Januari dapat menghindarkan siswa dari penularan Covid-19.

"Data IDAI menunjukkan anak didik tak kebal virus dan juga tetap rentan tertular virus bahkan berpotensi meninggal. Jika pun protokol kesehatan dijalankan sekolah, sebesar apa kemampuan sekolah mengontrol siswa ketika sudah berada di luar ruang kelas?" tegasnya.

Terlebih lagi, kata Ramli tugas itu akan diserahkan oleh negara kepada guru-guru yang berstatus non PNS yang dibayar murah oleh negara. Bagaimanapun, saat ini lebih dari 60 persen guru berstatus non PNS dan mayoritas dibayar murah oleh negara dengan status dan masa depan yang kabur.

Semetara jika protokol kesehatan dijalankan maka sebagian siswa akan masuk sekolah dan sebagian lagi tak masuk sekolah, bahkan kata Ramli mungkin dalam seminggu siswa hanya mendapatkan layanan tatap muka beberapa jam saja.

"Ini jelas kerugian besar bagi anak didik. Belajar satu semester tapi realitasnya hanya belajar beberapa jam saja,' kata dia.

Alasan lainnya, menurut Ramli, RRI dan TVRI tak mampu menggantikan guru, dengan tetap mengandalkan RRI dan TVRI berarti memaksa siswa menjalani satu semester belajar dalam kerugian yang nyata.

Portal layanan pendidikan, kata Ramli juga dinilai tak mampu menggantikan guru. Portal layanan pendidikan baik yang berbayar punya swasta ataupun yang gratis punya Kemendikbud faktanya tak mampu menggantikan guru karena nilai-nilai pendidikan tak terlayani dengan baik, yang ada hanya mengambil sedikit bagian dari layanan pengajaran.

"Portal-Portal pendidikan ini hanya disiapkan untuk menghadapi ujian atau seleksi tertentu, bukan memenuhi capaian kurikulum. Jika disebut darurat, bolehlah digunakan selama tiga bulan awal Covid-19 tapi jika terus dilakukan ini justru bentuk lepas tanggungjawab Kemendikbud terhadap guru dan siswa dan kemudian sangat layak jika tagline 'Indonesia Terserah' layak disematkan ke Kemendikbud," tegasnya kembali.

Ramli juga mamandang menggeser tahun ajaran menjadikan tahun anggaran selaras dengan tahun ajaran. Kata dia, fakta lapangan menunjukkan berbedanya tahun anggaran dan tahun ajaran mengakibatkan beberapa kepala sekolah harus berutang kemana-mana agar bisa menyelenggarakan Ujian Nasional karena dana Bos belum cair.

"Meskipun tahun ini sudah mulai diperbaiki tetapi akan jauh lebih baik jika tahun anggaran dan ajaran disemarakkan seperti bidang-bidang lain diluar pendidikan," kata Ramli.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya