HEADLINE: Antrean Pasien Covid-19, Sinyal Darurat Disiplin Protokol Kesehatan?

Melonjaknya pasien COVID-19 bukan hanya terjadi di RS Wisma Atlet, dari 67 rumah sakit rujukan di DKI Jakarta, 20 di antaranya sudah kehabisan tempat tidur ICU.

oleh Delvira HutabaratAdy AnugrahadiMuhammad Radityo PriyasmoroLizsa EgehamAde Nasihudin Al Ansori diperbarui 22 Sep 2020, 13:17 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2020, 00:01 WIB
FOTO: Pembatasan 25 Persen Pekerja Kantoran
Pekerja melintasi jembatan penyeberangan orang saat jam pulang kantor di kawasan Sudirman, Jakarta, Senin (14/9/2020). Pengurangan aktivitas pekerja di perkantoran menjadi fokus utama Pemprov DKI Jakarta dalam penerapan PSBB pada 14-27 September 2020. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah video berisi antrean ambulans yang akan masuk ke Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran viral di media sosial. Belakangan diketahui antrean ambulans itu terjadi pada Selasa, 15 September 2020, pukul 20.00 WIB.

"Ambulans ini bersamaan waktu datang dalam jumlah banyak," kata Kepala Staf Kodam Jaya, Brigjen TNI M Saleh Mustafa di Jakarta, Rabu siang, 16 September 2020.

Malam itu, kata Saleh, terjadi peningkatan kedatangan pasien COVID-19 yang mencapai 100 persen.

"Biasanya itu yang datang sekitar 300-an. Ini nambah lagi," ujar dia.

Melonjaknya pasien COVID-19 bukan hanya terjadi di RS Wisma Atlet, dari 67 rumah sakit rujukan di DKI Jakarta, 20 di antaranya sudah kehabisan tempat tidur ICU. Sementara ada 5 rumah sakit lainnya kehabisan tempat tidur di ruang isolasi.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) dr. Lia G. Partakusuma menyebut, antrean juga terjadi di rumah sakit rujukan COVID-19 lainnya.

"Yang perlu dirawat memang naik, antrean terjadi. Pasien COVID-19 kan beda-beda, misal pasien COVID-19 dengan kelainan atau pasien COVID-19 yang akan melahirkan tentu rumah sakitnya pun harus yang menyediakan pelayanan persalinan," ujar Lia kepada Liputan6.com, Kamis (17/9/2020).

Ia menambahkan, antrean di rumah sakit rujukan selain Wisma Atlet terjadi karena tidak semua rumah sakit dapat melayani keluhan pasien yang spesifik. Misal, pasien COVID-19 dengan keluhan jantung maka yang bisa merawatnya pun adalah rumah sakit dengan spesialis jantung sekaligus ruang isolasi.

"Kemudian ada lagi pasien COVID-19 dengan diabetes melitus yang hebat, tentu kita harus cari rumah sakit yang punya tenaga endokrin yang bisa merawat pasien dengan diabet. Jadi setiap pasien itu tidak selalu dia hanya sakit COVID-19 saja," kata dia.

Kemungkinan lainnya, pasien bisa saja sudah dapat masuk ke suatu rumah sakit rujukan COVID-19 namun rumah sakit tersebut tidak memiliki sumber daya manusia untuk pelayanan keluhan komorbid pasien sehingga pasien harus menunggu atau mengantre.

"Masyarakat bilang terjadi antrean, memang betul seperti itu yang terjadi. Kasus-kasus COVID-19 ini kan bervariasi, itulah yang menyebabkan pasien harus nunggu dulu di IGD sambil menunggu rumah sakit mana yang tepat, kalau kasusnya ringan mungkin bisa langsung diterima, kalau komplikasi ini yang agak susah karena kita harus mengkombinasikan dengan fasilitas dan SDM-nya," tandas Lia.

Infografis Lonjakan Pasien Covid-19 di RSD Wisma Atlet
Infografis Lonjakan Pasien Covid-19 di RSD Wisma Atlet (Liputan6.com/Triyasni)

Masyarakat Abai Protokol Kesehatan

Antrean rumah sakit, diakibatkan terus bertambahnya kasus positif COVID-19 di Indonesia. Sejak September 2020, penambahan kasus positif di Indonesia menembus angka 3.000 setiap hari. Hal ini menunjukkan penularan virus sangat tinggi. Salah satu penyebab bertambahnya kasus corona di Indonesia, karena masyarakat mulai abai terhadap protokol kesehatan.

"Memang bertambah kan pasiennya, kalau masyarakat patuh protokol kesehatan, mestinya pasien tidak akan bertambah," kata Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas COVID-19 Akmal Taher kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (17/9/2020).

Satgas COVID-19 pun sudah menempuh berbagai macam cara agar masyarakat patuh protokol kesehatan. Namun nyatanya di beberapa kota besar, masyarakat sudah mulai berkerumun dan tidak menjaga jarak.

"Kalau di DKI sekarang dibikin beberapa pembatasan-pembatasan kemudian dibikin mitigasi, artinya siapa yang melanggar akan dihukum, pengawasan lebih ketat, dikasih hukuman. Itu yang akan dikerjakan," kata Akmal.

Jika upaya itu tak juga membuahkan hasil dan pasien COVID-19 terus meningkat, kata Akmal, Satgas akan membuat sanksi semakin berat.

"Kita lihat nanti dampaknya. Kalau semuanya banyak yang kena seperti itu, mustinya segera ditambahin sanksinya," ujar dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Perlu Edukasi Masyarakat

FOTO: Pembatasan 25 Persen Pekerja Kantoran di Jakarta
Petugas Satpol PP menegur pekerja yang salah menggunakan masker saat jam pulang kantor di kawasan Sudirman, Jakarta, Senin (14/9/2020). Pengurangan aktivitas pekerja di perkantoran menjadi fokus utama Pemprov DKI Jakarta dalam penerapan PSBB pada 14-27 September 2020. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Kepala Departemen Epidemiologi UI, Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan penularan virus COVID-19 yang sangat tinggi ini disebabkan masyarakat yang tak patuh protokol kesehatan. 

"Kasus Covid-19 menunjukkan positivity rate yang tinggi karena warganya tidak patuh," kata Tri kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (17/9/2020).

Untuk itu, kata Tri, pemerintah harus terus melakukan edukasi kepada masyarakat agar patuh protokol kesehatan. Selain itu, untuk mencegah penularan lebih luas, kata Tri, pemerintah juga harus meningkatkan tes COVID-19 dan mengisolasi penderitanya serta mengkarantina yang kontak dengan penderita corona. 

"Kalau tidak teredukasi gimana caranya? Masyarakat tidak tahu, yang tahu kita-kita yang peduli. Sementara yang tidak peduli tidak tahu," ujar dia.

Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman berpendapat meningkatnya kasus COVID-19 bukan hanya karena warga tidak patuh protokol, tetapi karena ketidaktahuan.

"Banyak orang yang terkena razia dia tidak tahu dia bawa virus. Ini artinya bebannya tidak hanya di masyarakat tapi di pemerintah juga," kata Dicky kepada Liputan6.com.

Dicky juga mengingatkan protokol kesehatan tidak hanya memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak saja, tetapi juga dengan tidak menutupi orang yang terinveksi COVID-19 serta melakukan test. 

"Protokol tidak boleh pilih-pilih, ini berlaku bagi semua tidak hanya DKI saja," kata dia.

Sementara, untuk memberikan sanksi pun, kata dia, harus mempunyai petunjuk teknis yang jelas. Jangan sampai peristiwa beberapa hari lalu di mana seorang dokter diberi sanksi lantaran tak menggunakan masker ketika sendirian di dalam mobil.

"Di dalam mobil sendirian masa di hukum, ini yang ngasih sanksi nggak paham, ini bukan hal baik. Ini berdampak negatif dalam kampanye menertibkan masyarakat karena trust jadi menurun. Jadi harus dipastikan upaya penertiban harus jelas juknisnya, karena banyak yang memberi sanksi ini banyak yang bukan orang kesehatan, ini harus diperbaiki di semua daerah," kata dia.

Selain itu, penyumbang terbesar banyaknya penularan COVID-19 ini karena pemerintah tak bisa mendeteksi orang-orang yang membawa virus dengan cepat.

"Ini penyebab utamanya. Kalau yang bawa virus cepat dideteksi kita akan lebih relatif visa meredam penambahan kasus," ujar Dicky.

Sebab seketat apapun protokol kesehatan yang dilakukan masyarakat, jika tracing tidak dilakukan dengan masif maka penularan akan terus terjadi.

Pengawasan Tak Berjalan? 

Pengamat kebijakan publik Azas Tigor Nainggolan berpendapat selama ini pengawasan terhadap protokol kesehatan tidak berjalan. Ditambah lagi, pada Juli 2020 DKI Jakarta menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi. Akibatnya, pasien positif COVID-19 di DKI melonjak tajam. 

"PSBB sekarang saya liatnya sama saja, karena yang dibutuhkan itu pengawasan PSBB, dijalankannya protokol kesehatannya," kata Tigor kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (17/9/2020).

"Perkantoran diawasi, tapi bagaimana dengan pemukiman, perkampungan, di pasar. Coba masuk ke kampung-kampung, tidak ada pengawasan," lanjutnya.

Pengawasan hingga ke pemukiman dan perkampungan, kata Tigor dapat dilakukan dengan membentuk komunitas siaga di tingkat lokal dan berskala mikro. 

"Pemprov kan punya stuktur sampai ke bawah kan, lurah-lurah selama ini saya kira nggak pada kerja, saya bisa bilang itu karena kalau betul mereka kerja, tak akan terjadi peningkatan," kata dia.

Lurah itulah, kata dia, yang akan menggerakkan RT/RW untuk mengawasi setiap warganya. Tigor mencontohkan, ada dua kampung siaga COVID-19 di Cipinang dan Cililitan, Jakarta, hasilnya penularan COVID-19 di daerah itu landai.

Selain pengawasan tak berjalan, sanksi bagi yang melanggar protokol kesehatan pun tak memiliki dasar hukum. "Sesuatu yang dijalankan tanpa dasar itu pasti berantakan, seperti seremoni aja," kata dia.

Ketersediaan Kapasitas Tempat Tidur

Mengintip Kesiapan RS Darurat COVID-19 di Wisma Atlet Kemayoran
Petugas menyiapkan perlengkapan ruang isolasi Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 di Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Minggu (22/3/2019). RS Darurat Penanganan COVID-19 dilengkapi dengan ruang isolasi, laboratorium, radiologi, dan ICU. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) dr. Lia G. Partakusuma mengatakan, meski terjadi peningkatan pasien COVID-19, namun masih ada ketersediaan tempat tidur di rumah sakit rujukan COVID-19. Persentase terisinya tempat tidur di rumah sakit-rumah sakit rujukan berkisar di 70 hingga 80 persen.

"Tentu sekali lagi itu variasi antara rumah sakit. Yang sering terjadi di ICU penuh, tapi di ruang isolasi biasa masih tersedia. Jadi kondisinya macam-macam. Kalau ditotal memang belum terisi 100 persen, kembali lagi ke spesifikasi keluhan pasien yang belum tentu dapat di rawat rumah sakit tersebut," kata Lia.

Lia mengimbau masyarakat untuk tidak hanya melihat kapasitas tempat tidur. Namun, benar benar menjaga diri kalaupun terkena COVID-19 jangan sampai memiliki gejala berat.

"Jadi jangan sampai tertular COVID-19 kan kita sudah tahu betul melalui kontak tracing bahwa penularan itu terjadi misal ketika sedang berkumpul atau makan bersama di cafetaria. Makan yang cukup, tidur yang cukup, tidak boleh stress, olahraga, dan berjemur," kata dia.

Sementara, Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas COVID-19 Akmal Taher mengatakan, pihaknya tengah membuat sistem yang terintegrasi agar mudah melihat rumah sakit yang sudah kosong, sehingga dapat mempermudah seseorang mendapatkan akses rumah sakit.

"Sistem IT-nya sedang diintegrasikan sekarang, mudah-mudahan dalam waktu dekat itu selesai. Jadi bisa nanti secara real time kita bisa melihat," kata Akmal.

Kementerian Kesehatan juga memastikan, kapasitas ruang isolasi dan Ruang Intensive Care Unit (ICU) untuk perawatan pasien COVID-19 di sejumlah rumah sakit di Jakarta tidak kurang.

Hal ini disampaikan Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan dr. Rita Rogayah SpP (K) MARS melalui keterangan pers, Kamis (17/9/2020).

"Kemenkes memastikan tersedianya ruang isolasi dan ICU yang dapat digunakan untuk pasien COVID-19 ke RS yang ada di Jakarta, baik milik Kemenkes, milik Pemda, milik TNI/Polri, milik swasta dan wisma atlet. Dari pantauan kami di hari pertama (16/9) RS masih tersedia terus mengembangkannya volumenya," kata Rita.

Untuk memastikan ketersediaan ruang perawatan COVID-19, Kementerian Kesehatan menerjunkan Tim Taskforce ke sejumlah RS. 

Pada hari pertama (16/9/2020) tim mendatangi RSUP Nasional Cipto Mangunkusumo, RSPI Sulianti Saroso, RSUD Tarakan, RSU Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto, RS Hermina Kemayoran, RSUD Pasar Rebo, RSDK Duren Sawit, RSU Pertamina Jaya, RS Mitra Keluarga Kemayoran dan RSPAD Gatot Soebroto.

Dari hasil pemantauan diperoleh data kapasitas rumah sakit dalam hal jumlah tempat tidur yang telah dimiliki dan rencana pengembangannya, yaitu :

1. RS RSPI Sulianti Saroso saat ini sudah memiliki 34 tempat tidur di ruang isolasi dan 10 tempat tidur di ruang ICU. Dalam waktu dekat, RSPI Sulianti Saroso akan menambah jumlah kapasitas tempat tidur baik di ruang isolasi maupun ICU menjadi 48 tempat tidur di ruang isolasi dan 14 tempat tidur di ruang ICU. Rencananya, Senin, 21 September 2020 ruangan sudah dapat digunakan.

2. RS Hermina Kemayoran memiliki 48 tempat tidur di ruang isolasi dan 6 tempat tidur di ruang ICU.

3. RSUD Pasar Rebo memiliki kapasitas 50 tempat tidur yang terbagi rata di ruang isolasi Anggrek dan ruang isolasi Cempaka, serta 9 tempat tidur di ruang ICU. RSUD Pasar Rebo akan melakukan pengembangan sebanyak 25 tempat tidur di ruang isolasi dan 6 tempat tidur di ruang ICU.

4. RSDK Duren Sawit memiliki kapasitas 202 tempat tidur di ruang isolasi dan 13 tempat tidur di ruang ICU. Dan dalam waktu dekat RSDK Duren Sawit akan menambah 200 tempat tidur isolasi dan 8 tempat tidur di ruang ICU.

5. RSU Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto saat ini memiliki kapasitas 169 tempat tidur ruang isolasi dan 15 tempat tidur ruang ICU dengan rencana penambahan dalam waktu dekat sejumlah 31 tempat tidur di ruang isolasi, dan 15 tempat tidur di ruang ICU.

6. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo saat ini memiliki 178 tempat tidur di ruang isolasi dan 31 tempat tidur di ruang ICU. Untuk rencana pengembangan RSUPN Dr. Cipto sudah menyiakan tambahan tempat tidur sebanyak 50 di ruang isolasi dan 10 tempat tidur di ruang ICU dengan perkiraan Senin, 21 September 2020 ruangan sudah dapat digunakan.

7. RSUD Tarakan sebanyak 114 dan 38 tempat tidur di ruang ICU, dengan rencana penambahan 4 tempat tidur pada ruang ICU.

8. RSU Pertamina Jaya memiliki daya tampung 75 tempat tidur di ruang isolasi dan 65 tempat tidur di ruang ICU dengan rencana penambahan tempat tidur pada ruang isolasi sebanyak 15 buah.

9. RSPAD Gatot Soebroto memiliki daya tampung 253 tempat tidur di ruang isolasi dan 27 di ruang ICU. Saat ini RSPAD Gatot Soebroto sudah melakukan pengembangan sebanyak 30 tempat tidur di ruang isolasi.

10. RS Mitra Kemayoran memiliki daya tampung 35 tempat tidur di ruang isolasi dan 5 tempat tidur di ruang ICU dengan rencana penambahan dalam waktu dekat sejumlah 22 tempat tidur di ruang isolasi.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya