Pemerintah Diminta Menata Perizinan Lahan Sawit di Kawasan Hutan

Di balik potensi besar kelapa sawit Indonesia, masih banyak persoalan kompleks yang sampai saat ini menjadi momok dalam pengelolaan sawit.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Jul 2020, 22:08 WIB
Diterbitkan 21 Jul 2020, 21:09 WIB
Sawit
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan provinsi itu per tahun 2019, kabupaten dengan Hak Guna Usaha (HGU) kebun kelapa sawit terluas di Aceh, yakni 71,661.53 hektare. (Liputan6.com/ Rino Abonita)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta melakukan pembenahan tata kelola perizinan perkebunan sawit. Tujuannya, untuk mencegah konflik lahan dan menghindarkan pertentangan kewenangan dan tumpang tindih kebijakan yang merugikan para petani perkebunan sawit.

Direktur HICON Law & Policy Strategies, Hifdzil Alim menjelaskan, data tahun 2019 menyebutkan, produksi kelapa sawit Indonesia mencapai 44,05 juta ton. Dengan nilai ekspor yang mencapai USD 19 miliar, menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia.

Diterbitkannya Permen ESDM Nomor 32/2008 yang kemudian diperbarui dengan nomor 12/2015 dan Nomor 41/2018 yang menjadikan sawit sebagai salah satu komponen penting dalam pengambangan biodiesel (B30), semakin membuat sawit menjadi komoditas yang sangat vital.

Di balik potensi besar kelapa sawit Indonesia, Hifdzil menilai, masih banyak persoalan kompleks yang sampai saat ini menjadi momok dalam pengelolaan sawit, salah satunya luasan lahan sawit yang berada dalam kawasan hutan.

Hifdzil mengulas total data pekebunan sawit yang berada dalam kawasan hutan seluas 3,4 juta hektare. Rinciannya, 115 ribu hektare berada di dalam kawasan suaka alam. 174 Ribu hektare di dalam kawasan hutan lindung, 454 ribu hektare di kawasan hutan produksi terbatas.

Selanjutnya, menurut data yang dia miliki, ada 1,4 juta hektare di kawasan hutan produksi, dan 1,2 juta hektare berada di kawasan hutan produksi konversi.

"Keberadaan sawit dalam kawasan hutan menghadirkan berbagai persoalan dengan sebab-sebab yang beragam. Misalnya, tumpang tindih perizinan dan batas hutan dengan kawasan di sekitarnya yang belum jelas. Selain itu, banyak konflik lahan yang terjadi dalam kawasan hutan yang bersifat laten dan terus-menerus muncul di permukaan," kata Hifdzil Alim, Selasa (21/7).

Eks Wakil Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) ini kemudian mengulas data Kehutanan UGM. Data itu menyebutkan, dari 2,8 juta hektare perkebunan sawit dalam kawasan hutan, 35 persen lahan dikuasai oleh masyarakat, sedangkan 65 persen dikuasai oleh pengusaha.

Sedangkan data yang ada di Direktorat Jenderal Perkebunan menyebutkan, 2,5 juta hektare lahan sawit berada dalam kawasan hutan.

"800 Ribu hektare kebun dikuasai oleh perusahaan dan 1,7 juta hektare dikuasai oleh masyarakat. Intinya, sawit dalam kawasan hutan memang benar adanya," jelas Hifdzil.

Menyoroti pengelolaan sawit tak bisa dilepaskan dari fakta bahwa konflik agraria masih menghantui pengelolaan lahan sawit di berbagai lokasi di Indonesia. Setidaknya, kata Hifdzil, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, selama tahun 2018 ada 410 konflik agraria. Konflik yang sering terjadi adalah benturan antara masyarakat dan perusahaan.

Hifdzil menjelaskan, terjadinya konflik lahan sawit akan berdampak pada persepsi pasar Internasional. Pada Maret 2019 lalu misalnya, Uni Eropa mengeluarkan kebijakan produk minyak sawit mentah (CPO) dari Indonesia dikeluarkan dari sumber energi terbarukan.

"Uni Eropa mengadopsi Delegated Act dan menganggap produk sawit Indonesia berasal dari kegiatan deforestasi kawasan hutan, pelanggaran HAM, serta pengrusakan lingkungan lain. Keputusan tersebut tentu berdampak pada serapan hasil sawit Indonesia, mengingat sawit merupakan komoditas ekspor terbesar Indonesia dari sektor perkebunan," demikian ulasan Dosen Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga ini.

Merespons problematika pengelolan sawit itu, Hifdzil mendesak pemerintah segera mengimplementasikan regulasi yang dapat menyeimbangkan antara hak sosial budaya, ekonomi, lingkungan. Mengingat, saat ini ada 2,74 juta kepala keluarga menggantungkan mata pencahariannya dari sektor perkebunan sawit.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Pentingnya Regulasi

Salah satu isu krusial dalam pengelolaan sawit ialah kesenjangan produksi yang dikelola petani (3,1 ton per hektar/tahun), sawit dikelola negara (3,8 ton/hektar per tahun) dan juga swasta (3,9 ton per hektar per tahun).

"Perbandingkan itu bukti bahwa rakyat petani kelapa sawit tidak hanya menghadapi permasalahan sengketa lahan, tetapi juga legalitas usaha, serta produktivitas sawit cukup rendah. Belum lagi ketika hasil sawit berupa Tandan Buah Segar (TBS) dijual di pasaran, petani tidak memiliki kemampuan untuk menentukan harga. Kondisi diperparah dengan program subsidi biodiesel yang hanya menguntungkan pengusaha. Rakyat petani kelapa sawit semakin terjepit," demikian kondisi lapangan yang dihimpun Hifdzil.

Dalam mengelola perkebunan sawit di Indonesia, Hifdzil menjadikan perangkat regulasi yang ada sebagai instrumen hukum dan kebijakan menyelesaikan masalah lahan sawit dalam kawasan hutan.

Dalam catatan HICON, beberapa perangkat regulasi itu di antaranya, Perpres No. 88/2017 tentang Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan; (ii) Inpres No. 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit; (ii) Inpres No. 6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024; dan (iv) Perpres 44/2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan.

Perangkat regulasi inilah, tambah Hifdzil, dapat diimplementasikan untuk menyelesaikan masalah lahan sawit yang berada dalam kawasan hutan. Tujuannya, melindungi kepentingan rakyat yang berprofesi sebagai petani kelapa sawit.

"Mengingat pada tataran implementasi terdapat beberapa catatan, seperti, pertama, mekanisme penyelesaian sawit dalam kawasan hutan yang diatur oleh Perpres No. 88/2017 kurang menyeimbangkan antara hak sosial budaya, ekonomi, lingkungan. Kedua, Inpres No. 8/2018 masih berkutat pada tataran koordinasi dan kurangnya concern pemerintah daerah untuk menjalankan amanah Inpres tersebut. Ketiga, Inpres No. 6/2019 serta Perpres 44/2020 yang masih terkendala legalitas lahan," pungkas Hifdzil.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya