HEADLINE: Demo Tolak RUU Cipta Kerja Berujung Anarkistis, Sikap Pemerintah?

Gelombang demonstrasi penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja terjadi secara masif di sejumlah daerah setelah DPR mengesahkannya melalui sidang paripurna, Senin lalu.

oleh Nafiysul QodarAdy AnugrahadiMuhammad Radityo PriyasmoroIka DefiantiYopi Makdori diperbarui 09 Okt 2020, 06:16 WIB
Diterbitkan 09 Okt 2020, 00:00 WIB
Polisi membubarkan massa pendemo di Simpang Harmoni, Jakarta Pusat. (Liputan6.com/Radityo Priyasmoro)
Polisi membubarkan massa pendemo di Simpang Harmoni, Jakarta Pusat. (Liputan6.com/Radityo Priyasmoro)

Liputan6.com, Jakarta - "Kembali saya ingatkan, Anda sudah tidak tertib dan anarkis, apabila masih anarkis, saya akan mengambil tindakan tegas..."

Polisi melalui pengeras suara mengultimatum para demonstran penolak Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja di sekitar Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat yang mulai rusuh. 

"Tembak...!"

Aparat kepolisian lalu melepas tembakan gas air mata dan water cannon di simpang Harmoni, Jakarta Pusat untuk memukul mundur massa demonstran yang mulai anarkis dan tidak terkendali. 

Seketika ratusan massa di simpang Harmoni kocar kacir menjauh. Gas air mata terus dilontarkan secara berkala, memecah barisan massa yang merangsek masuk ke dalam barikade petugas.

Selain Jakarta, gelombang demonstrasi penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja juga terjadi di sejumlah daerah di Indonesia setelah DPR mengesahkannya lewat sidang paripurna pada Senin 5 Oktober 2020 lalu.

Jutaan buruh melakukan aksi mogok nasional dan memilih turun ke jalan menolak RUU Cipta Kerja. Begitu juga elemen masyarakat lainnya, seperti pelajar dan mahasiswa. Namun tak sedikit, aksi demonstrasi yang semula damai berujung anarkis.

Di ibu kota, kerusuhan terus meluas di beberapa tempat hingga Kamis (8/10/2020) malam. Bentrokan antara massa perusuh dengan aparat keamanan tak terhindarkan.

Sejumlah fasilitas umum tak luput dari amukan massa yang beringas. Gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjadi salah satu sasaran amuk massa. Mereka melempari kaca gedung dengan batu dan benda keras lainnya. Mereka juga membakar sebagian bangunan.

Setidaknya dua gedung di Kantor Kementerian ESDM rusak akibat kerusuhan ini. Sejumlah kendaraan yang terparkir di area kantor juga dirusak. Pihak kementerian memastikan tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Sementara kerugian masih dihitung.

Fasilitas yang dimiliki aparat kepolisian juga turut dirusak. Setidaknya ada dua pos polisi di kawasan ring 1 Jakarta Pusat yang hangus dibakar massa. Laporan sementara hingga Kamis petang, enam anggota kepolisian terluka.

"Korban dari anggota ada 6 yang masih dirawat di rumah sakit, satu polwan. Kita masih coba mendata lagi mungkin ada korban-korban lain dari petugas," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus.

Kepolisian menduga, para perusuh merupakan penyusup yang masuk di barisan demonstran penolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Hingga Kamis sore, polisi telah mengamankan hampir 1.000 perusuh.

"Sejak sore tadi sekitar kurang lebih 1.000, yang kita amankan (kelompok) Anarko yang mencoba melakukan kerusuhan. Mereka rata-rata, tidak ada sama sekali buruh dan mahasiswa, mereka memang pengangguran yang datang dari beberapa daerah, baik menggunakan kereta api dan truk. Saat kita lakukan pemeriksan, mereka pengangguran semuanya," beber Yusri.

Fasilitas penunjang transportasi publik di ibu kota juga tak luput dari keberingasan massa perusuh. Tak hanya dirusak, Halte Bus Transjakarta di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI) dan Sarinah Jakarta Pusat juga dibakar.

Massa membakar halte Transjakarta di Jalan MH. Thamrin, Jakarta, Kamis (8/10/2020). Aksi anarkis massa dilakukan setelah bentrok dengan petugas kepolisian di kawasan Patung Kuda, Jakarta.(merdeka.com/Arie Basuki)

Beberapa peralatan konstruksi proyek MRT Fase 2 juga terdampak kerusuhan, di antaranya dua mini excavator milik kontraktor CP201 dan pagar proyek yang rubuh.

"Kejadian kebakaran di 2 mini excavator tersebut sudah dipadamkan oleh kepolisian dan Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta," kata Corporate Secretary Division Head PT MRT Jakarta, Muhamad Kamaluddin.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan langsung meninjau lokasi saat kerusuhan berangsur reda. Anies menegaskan, pihaknya menghargai seluruh aspirasi komponen masyarakat terkait penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja. Kendati, dia meminta semua pihak untuk menahan diri agar penyampaian aspirasi berjalan tertib.

Anies menyampaikan, total ada 11 Halte Bus Transjakarta yang rusak akibat kerusuhan di tengah gelombang aksi demonstrasi penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini. Dua di antaranya hangus dibakar.

"Totalnya ada 11. Dan Insyallah kita akan segera perbaiki itu semua," katanya di lokasi.

Pemprov DKI Jakarta telah mengalokasikan dana sekitar Rp 25 miliar untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan fasilitas umum di ibu kota akibat kerusuhan ini. Anies memastikan, perbaikan fasilitas langsung dilakukan malam ini, sehingga pelayanan masyarakat besok tidak terganggu.

"Seluruh fasilitas umum akan berfungsi kembali malam ini, Insyaallah bersih. Kalau halte yang terbakar tentu engak bisa selesai malam ini. Perlu waktu untuk recovery. Jadi halte-halte malam ini akan diukur seberapa besar kerusakannya, yang rusak total nanti akan disiapkan halte sementara, dan yang rusaknya minor bisa diperbaiki segera untuk bisa digunakan," ucap Anies.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Kericuhan di Luar Jakarta

Demo tolak UU Cipta Kerja berujung bentrok di Makassar (Liputan6.com/Fauzan)
Demo tolak UU Cipta Kerja berujung bentrok di Makassar (Liputan6.com/Fauzan)

Aksi demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja yang diwarnai kericuhan juga terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. 

Di Surabaya, Jawa Timur, massa demonstran di depan Gedung Negara Grahadi terlibat kericuhan dengan aparat kepolisian. Kericuhan semakin tak terhindarkan saat massa mencoba merangsek masuk dengan menjebol gerbang Gedung Grahadi. Polisi pun membubarkan massa yang ricuh dengan tembakan gas air mata. 

Aksi yang diwarnai kerusuhan hingga merusak fasilitas publik ini membuat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini geram. Dia sempat memarahi massa demonstran yang berhasil dipukul mundur aparat kepolisian.

Kericuhan juga terjadi di Kota Malang, Jawa Timur di sela-sela aksi demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja. Massa terlibat bentrok dengan aparat yang berjaga di depan Gedung DPRD Kota Malang. Sebuah mobil dinas Satpol PP juga terbakar dalam insiden tersebut.

Polisi menangkap sekitar 80 orang terkait aksi demo berujung ricuh itu. Peristiwa itu mengakibatkan belasan kendaraan roda dua dan roda empat rusak.

Restoran Legian yang berlokasi di sebelah selatan gedung DPRD DI Yogyakarta terbakar, Kamis (8/10/2020). Peristiwa itu bersamaan dengan kerusuhan yang terjadi dalam aksi Jogja Memanggil menolak UU Cipta Kerja.

Dugaan sementara, restoran itu terbakar karena menjadi sasaran amuk massa. Terlebih letak restoran itu sangat dekat dengan Gedung DPRD DIY, tempat massa berunjuk rasa.

Di Bandung, demo yang diwarnai kericuhan bahkan telah terjadi sejak Selasa 6 Oktober 2020 atau sehari setelah DPR mengetok palu RUU Cipta Kerja. Sejumlah massa terlibat bentrok dengan aparat keamanan yang berjaga.

Di Tangerang, ribuan massa buruh yang hendak demonstrasi ke Jakarta dihalau aparat gabungan TNI-Polri. Namun massa perusuh terlibat bentrok dengan aparat di Jalan Daan Mogot, Batu Ceper, Kota Tangerang. Satu mobil dinas kepolisian rusak dalam peristiwa tersebut.

Infografis Demo Anarkis Tolak UU Cipta Kerja. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Demo Anarkis Tolak UU Cipta Kerja. (Liputan6.com/Abdillah)

Bentrok pecah antara polisi dan massa demo tolak Omnibus Law di flyover, Jalan Urip Sumoharjo Makassar pada Kamis (8/10/2020) petang sekitar pukul 17.30 Wita. Bentrok itu diwarnai lemparan batu dari kubu mahasiswa dan tembakan gas air mata dari pihak kepolisian.

"Semuanya silakan membubarkan diri, silakan pulang ke rumah masing-masing," kata polisi melalui pengeras suara.

Imbauan itu tak diindahkan oleh massa demo tolak Omnibus Law, mereka terus berusaha merangsek ke depan dan menembus blokade polisi. Sementara polisi terus memukul mundur demonstran sambil sesekali menembakkan air dari mobil water cannon. Mereka diarahkan menjauh dari Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.

Aksi ini sempat terhenti sejenak ketika azan magrib berkumandang. Setelah azan, aksi kembali dilanjutkan. Terlihat api membumbung tinggi di pinggir jalan, sementara massa demo tolak Omnibus Law terus dipukul mundur oleh aparat menjauhi Kantor DPRD Sulsel.   

Kericuhan juga terjadi di Palembang, Sumatera Selatan. Aparat kepolisian bahkan melontarkan gas air mata dan menyemburkan air dari water cannon untuk membubarkan massa.

Namun massa tetap bertahan, bahkan memblokade jalan di simpang jalan DPRD Sumsel dengan membakar ban. Massa akhirnya berangsur membubarkan diri sekitar pukul 18.20 WIB.

Aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Sumatera Utara di Kota Medan juga diwarnai kericuhan. Massa melempari Gedung DPRD Sumut dengan batu, botol air mineral, dan kayu ke arah petugas kepolisian yang berjaga. Tidak hanya itu, kaca-kaca bangunan di gedung wakil rakyat juga pecah dan hancur berserakan.

Melihat massa yang mulai tidak terkendali, petugas keamanan memukul mundur para demonstran dengan melakukan penyemprotan water cannon. Petugas juga menembakkan gas air mata ke arah massa aksi.

Respons Pemerintah

Menko Polhukam Mahfud Md
Menko Polhukam Mahfud Md. (Liputan6.com/Putu Merta Surya Putra)

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md langsung menggelar konferensi pers terkait gelombang aksi demonstrasi penolakan terhadap RUU Cipta Kerja yang diwarnai kericuhan di sejumlah daerah di Indonesia.

Dia menyebut bahwa UU Cipta Kerja dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintah, melalui penciptaan lapangan kerja yang semakin banyak serta untuk melakukan pemberantasan korupsi dan pungutan liar alias pungli.

"Pemerintah menghormati kebebasan berpendapat dan menyampaikan aspirasi sepanjang semua itu dilakukan dengan damai, menghormati hak-hak warga yang lain dan tidak menggangu ketertiban umum," ucap Mahfud di kantornya, Kamis malam.

Pemerintah, kata dia, menyayangkan adanya aksi-aksi anarkistis yang dilakukan massa di tempat tertentu serta merusak fasilitas umum, membakar, melukai petugas, dan menjerah.

Dia menuturkan, aksi merusak fasilitas umum merupakan tindakan yang tidak sensitif atas kondisi rakyat yang sedang berjuang menghadapi pandemi virus corona Covid-19.

"Untuk itu, demi ketertiban dan keamanan maka pemerintah akan bersikap tegas atas aksi-aksi anarkis yang justru menciptakan kondisi rusuh," tegas Mahfud.

Selain berdemo dengan tertib, kata Mahfud, ketidakpuasaan bisa ditempuh dengan cara sesuai konstitusi, yaitu dengan menyalurkan lewat peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan kepala daerah sebagai delegasi UU. Bahkan bisa diadukan melalui mekanisme uji materi dan formal ke MK.

"Pemerintah akan bersikap tegas dan melakukan proses hukum terhadap semua pelaku dan aktor yang menunggangi atas aksi-aksi anarakis yang sudah berbentuk tindakan kriminal," katanya menandaskan.

Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian menuturkan, pemerintah tidak bisa melarang aksi demonstrasi sebagai ekspresi menyampaikan pendapat di muka umum yang diatur undang-undang.

Namun dia menyayangkan aksi demonstrasi yang diwarnai kericuhan dan perusakan fasilitas umum karena merugikan masyarakat.

"Pemerintah menghargai demonstrasi sebagai ekspresi demokrasi. Tapi kami menyesalkan bahwa demo ini berakhir ricuh, merusak fasilitas umum bagi rakyat yang tidak mampu menaiki kendaraan pribadi yang harus menggunakan transportasi publik. Ini yang susah adalah rakyat sendiri pada akhirnya," ujar Donny kepada Liputan6.com, Kamis (8/10/2020).

Donny menyadari bahwa pasal-pasal di dalam RUU Cipta Kerja tidak bisa memuaskan keinginan semua kalangan. Karena itu, dia mempersilakan pihak-pihak yang tak puas terhadap substansi pada RUU tersebut mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Semua keberatan harap menggunakan jalur konstitusional, yaitu judicial review (uji materi) ke MK dan pemerintah bersiap untuk menghadapai itu," katanya.

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai, pemerintah sebagai penyelenggara negara memiliki tanggung jawab etik untuk merespons gelombang penolakan RUU Cipta Kerja tersebut dengan berdialog. 

"Harusnya pemerintah merespons dengan mengajak dialog semua elemen masyarakat yang berdemonstrasi. Kan kalau ada demontrasi itu ada sebabnya, ajak bicara dulu, dan juga jangan basa basi bukan cuma diterima audiensi tapi memang dipertimbangkan secara serius," kata Bivitri kepada Liputan6.com.

Dia menyayangkan tindakan represif yang dilakukan aparat keamanan dalam menyikapi massa demonstran. Karena itu, Bivitri meminta pemerintah merespons serius dengan segera mengeluarkan kebijakan yang solutif, apalagi gelombang demonstrasi di beberapa daerah sudah mengarah ke tindakan anarkis.

Kebijakan yang dimaksud yakni Presiden Joko Widodo atau Jokowi bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menunda pemberlakuan UU Cipta Kerja. Sebab, secara legislasi, pengesahan RUU Cipta Kerja sudah tidak bisa dibatalkan.

"Karena Perppu setara dengan UU. Jadi bisa aja itu Perppu bilang bahwa, enggak usah isi panjang lagi, cukup dengan menunda pemberlakuan UU Cipta Kerja ini sampai dengan kapan, misal. Biar ada waktu untuk berdialog lagi, karena enggak bisa dipaksakan, mesti ada situasi di mana win win solution lah," katanya.

Dia menjelaskan, bahwa RUU Cipta Kerja saat ini masih belum menjadi undang-undang. Kendati, tidak bisa dibatalkan karena telah disahkan melalui sidang paripurna. Saat ini, RUU Cipta Kerja tinggal menunggu persetujuan Presiden Jokowi untuk diundangkan.

Berdasarkan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jokowi memiliki waktu selama 30 hari untuk menandatangani atau tidak RUU Cipta Kerja itu terhitung sejak disahkan dalam Sidang Paripurna DPR, 5 Oktober lalu. Namun ditandatangani atau tidak, hasilnya tetap sama yakni UU Cipta Kerja akan berlaku.

"Jadi dalam konteks UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memang sudah tidak ada lagi cara untuk menyetop ini, udah tinggal diundangkan nih tanpa ada yang bisa membatalkan. Maka harus pakai cara-cara yang di luar proses legislasi, yaitu tadi konstitusional yang dapat digunakan tinggal dua cara, pertama adalah mengeluarkan Perppu sesuai Pasal 22 UUD 45, cara kedua ya ke MK. Nah di MK itu bisa uji formil, bisa uji materiil," ujar Bivitri.

"Itu bisa aja dilakukan dua-duanya karena yang satu di ranah pemerintah, kan presiden yang bisa mengeluarkan Perppu. Yang kedua wilayah yudisial, yaitu MK," sambungnya.

Namun pihak Istana menyatakan bahwa penerbitan Perppu belum diperlukan. Donny Gahral Adian menilai, belum ada kegentingan yang memaksa Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu Omnibus Law.

Menurut tenaga ahli KSP itu, gelombang demonstrasi yang terjadi beberapa hari terakhir ini bukan suatu kegentingan yang memaksa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 1 angka 4 UU No 12 Tahun 2011.

"Kegentingannya kan bukan dari substansi UU-nya sendiri kan, tapi dari tekanan publik. Jadi silakan saja melakukan demonstrasi yang damai tanpa kekerasan, laksanakan protokol kesehatan, ya follow up-nya silakan lakukan judicial review (ke MK)," kata Donny.

Donny menegaskan bahwa pemerintah tidak memberikan solusi apapun selain melakukan perlawanan secara konstitusional lewat uji materi di MK. Pemerintah saat ini sifatnya hanya menunggu hasil gugatan di MK.

"Jadi sekarang satu-satunya jalan bagi mereka yang keberatan dengan UU tersebut adalah dengan melakukan judicial review, dan kita percaya MK adalah penjaga konstitusi yang akan mengadili apakah itu sesuai dengan konstitusi atau tidak. Jadi kita persilakan aja, negara sifatnya menunggu kalau ada gugatan ke MK," ucapnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya