Liputan6.com, Jakarta Sosok polisi jujur, Jenderal Hoegeng, yang namanya kerap disebut oleh Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada salah satu guyonannya menjadi berita terpopuler di Top 3 News hari ini, Sabtu (20/7/2020).
Siapa Hoegeng Iman Santoso atau Hoegeng? Dia adalah perwira polisi, kelahiran Pekalongan yang pernah menjabat sebagai Kepala Direktorat Reserse Kriminal pada Kantor Polisi Sumut (sekarang Polda Sumut). Hoegeng juga menggemparkan Kota Medan lantaran berani menolak pemberian cukong Medan.
Advertisement
Dia bahkan pernah menangkap dan menahan perwira Polda Sumut yang ikut terlibat dalam kasus penyelundupan dan perjudian yang dilakukan pengusaha "Cina Medan".
Advertisement
Saat ini, nama Hoegeng kembali hangat dibicarakan. Berawal saat seorang warga Maluku Utara mengunggah guyonan Gus Dur terkait tiga polisi jujur di media sosial.
"Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng" (Gus Dur)".
Guyonan tersebut membuat personel Polres Kepulauan Sula, Maluku Utara tersinggung. Mereka bahhkan memanggil Ismail Ahmad dan menanyakan apa tujuannya memposting kalimat tersebut.
Belakangan hal ini berujung pada teguran dari Mabes Polri kepada personel kepolisian tersebut.
Bahkan Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa meminta Kapolri Jenderal Idham Azis menyampaikan permohonan maaf atas peristiwa ini.
Â
Berikut deretan berita terpopuler di kanal News Liputan6.com, sepanjang Jumat, 19 Juni 2020:
Saksikan video pilihan di bawah ini:
1. Siapa Jenderal Hoegeng dalam Kelakar Gus Dur? Ini Cerita Sosok Polisi Jujur
Di awal 1956, seorang pria tinggi kurus bersama istrinya tiba di Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatra Utara. Perintah dari atasan membuatnya harus meninggalkan Tanah Jawa dan menjejakkan kaki di kota yang dia tak kenal sama sekali.
Ada sedikit kegamangan ketika dia harus mengemban jabatan baru sebagai Kepala Direktorat Reserse Kriminal pada Kantor Polisi Sumut (sekarang Polda Sumut). Betapa tidak, sebelum berangkat, atasan dan sejumlah koleganya sudah mewanti-wanti.
Banyak sudah perwira polisi yang bertekuk lutut karena berutang budi pada pengusaha kakap yang umumnya dikuasai oleh etnis Tionghoa.
Dan, pria kurus ini tak perlu menunggu lama untuk membuktikannya. Saat akan memasuki rumah dinas dengan membawa perlengkapan seadanya, perabotan mewah ternyata sudah memenuhi rumah itu. Mulai dari kulkas, tape recorder, piano dan kursi tamu.
Anak buahnya yang diminta untuk menyingkirkan semua barang itu mengaku tak berani. Alhasil, perwira polisi ini mengeluarkan sendiri semua perabot tersebut dan meletakkannya di pinggir jalan.
Kabar ini langsung menggemparkan Kota Medan. Dari kondisi sosial ketika itu, adalah sesuatu yang aneh ketika seorang perwira polisi dari Jakarta berani menolak pemberian cukong Medan.
Â
Advertisement
2. Soal Kasus Guyonan Gus Dur, Kapolri Disarankan Sampaikan Permohonan Maaf
Peristiwa penangkapan seorang warga oleh Polres Kepulauan Sula karena mengunggah guyonan Presiden RI ke-14 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur terkait tiga polisi jujur, berujung teguran dari Mabes Polri kepada personel kepolisian tersebut.
Namun menurut Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa, tidak cukup Polri memberikan teguran kepada anggotanya. Seharusnya sebagai institusi, Polri meminta maaf atas perilaku anggotanya yang dianggap kelewatan.
Bahkan, lebih baik lagi jika Kapolri Jenderal Idham Azis menyampaikan permohonan maaf atas peristiwa ini.
Desmond menilai peristiwa ini menunjukkan secara mental kepolisian tidak menjalankan tupoksinya dengan benar. Wajah kepolisian yang mengarah ke militer di tingkatan bawah itu, mencerminkan lapis atas kepolisian pula.
Â
3. Kasus Novel Baswedan, Busyro Muqoddas: Polri yang Proses dan Sediakan Pengacara
Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menyesalkan sikap Presiden Joko Widodo yang tak mengikuti saran masyarakat terkait pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) independen dalam menangani kasus penyerangan air keras terhadap penyidik KPKÂ Novel Baswedan.
Busyro menyatakan, TGPF independen terdiri dari berbagai unsur, yakni Polri, KPK, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan masyarakat sipil.
Lantaran tak ada pembentukan TGPF independen, Busyro menilai penegakan hukum dalam kasus Novel Baswedan jadi terbengkalai. Sebab, Presiden menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus teror ini kepada Polri.
Lantaran hal tersebut, Busyro mengatakan terdapat banyak kejanggalan dalam proses peradilan kasus Novel.
Â
Advertisement