Liputan6.com, Jakarta Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo pernah berjanji objektif dalam mengusut sipa saja yang terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra.
Kemudian, satu persatu orang yang membantu Djoko Tjandra ketika masih berstatus buron mulai diusut. Beberapa nama pun muncul. Dua diantaranya adalah polisi berpangkat jendral.
Mereka adalah Brigjen Pol Prasetijo Utomo yang diduga menerbitkan surat jalan untuk Djoko Tjandra bernomor SJ/82/VI/2020/Rokowas pada 18 Juni 2020.
Advertisement
Dalam surat itu menyebutkan, Djoko Tjandra bakal melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Pontianak pada 19 Juni dan kembali 22 Juni 2020. Surat sakti itu juga menuliskan pekerjaan Djoko Tjandra sebagai konsultan Bareskrim.
Kemudian, ada pula Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte yang diduga berperan dalam menghapus status red notice Djoko Tjandra oleh Interpol.
Surat penghapusan red notice dengan nomor B/186/V/2020/NCB.Div.HI diteken Brigjen Nugroho dan dikirimkannya kepada pihak Imigrasi pada 5 Mei 2020.
Surat itu berisi pemberitahuan status red notice atas nama Djoko Tjandra telah dihapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 karena tidak ada permohonan perpanjangan red notice dari Kejagung.
Dengan dasar surat itu, pihak Imigrasi lantas menghapus nama Djoko Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. Akibat status red notice dihapus, Djoko Tjandra melenggang bebas masuk tanah air.
Dalam perjalanannya, kedua kasus ditangani oleh Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri dan Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dirtipikor) Mabes Polri
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menyatakan, ada tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus surat jalan palsu untuk Djoko Tjandra yaitu Brigjen Prasetijo Utomo, Anita Kolopaking, dan Djoko Tjandra.
Nama Djoko Tjandra muncul setelah Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri melakukan gelar perkara pada Jumat (14/8/2020).
Penyidik dari Dittipidum memaparkan hasil investigasinya dihadapan penyidik Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri dan penyidik Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Mabes Polri. Penyidik merumuskan Djoko Tjandra dinilai melanggar Pasal 263 ayat 1 dan 2, Pasal 426, Pasal 221 KUHP.
"Ancamannya lima tahun," ujar Argo, Jumat (14/8/2020).
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Penghapusan Red Notice
Secara bersamaan, Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dirtipikor) Mabes Polri juga melakukan gelar perkara dugaan suap dan gratifikasi terkait penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Penyidik Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri dan penyidik Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Mabes Polri dan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) PPNS Bareskrim Polri memutuskan menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus ini.
Argo Yuwono mengatakan, dua tersangka berinisial PU dan NB berperan sebagai penerima suap. Sementara dua tersangka berinisial JST alias Djoko Tjandra dan TS berperan sebagai pemberi suap.
"PU dan NB selaku penerima kita tetapkan Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 dan 12 huruf a dan b Undang-Undang nomor 20 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi dan junto Pasal 5 KUHP," ujar Argo, Jumat (14/8/2020).
Berdasarkan sumber terpercaya, dua tersangka penerima suap adalah anggota polisi berpangkat jenderal. Keduanya yakni mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo dan mantan Kadiv Hubungan Internasional (Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte.
Prasetijo diduga menerima suap untuk pengurusan surat jalan. Sebelumnya, dia juga lebih dulu jadi tersangka penerbitan surat jalan palsu.
Sementara Napoleon diduga menerima suap terkait penghapusan red notice Djoko Tjandra. Sementara pemberi suap adalah JST alias Djoko Tjandra dan seorang pengusaha bernama Tommy Sumardi alias TS.
"Selaku pemberi ini menetapkan tersangka saudara JST dan TS di Pasal 5 ayat 1 Pasal 13 Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 yaitu pemberi dan penerima gratifikasi," ujar dia.
Dalam perkara ini, penyidik Bareskrim Polri juga menyita sejumlah barang bukti seperti uang USD 20 ribu, dokumen, dan rekaman CCTV.
Gelar perkara dihadiri Deputi Penindakan KPK, Direktur Lidik, Direktur Sidik, bagian penuntutan, serta koordinator dan supervisi KPK.
Dalam kasus ini, Argo menerangkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dan supervisi dengan Polri.
"Itu baru kasus korupsinya dan langsung disupervisi KPK," ujar dia.
Advertisement