Anies Diminta Jalin Komunikasi Intensif sebelum Buat Kebijakan Terkait PSBB

Trubus mengatakan, pemerintah pusat berwenang memberikan sanksi kepada kepala daerah yang melanggar peraturan perundang-undangan berlaku. Bisa diterapkan dalam kasus PSBB Jakarta.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Sep 2020, 11:23 WIB
Diterbitkan 15 Sep 2020, 09:39 WIB
Anies Baswedan
Rencana pembukaan bioskop, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tegaskan pelaku usaha bioskop harus patuhi protokol kesehatan saat konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Rabu (26/8/2020). (Dok Tim Komunikasi Publik Satgas COVID-19)

Liputan6.com, Jakarta Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan diminta untuk berkoordinasi dengan pemerintah pusat sebelum mengumumkan akan menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk pengendalian pandemi Covid-19.

Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah mengatakan, demikian lantaran kebijakan itu dipublikasikan sebelum adanya koordinasi dengan pusat. Ini tercermin dari adanya kritik oleh sejumlah menteri dan menimbulkan polemik.

"Keterkaitan dengan polemik PSBB kedua ini, itu disebabkan pemprov, terutama gubernur, seharusnya adakan rapat-rapat, konfirmasi. Tapi, ini tanpa rapat, jalan sendiri dulu," katanya saat dihubungi merdeka.com, Selasa (15/9/2020).

"DKI seharusnya sebelum memutuskan (PSBB), setidaknya secara ideal, kepantasan, kebijaksanaan, harus berkoordinasi. Tidak harus pusat hubungi daerah, tapi bisa daerah hubungi pusat," sambungnya.

Dia mengingatkan, Gubernur merupakan perwakilan pemerintah pusat di daerah sekalipun memiliki kewenangan khusus. Sehingga, segala kebijakannya mesti selaras dengan agenda nasional. Itu tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) dan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang DKI Jakarta.

Sistem tersebut juga menyangkut penanganan pandemi sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan turunannya. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020, misalnya.

"Di situ dijelaskan, kewenangan suatu daerah untuk penanganan pandemi ada di pusat," terang akademisi Universitas Trisakti itu.

Karenanya, Trubus menilai, tidak terjadi hubungan koordinatif dan kooperatif antara pusat dengan daerah menyangkut PSBB Jakarta. "Ini kompetitif. Cenderung politis."

Trubus melanjutkan, pemerintah pusat berwenang memberikan sanksi kepada kepala daerah yang melanggar peraturan perundang-undangan berlaku. Bisa diterapkan dalam kasus PSBB Jakarta.

"Dalam hal tertentu, presiden berhak menonaktifkan kepala daerah yang tidak mematuhi kebijakan-kebijakan pusat," tegasnya. Sanksi diberikan menteri dalam negeri atas nama presiden.

"Seharusnya koordinasi pemerintah pusat dengan daerah, dilakukan Kemendagri" ujarnya. Namun Trubus menilai Kemendagri juga kurang menjalankan peran tersebut.

Pengambilan kebijakan tanpa koordinasi dan melihat data yang komprehensif juga dikhawatirkan menimbulkan masalah baru.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Ruang Isolasi Mencukupi

Melihat Posko COVID-19 Dinas Kesehatan DKI Jakarta
Petugas menunjukan penyebaran virus corona (COVID-19) pada layar pemantau di Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Senin (9/3/2020). Sampai hari ini, Posko COVID-19 DKI Jakarta terlah dihubungi 3.580 orang. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Melki Laka Lena mengatakan hingga pekan ini anggaran dana dan fasilitas kesehatan masih mencukupi untuk menangani pandemi Covid 19, sekaligus pemulihan ekonomi. Sehingga masyarakat tak perlu panik.

"Pemerintah sudah membuat rencana alternatif dengan memanfaatkan fasilitas kesehatan dan hotel-hotel untuk dijadikan tempat penampungan baru, baik isolasi dan perawatan pasien Covid-19," kata Melki Laka Lena dalam keterangannya, Senin, 14 September 2020.

Hotel Bintang 2 dan 3 di Jakarta yang dapat dipergunakan untuk Isolasi berjumlah 10 sampai dengan 15 Hotel. Fasilitas ini memiliki kapasitas 1.500 kamar atau 3.000 Bahkan jumlah hotel ini masih dapat ditambah jika diperlukan.

Khusus untuk DKI Jakarta berdasarkan data RS Online per 13 September 2020 pukul 12.00 WIB, Melki menyatakan bahwa DKI Jakarta masih mampu melakukan perawatan pasien Covid-19.

Rinciannya, untuk merawat pasien Covid-19 dengan gejala sedang masih terdapat Ruang Isolasi pasien yang kosong berjumlah 1.088 tempat tidur dari 4.271 tempat tidur yang ada. Beberapa hari ruang isolasi akan ditambah sebanyak 1.022 tempat tidur, sehingga menjadi 5.293 tempat tidur.

Sementara untuk merawat pasien Covid dengan gejala Berat juga terdapat Ruang ICU yang kosong berjumlah 115 tempat dari 584 tempat tidur yang ada. Bahkan dalam beberapa hari mendatang, menurut Melki akan ditambah sebanyak 138 tempat tidur sehingga total menjadi 722 tempat tidur.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya