Cerita di Balik Hari Santri, Diresmikan Jokowi hingga Andil di Masa Kolonial

Penetapan Hari Santri oleh Presiden Jokowi melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 pada 15 Oktober 2015.

oleh Maria Flora diperbarui 22 Okt 2020, 12:32 WIB
Diterbitkan 21 Okt 2020, 19:54 WIB
Ilustrasi – Santri Ponpes El Bayan dan sejumlah pesantren lainnya berselawat. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ilustrasi – Santri Ponpes El Bayan dan sejumlah pesantren lainnya berselawat. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Jakarta - Sejarah mencatat, ada begitu banyak andil besar yang telah diberikan para kiai, ulama besar serta para santri pada masa perjuangan kemerdekaan.

Tak memulu dengan mengangkat senjata, strategi perang pun dilakukan untuk mengecoh musuh yang saat itu tengah bercokol di Tanah Air.

Saat itu Indonesia tengah dalam penguasan Jepang. Saat pendudukan Jepang goyah ketika kalah perang dengan sekutu, mereka berusaha mempertahankan kekuatan perangnya dengan melatih para santri  secara militer guna berperang melawan sekutu.

Ide itu lalu disampaikan Nippon kepada Kiai Haji Abdul Wahid Hasyim. Kiai Hasyim pun menyetujui langkah Jepang tersebut namun dengan syarat, para santri yang dilatih militer tidak masuk dalam barisan Jepang.

Di sinilah kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Laskar Hizbullah, nama yang diberikan oleh Kiai Wahid Hasyim, putra dari KH Muhammad Hasyim Asy’ari.

Peran besar para santri dan ulama inilah yang kemudian membuat Presiden Joko Widodo atau Jokowi menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. 

Menurut Jokowi hal tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan negara kepada para kiai, alim ulama, para santri dan seluruh komponen bangsa yang mengikuti teladannya.

"Saya sangat paham dengan sikap kebangsaan para kiai dan santri saat dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Kiai dan santri selalu meletakkan kepentingan bangsa dan negara sebagai yang pertama sesuai dengan tradisi kesantrean," kata Jokowi, Sabtu, 20 Oktober 2018 dilansir Antara. 

Berikut sederet cerita di balik peran santri dan ulama dalam perjuangan kemerdekaan hingga ditetapkan Jokowi sebagai Hari Santri Nasional yang dihimpun dari berbagai sumber: 

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Mobil Brigjen Mallaby Dibom

Saat Munas Alim Ulama ke-3 pada 14 Juni 2015, Ketua PBNU Said Aqiel menceritakan masa lalu bagaimana para santri pada masa zaman kolonial membantu pejuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

"Siapa yang menaruh bom di mobil Brigjen Mallaby? Dia adalah Harun, santri Pondok Tebuireng (Jombang, Jawa Timur)," kata KH Said Aqiel Siraj Ketua PBNU dalam Munas Alim Ulama Ke-3, pada 14 Juni 2015.

Kejadian heroik yang melekat di ingatan bangsa ini berlangsung di dekat Jembatan Merah, Surabaya, Jawa Timur pada 30 Oktober 1945. Saat hendak melintasi jembatan itu, mobil Buick milik Mallaby dicegat sekelompok pemuda.

Selanjutnya, seorang pemuda (santri) melepaskan tembakan kepada Mallaby hingga meninggal. Tak hanya itu, mobil Buick miliknya pun kemudian dibom hingga hancur. Nahas, akibat ledakan tersebut, jasad pimpinan tentara Inggris ini sulit diidentifikasi.

Awal Terbentuknya Laskar Hizbullah

Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 bukanlah akhir perjuangan. Justru perjuangan makin tidak mudah ketika bangsa Indonesia harus menegakkan kemerdekaan karena upaya kolonialisme masih tetap ada.

Ulama pesantren sudah menyiapkan jauh-jauh hari jika terjadi perang senjata saat Jepang menyerah kepada Sekutu. Pendudukan Jepang atas Indonesia tergoyang ketika mereka kalah perang dengan tentara sekutu.

Dilansir dari nu.or.id, seketika itu pula mereka berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kekuatan perangnya dengan melatih para pemuda Indonesia secara militer untuk melawan sekutu.

Itulah awal terbentuknya laskar yang diberi nama oleh Kiai Hasyim sebagai Laskar Hizbullah. Laskar Hizbullah ini dibentuk pada November 1943 beberapa minggu setelah pembentukan tentara PETA (Pembela Tanah Air).

Meski kedua badan kelaskaran itu berdiri sendiri, tetapi secara teknik militer berada di satu tangan seorang perwira intelijen Nippon, Kapten Yanagawa. Sebagai seorang kiai, Hadratussyekh Hasyim Asy’ari cukup mumpuni dalam strategi perang.

Di saat sejumlah orang memandang bahwa keputusan Kiai Hasyim merupakan simbol ketundukan kepada Jepang karena menyetujui para santri dilatih militer oleh Jepang, namun di balik semua itu, para kiai di  ini ingin mempersiapkan para pemuda secara militer melawan agresi penjajah ke depannya.

Betul saja apa yang ada di dalam pikiran Kiai Hasyim, Jepang menyerah kepada sekutu. Selanjutnya, Indonesia menghadapi agresi Belanda II. 

Di saat itulah para pemuda Indonesia melalui Laskar Hizbullah sudah siap menghadapi perang dengan tentara sekutu dengan bekal gemblengan ‘gratis’ oleh tentara Jepang.

KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) mencatat, saat itu angkatan pertama latihan Hizbullah di daerah Cibarusa, dekat Cibinong, Bogor awal tahun 1944 diikuti oleh 150 pemuda. Mereka datang dari Karesidenan di seluruh Jawa dan Madura yang masing-masing mengirim 5 orang pemuda. 

Sejarah Hari Santri Nasional

Hari Santri Nasional (HSN) jatuh pada 22 Oktober, sesuai ketetapan Presiden Joko Widodo pada tanggal yang sama 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta.

Tanggal 22 Oktober dipilih karena bertepatan dengan peristiwa pembacaan resolusi jihad yang didengungkan oleh Pahlawan Nasional KH Hasjim Asy'ari pada 22 Oktober 1945.

Penetapan tersebut juga bertujuan meneladani semangat jihad yang didengungkan kepada para santri untuk senantiasa menjaga keutuhan NKRI, sesuai dengan amanat dan semangat yang digelorakan oleh para ulama.

Selain itu, ada aspek lain yang melatarbelakangi penetapan HSN ini, yaitu pengakuan resmi pemerintah Republik Indonesia atas peran besar umat Islam dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjaga NKRI.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo berjanji akan menetapkan 1 Muaharram sebagai Hari Santri. Namun, ketetapan tersebut ditolak oleh Ketua PBNU, KH Said Aqiel Siraj.

"Tolong sampaikan ke Presiden, tidak tepat 1 Muharam. Yang khas itu tanggal 22 Oktober dimana para santri dengan semangat jihad menyambut pasukan NICA di Surabaya, dan mempertahankan kemerdekaan," sebut Said Aqil.

Jokowi yang saat itu hadir bersama Said Aqiel dalam acara Munas Alim Ulama Ke-3 di Jakarta, pada 14 Juni 2015, mendengar usulan Said. Selanjutnya memerintahkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin segera merumuskan Hari Santri.

Menanggapi arahan Presiden, pada 15 Agustus 2015, digelarlah forum diskusi terbatas. Dari diskusi ini, keluarlah Keppres Nomor 22 Tahun 2015, yang mengakui 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya