Liputan6.com, Jakarta - Pelarian Djoko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra berakhir. Petualangan buron kasus korupsi hak tagih piutang atau cessie Bank Bali itu berakhir di tangan Polri setelah diburu selama 11 tahun.
Di malam takbiran Hari Raya Idul Adha 1441 Hijriah atau Kamis 30 Juli 2020), buron yang saat ini paling disorot publik itu diseret dari Kuala Lumpur, Malaysia ke Tanah Air dan tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur sekitar pukul 22.48 WIB.
Baca Juga
Kapolri Jenderal Idham Azis menceritakan proses penangkapan Djoko Tjandra. Menurut dia, dua pekan lalu Presiden Joko Widodo atau Jokowi memerintahkannya mencari sekaligus menangkap Djoko Tjandra. Dia lalu membuat tim memburu Djoko Tjandra.
Advertisement
"Perintah itu kemudian kami laksanakan. Kita bentuk tim kecil karena infonya yang bersangkutan berada di Malaysia," kata Idham, Jumat 31 Juli 2020.
Setelah tim terbentuk, pihaknya langsung mengirimkan surat kepada kepolisian Malaysia. Surat tersebut berisi permintaan kerja sama police to police untuk menangkap Djoko Tjandra yang terdeteksi di Kuala Lumpur.
Proses kerja sama tim membuah hasil hingga akhirnya keberadaan Djoko Tjandra diketahui. Kemudian pada Kamis 30 Juli 2020, Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo berangkat ke Malaysia untuk memimpin proses penangkapan. Turut mendampingi Kadiv Propam Polri Irjen Sigit.
"Djoko Tjandra ini memang licik dan sangat pandai. Dia kerap berpindah-pindah tempat. Tapi, alhamdulillah berkat kesabaran dan kerja keras tim, Djoko Tjandra berhasil diamankan," kata mantan Kapolda Metro Jaya ini.
Menurut Idham, penangkapan Djoko Tjandra merupakan komitmen Polri untuk menjawab keraguan publik bahwa Polri bisa menangkap yang bersangkutan. Dia mengatakan proses hukum Djoko Tjandra terbuka dan transparan. Idham memastikan, siapapun yang terlibat dalam pelarian Djoko akan dijerat proses hukum.
"Sekali lagi ini bentuk komitmen kami. Kami akan transparan, objektif, untuk usut tuntas apa yang terjadi," kata Idham.
Idham mengatakan, Djoko Tjandra akan menjalani proses hukum di kepolisian. Meski Djoko dieksekusi untuk menjalani hukumannya sesuai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Oleh sebab itu pihaknya akan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.
"Proses untuk Djoko Tjandra sendiri, tentunya ada proses di Kejaksaan yang tentunya akan ditindaklanjuti. Kami juga akan berkoodinasi dengan KPK," kata Idham.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Penahanan Djoko Tjandra untuk usut pidana lain
Penahanan Djoko Tjandra diserahkan kepada Kejaksaan Agung oleh Bareskrim Polri. Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit menyerahkan langsung penahanan Djoko Tjandra kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Ali Mukartono.
Meski penahanan Djoko Tjandra berada di bawah kewenangan Kejagung, Djoko tetap mendekam di Rutan cabang Salemba di Mabes Polri.
Komjen Listyo Sigit mengatakan, Djoko Tjandra sengaja ditahan di Rutan cabang Salemba di Mabes Polri untuk memudahkan Polri mengusut dugaan tindak pidana lain yang dilakukan Djoko Tjandra.
"Saat ini yang bersangkutan dititipkan di Rutan cabang Salemba di Mabes Polri. Ini tentunya memudahkan bagi Bareskrim Polri untuk melanjutkan penyelidikan dan pemeriksaa lebih lanjut terhadap saudara Djoko Tjandra," kata Listyo.
Listyo mengatakan, penahanan Djoko Tjandra di Rutan Mabes Polri lantaran pihaknya akan mengusut dugaan surat jalan dan kemungkinan adanya tindak pidana suap dalam skandal Djoko Tjandra ini.
"Yang bersangkutan ditahan di Rutan Mabes Polri, memudahkan kita mengusut kasus surat jalan, rekomendasi, dan kemungkinan aliran dana," ujar Listyo.
Listyo mengatakan, penahanan di Rutan Mabes Polri hanya sementara. Setelah rampung pemeriksaan terkait tindak pidana lain, Listyo mengaku akan menyerahkan kembali penahanan Djoko Tjandra kepada Kepala Rutan Salemba.
"Penempatan di sini sifatnya sementara setelah pemeriksaan kita selesai, akan kami serahkan kembali ke Rutan Salemba untuk ditempatkan yang tentunya akan disesuaikan dengan kebijakan dari Karutan Salemba," kata Listyo.
Penahanan Djoko Tjandra sengaja dipisah dengan Brigjen Prasetijo Utomo. Brigjen Prasetijo merupakan tersangka kasus penerbitan surat jalan untuk Djoko Tjandra
"Terkait dengan penempatan, tentunya kita akan memisahkan," ujar Listyo, Jumat (31/7/2020).
Listyo mengatakan, pemisahan penahanan dilakukan demi kepentingan penyidikan yang dilakukan pihaknya. Menurut Listyo, kemungkinan keduanya akan ditelisik hal yang sama oleh penyidik Polri.
"Karena memang antara BJPPU (Brigjen Prasetijo) dengan Djoko Tjandra tentunya kami masing-masing memiliki kepentingan bagi kami untuk melakukan pendalaman. Sehingga tentunya tidak mungkin kami jadikan satu," kata Listyo.
Diketahui, Polri juga menahan Brigjen Prasetijo Utomo, tersangka pembuat surat jalan palsu buron kasus korupsi BLBI terkait hak tagih Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra. Penahanan dilakukan mulai Jumat 31 Juli 2020.
"Iya (dilakukan penahanan) per Jumat, 31 Juli 2020," ujar Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Awi Setiyono, Jumat (31/7/2020).
Brigjen Prasetijo salah satu pihak yang dijerat dan diduga terlibat dalam skandal Djoko Tjandra. Selain Brigjen Prasetijo, Polri juga menjerat Anita Kolopaking, kuasa hukum Djoko Tjandra. Anita dijerat terkait surat jalan Djoko Tjandra.
Sebelum ditahan, Brigjen Prasetijo lebih dahulu dicopot dari institusi Bhayangkara. Namun Prasetijo bukan satu-satunya jenderal Polisi yang dicopot. Melainkan ada tiga jenderal Polri yang harus rela melepas jabatan karena skandal ini.
Selain Brigjen Prasetijo Utomo, dua nama petinggi Polri lainnya yakni Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Widodo. Ketiganya diduga memiliki peran masing-masing dalam mengurus kaburnya sang buron, Djoko Tjandra.
Brigjen Prasetijo Utomo diduga ikut melancarkan kaburnya Djoko Tjandra dengan menerbitkan surat jalan untuk Djoko Tjandra bernomor SJ/82/VI/2020/Rokowas pada 18 Juni 2020. Dalam surat itu menyebutkan, Djoko Tjandra bakal melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Pontianak pada 19 Juni dan kembali 22 Juni 2020. Surat sakti itu juga menuliskan pekerjaan Djoko Tjandra sebagai konsultan Bareskrim.
Tak cukup itu, Prasetijo juga terlibat mengawal Djoko Tjandra menggunakan jet pribadi dari Jakarta menuju Pontianak. Pengawalan ini dilakukan untuk memperlancar perjalanan buronan tersebut.
Prasetijo harus merelakan jabatannya sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) PPNS Bareskrim Polri. Dia dimutasi sebagai Pati Yanma Polri.
Nasib serupa juga dialami dua jenderal lainnya, yakni Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Widodo dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte. Keduanya diduga berperan dalam kaburnya Djoko Tjandra dengan menghapus status red notice Djoko Tjandra oleh Interpol.
Surat penghapusan red notice dengan nomor B/186/V/2020/NCB.Div.HI diteken Brigjen Nugroho dan dikirimkannya kepada pihak Imigrasi pada 5 Mei 2020. Surat itu berisi pemberitahuan status red notice atas nama Djoko Tjandra telah dihapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 karena tidak ada permohonan perpanjangan red notice dari Kejagung.
Dengan dasar surat itu, pihak Imigrasi lantas menghapus nama Djoko Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. Akibat status red notice dihapus, Djoko Tjandra bebas mondar mandir masuk tanah air.
Brigjen Nugroho dicopot dari jabatan sebagai Sekretariat NCB Interpol Indonesia Divisi Hubungan Internasional Polri dan dimutasi menjadi Analis Kebijakan Utama bidang Jianbang Lemdiklat Polri.
Di waktu yang bersamaan, Polri mencopot Irjen Napoleon Bonaparte dari jabatan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri. Dia dimutasi sebagai Analisis Kebijakan Utama Itwasum Polri. Napoleon dianggap lalai mengawasi bawahan sehingga muncul surat penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Kejaksaan Agung (Kejagung) sendiri sempat melakukan pemeriksaan terkait pertemuan antara pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking dengan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Anang Supriatna, sebagaimana isi video yang viral di sosial media. Hasilnya, penyidik tidak menemukan adanya pelanggaran dalam pertemuan tersebut.
Sementara untuk foto viral terkait adanya seorang jaksa perempuan atas nama Pinangki Sirna Malasari sedang bersama dengan Anita Kolopaking dan seorang laki-laki yang diduga terpidana Djoko Soegiarto Tjandra, ditemukan adanya bukti permulaan pelanggaran disiplin
Pinangki kedapatan melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin tertulis dari pimpinan sebanyak sembilan kali pada tahun 2019. Atas dasar tersebut, Kejagung mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: KEP-IV-041/B/WJA/07/2020 tanggal 29 Juli 2020 tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin (PHD) Tingkat Berat berupa pembebasan dari jabatan struktural terhadap Pinangki.
Advertisement
Perjalanan kasus
Kasus cessie Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra sendiri sudah berlangsung lama. Berikut kronologi perjalanan kasus yang melibatkan Djoko Tjandra
27 September 1999
Perkara korupsi cessie Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra mulai diusut oleh Kejaksaan Agung sesuai dengan laporan dari Bismar Mannu, Direktur Tindak Pidana Korupsi kepada Jaksa Agung.
29 September 1999-8 November 1999
Djoko ditahan oleh Kejaksaan.
9 November 1999-13 Januari 2000
Djoko Tjandra menjadi tahanan kota kejaksaan.
14 Januari 2000-10 Februari 2000
Djoko kembali ditahan oleh kejaksaan.
9 Februari 2000
Kasus cessie skandal Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
10 Februari 2000-10 Maret 2000
Berdasarkan ketetapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djoko Tjandra kembali menjadi tahanan kota.
6 Maret 2000
Putusan sela hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap kasus Djoko Tjandra tidak dapat diterima. Djoko Tjandra dilepaskan dari tahanan kota. Jaksa mengajukan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi.
31 Maret 2000
Pengadilan Tinggi Jakarta mengabulkan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi. Memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memeriksa dan mengadili Djoko Tjandra.
19 April 2000
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunjuk Soedarto (hakim ketua majelis), Muchtar Ritonga dan Sultan Mangun (hakim anggota) sebagai hakim yang memeriksa dan mengadili Djoko Tjandra.
April 2000-Agustus 2000
Upaya perlawanan jaksa berhasil. Proses persidangan Djoko Tjandra selaku Direktur Utama PT Era Giat Prima mulai bergulir. Djoko Tjandra didakwa jaksa penuntut umum (JPU) Antasari Azhar telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus Bank Bali.
Fakta-fakta menunjukkan, pemindahbukuan dari rekening bendaharawan negara ke Bank Bali berdasarkan penjaminan transaksi PT BDNI terhadap Bank Bali menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 904.642.428.369.
Djoko Tjandra pun dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan atau 18 bulan penjara. Djoko juga dituntut membayar denda sebesar Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan, serta harus membayar biaya perkara sebesar Rp 7.500.
Sedangkan uang sebesar Rp 546 miliar milik PT Era Giat Prima yang berada di escrow account Bank Bali agar dikembalikan pada negara.
28 Agustus 2000
Majelis hakim memutuskan Djoko S Tjandra lepas dari segala tuntutan (onslag). Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, sebenarnya dakwaan JPU terhadap perbuatan Djoko Tjandra terbukti secara hukum. Namun perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana melainkan perbuatan perdata. Akibatnya, Djoko Tjandra pun lepas dari segala tuntutan hukum.
21 September 2000
Antasari Azhar selaku JPU mengajukan kasasi.
26 Juni 2001
Majelis hakim Agung MA melepaskan Djoko S Tjandra dari segala tuntutan. Putusan itu diambil dengan mekanisme voting dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara hakim Sunu Wahadi dan M Said Harahap dengan hakim Artidjo Alkostar mengenai permohonan kasasi Djoko Tjandra yang diajukan oleh JPU.
12 Juni 2003
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank Permata mengirim surat ke BPPN untuk meminta petunjuk. Permintaan ini akhirnya tak terwujud dengan keluarnya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan BPPN.
17 Juni 2003
Direksi Bank Permata meminta fatwa MA atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan di atas.
19 Juni 2003
BPPN meminta fatwa MA dan penundaan eksekusi keputusan MA (Juni 2001) yang memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan Djoko Tjandra. Alasannya, ada dua keputusan MA yang bertentangan.
25 Juni 2003
Fatwa MA untuk direksi Bank Permata keluar. Isinya menyatakan MA tidak dapat ikut campur atas eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
1 Juli 2003
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Antasari Azhar menyatakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dinilai menghambat proses hukum yang sedang dijalankan oleh Kejaksaan Agung selaku pihak eksekutor.
2 Maret 2004
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan memanggil Direktur Utama PT Bank Permata Tbk, Agus Martowardojo. Pemanggilan ini terkait dengan rencana eksekusi pencairan dana senilai Rp 546 miliar untuk PT Era Giat Prima (EGP) milik Djoko Tjandra dan politikus Partai Golkar Setya Novanto.
Oktober 2008
Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsi cessie Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra ke Mahkamah Agung.
11 Juni 2009
Majelis Peninjauan Kembali MA yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkostar memutuskan menerima Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Jaksa. Selain hukuman penjara dua tahun, Djoko Tjandra juga harus membayar denda Rp 15 juta. Uang milik Djoko Tjandra di Bank Bali sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara.
Imigrasi juga mencekal Djoko Tjandra. Pencekalan ini juga berlaku bagi terpidana kasus cessie Bank Bali lainnya, Syahril Sabirin. Mantan Gubernur BI ini divonis 2 tahun penjara.
16 Juni 2009
Djoko mangkir dari panggilan Kejaksaan untuk dieksekusi. Djoko diberikan kesempatan 1 kali panggilan ulang, namun kembali tidak menghadiri panggilan Kejaksaan, sehingga Djoko dinyatakan sebagai buron.
Djoko diduga telah melarikan diri ke Port Moresby, Papua New Guinea, menggunakan pesawat carteran sejak 10 juni 2009 atau sehari sebelum vonis dibacakan oleh MA.
Juli 2012
Wakil Jaksa Agung Darmono menyatakan otoritas pemerintah PNG telah memberikan kewarganegraan kepada Djoko Tjandra, sehingga eksekusi terhadapnya mengalami kesulitan. Hingga titik ini, Djoko Tjandra tak lagi bisa disentuh.
Â
Â
Â