Kemenkes: Menekan Angka Stunting Perlu Komunikasi Lintas Sektor

Pelayanan dari pemerintah untuk menangani stunting masih terus berjalan di tengah pandemi Covid-19, meski dengan beberapa ketentuan.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Jun 2020, 21:45 WIB
Diterbitkan 29 Jun 2020, 14:54 WIB
Stunting, Kerdil, Kurang Gizi, Ikatan Dokter Indonesia, Daeng M Faqih
Kenali ciri anak bakal tumbuh menjadi anak yang stunting (Foto: Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo menargetkan penurunan stunting di angka 14% di tahun 2024. Namun demikian, target tersebut terganjal pandemi Covid-19 yang berdampak hampir di semua lini kehidupan.

Pun demikian, pandemi tak membuat pemerintah abai akan target penurunan stunting ini. Berbagai upaya pun dilakukan untuk menggapai target tersebut.

Dirjen Gizi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Dr Dhian Dipo menjelaskan, pandemi Covid-19 adalah hal yang seharusnya membuat masyarakat kita belajar menerapkan kebiasaan hidup bersih. Namun, secara keseluruhan pandemi juga tidak boleh membuat pemerintah abai akan target penurunan stunting.

Karena itu, pelayanan dari pemerintah untuk menangani stunting masih terus berjalan meski dengan beberapa ketentuan. Seperti intervensi di kegiatan Posyandu contohnya.

"Pada masa PSBB Posyandu dijalankan di beberapa daerah sesuai kebijakan daerahnya. Kalau daerah yang memang menetapkan zona-zona merah maka pemantauan pertumbuhan dilakukan di rumah yang artinya bukan menimbang anaknya tapi memantau pertumbuhannya. Kemudian ada beberapa daerah yang memang tidak termasuk zona merah, mereka tetap melakukan kegiatannya," jelas Dhian.

"Kegiatan posyandunya dengan cara penjadwalan jadi mengundang ibu balita untuk ke Posyandu tapi tidak bersamaan. Kita juga sudah membuat bermacam media edukasi bagaimana untuk pergi ke Posyandu," imbuh Dhian.

Ia menambahkan, meski terjadi pandemi, target penurunan stunting sebesar di angka 14% di tahun 2024 hingga kini masih tidak berubah.

"Yang strategi nasionalnya sudah ditetapkan 2018 sampai 2024 yang mengedepankan 5 pilar. Yaitu komitmen dan visi kepemimpinan, kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku, konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi pusat, daerah, dan desa," papar Dhian.

"Terus yang ke-4 ketahanan pangan dan gizi dan yang ke-5 adalah pemantauan dan evaluasi. Sampai dengan saat ini dari 5 pilar ini kemudian kita terjemahkan nih bagaimana supaya kita bisa mencapai target yang seperti itu," tambah dia.

Namun Dhian menegaskan, hal penting dalam menangani stunting salah satunya adalah pemahaman masayarakat terhadap kesehatan dirinya sendiri. Untuk itu perlu adanya penguatan edukasi diberbagai tingkat.

Lalu hal berikutnya yang perlu dilakukan adalah penguatan intervensi seperti pemberian tablet penambah darah kepada ibu hamil untuk mencegah anaknya terlahir dalam kondisi stunting. Dan kemudian penguatan kapasitas.

"Yang berikutnya adalah penguatan SDM-nya sendiri. SDM itu siapa? Baik itu kader, kelompok masyarakat, tenaga kesehatan itu harus kita kuatkan agar bisa menjadi agent of change istilahnya. Jadi intinya 3 hal itu. Pertama adalah edukasi, kedua penguatan intervensi, penguatan kualitas intervensi tadi atau intervensi spesifik, yang ketiga adalah penguatan kapasitas, baik tenaga kesehatan maupun kelompok masyarakat yang ada," terangnya.

Selain itu, untuk mengatasi masalah stunting juga dibutuhkan kerja sama lintas sektoral. Ia menambahkan, sebagai contoh di pedesaan, untuk pelaksanaannya pemerintah sudah memiliki anggaran dari Kementerian Desa yaitu Dana Desa untuk penanganan stunting.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Intervensi Spesifik dan Sensitif

Dhian menjelaskan, Kemenkes mempunyai strategi intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Intervensi spesifik contohnya seperti konseling pemberian makan bayi dan anak.

Kemudian pemberian tablet tambah darah kepada ibu hamil, memberikan kapsul vitamin A kepada balita untuk meningkatkan daya tahan tubuh, melakukan kegiatan pemantauan pertumbuhan, pemberian makanan tambahan untuk balita dan ibu hamil. Intervensi spesifik ini sendiri menjadi tanggung jawab Kemenkes.

"Sementara itu, intervensi sensitif dilakukan oleh kementerian lain yang terkait. Misalnya, dana desa dari Kementerian Desa, regulasi dari Kementerian Dalam Negeri. Setelah itu dibedah baru akan kelihatan apa permasalahannya, makanan yang tidak sehatkah? sumber air bersihkah? Sehingga kemudian terjadilah komunikasi antara tenaga kesehatan, kader dan desa untuk kemudian merencanakan kegiatan apa yang bisa dilakukan sesuai dengan permasalahan di desa (pemberdayaan masyarakat)," Dhian memungkasi.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya