Liputan6.com, Jakarta Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyatakan siap mengajukan banding atas putusan atau vonis Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta terhadap Jaksa Agung, yang disebut bersalah atas pernyataannya terkait tragedi Semanggi I dan II.
Jamdatun Kejagung Ferry Wibisono menyampaikan, ada banyak fakta hukum atau aturan yang diabaikan dalam vonis tersebut. Seperti soal Hakim PTUN yang tampak menilai bahwa tindakan Jaksa Agung saat menginformasikan sesuatu dalam rapat kerja DPR, merupakan bukan perbuatan konkrit tindakan penyelenggaraan pemerintahan.Â
"Kami berpandangan tindakan ucapan tersebut bukan kategori tindakan pemerintah dalam kategori penyelenggaraan pemerintahan," tutur Ferry di Kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis (5/11/2020).
Advertisement
Ferry menyebut, tindakan Jaksa Agung dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di antaranya terkait penanganan perkara, tindakan memproses penanganan perkara, tindakan tahapan proses penanganan perkara, baik itu P19, P21, atau mengembalikan berkas perkara. Sementara ucapan Jaksa Agung dalam rapat DPR adalah pemberian informasi.
"Ucapan yang disampaikan dalam rapat komisi, rapat kerja DPR RI, tidak masuk dalam kategori tindakan pemerintahan sebagaimana Pasal 1 Angka 1 Perma 2 Tahun 2019," jelas dia.
Kemudian, Hakim PTUN dinilai mengabaikan sejauh mana kepentingan pihak penggugat dalam mengajukan objek perkara. Padahal, faktor kepentingan menjadi hal esensial dalam gugatan perkara, baik perdata, PTUN, hingga uji materil di MA dan MK.
"Tanpa ada suatu kepentingan, maka hakim akan menolak karena yang bersangkutan tidak punya kepentubgan terkait objek daripada sengketa tersebut," kata Ferry.
Namun, kepentingan dari pihak penggugat sebenarnya adalah terkait penuntasan penanganan kasus pelanggaran HAM Tragedi Semanggi. Kepentingan itu beda substansi dengan pernyataan Jaksa Agung dalam rapat DPR yang dijadikan sebagai objek sengketa.Â
"Sehingga di sini Hakim PTUN DKI Jakarta mencampuradukkan ini, padahal ini spesifik, bahwa faktor kepentingan menjadi parameter gugatan diperiksa atau tidak," ujarnya.
Abaikan Alat Bukti Saksi Ahli
Lebih lanjut, kata Ferry, suatu tindakan pemerintah bisa diperiksa dalam perkara hukum dengan melalui sejumlah tahapan. Mulai dari adanya keberatan, melakukan banding administrasi, jangka waktu untuk melakukan gugatan pun ada batas waktu usai banding.
Sementara penggugat mendalilkan keberatan atas pernyataan Jaksa Agung dan langsung membuat surat terbuka ke Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan isi meminta dilanjutknannya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat.
"Sedangkan dalam ketentuan yang berlaku di UU Administrasi Pemerintahan, banding administrasi tersebut harus diajukan tertulis kepada atasan pejabat. Atasan Jaksa Agung adalah Presiden, tapi yang disampaikan adalah surat terbuka kepada Presiden agar menindaklanjuti kasus Pelanggaran HAM berat. Bukan berkaitan dengan ucapan Jaksa Agung," beber Ferry.
Selain itu, Hakim PTUN juga dinilai mengabaikan adanya alat bukti dari saksi ahli yang menjelaskan bahwa surat terbuka tidak bisa dikategorikan sebagai banding administrasi. Termasuk juga lalai dalam memeriksa alat bukti berupa rekaman video berisikan pernyataan Jaksa Agung yang menjadi kalimat tersebut merupakan objek gugatan.Â
"Dalam video, Jaksa Agung tidak pernah menyatakan kalimat 'Seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti, dan seterusnya'. Tidak ada kalimat ini, sementara kalimat ini menjadi objek sengketa. Dalam putusannya, ada kalimat ini, padahal dalam rekaman, Jaksa Agung tidak pernah menyatakan kalimat ini dalam tanya jawab. PTUN Jakarta telah mengabaikan bukti rekaman rapat kerja ini. Padahal ini rekaman nyata apa yang terjadi," Ferry menandaskan.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Vonis PTUN untuk Jaksa Agung
Sebelumnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta memvonis Jaksa Agung ST Burhanuddin bersalah atas pernyataannya terkait tragedi Semanggi I dan II. Ketua hakim sidang Andi Muh Ali Rahman menyatakan, bahwa Burhanuddin melawan hukum atas pernyataan yang disampaikan dalam rapat dengan Komisi III DPR pada 16 Januari 2020.
"Menyatakan tindakan pemerintah berupa penyampaian tergugat dalam rapat kerja antara Komisi III DPR dan Jaksa Agung pada tanggal 16 Januari 2020 adalah perbuatan hukum oleh badan dan/pejabat pemerintahan," kata Andi dalam amar putusannya, seperti dikutip dari situs resmi PTUN DKI, Rabu (4/11/2020).
Selain itu, lanjut Andi, Burhanuddin atau lembaganya sebaga tergugat, juga diwajibkan membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi I dan II. Andi menegaskan, pernyataan harus dibuat sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
"Pernyataan dibuat dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya, sepanjang belum ada keputusan yang menyatakan sebaliknya," tegas Andi.
Terakhir, putusan juga membebani tergugat dengan membayar biaya perkara Rp 285.000.
Berikut perkataan Burhanuddin yang membuatnya divonis bersalah oleh PTUN DKI:
Peristiwa Semanggi I dan II sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
Seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti, karena tidak ada alasan untuk dibentuknya pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU no.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
Advertisement