Yusril Tegaskan Mendagri Tak Bisa Berhentikan Kepala Daerah

Kata Yusril, kewenangan presiden dan mendagri hanyalah terbatas melakukan pemberhentian sementara tanpa proses pengusulan oleh DPRD.

oleh Yopi Makdori diperbarui 19 Nov 2020, 22:23 WIB
Diterbitkan 19 Nov 2020, 22:23 WIB
Yusril Temui OSO Bahas Putusan MK Terkait DPD
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa seorang kepala daerah tak bisa diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) ataupun presiden.

Hal ini menyusul dikeluarkannya Instruksi Nomor 6 tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19 oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Instruksi itu ditujukan bagi kepala daerah yang melanggar atau membiarkan protokol kesehatan pasca terjadi banyak kerumunan massa baik di Jakarta maupun di luar Jakarta.

"Apa yang jelas bagi kita adalah Presiden maupun Mendagri tidaklah berwenang memberhentikan atau 'mencopot' Kepada Daerah karena Kepada Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Sebagai konsekuensinya, pemberhentiannya pun harus dilakukan oleh rakyat melalui DPRD," tegas Yusril dalam keterangan tulis, Kamis (19/11/2020).

Kata Yusril, kewenangan presiden dan mendagri hanyalah terbatas melakukan pemberhentian sementara tanpa proses pengusulan oleh DPRD apabila Kepala Daerah didakwa ke pengadilan dengan ancaman pidana di atas lima tahun. Ataupun didakwa melakukan korupsi, makar, terorisme, kejahatan terhadap keamanan negara atau kejahatan memecah-belah NKRI.

"Kalau dakwaan tidak terbukti dan Kepala Daerah tadi dibebaskan, maka selama masa jabatannya masih tersisa, Presiden dan Mendagri wajib memulihkan jabatan dan kedudukannya," papar dia.

Menurut Yusril, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, oleh karenanya yang berhak untuk memberhentikan kepala daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

"Semua proses pemberhentian Kepala Daerah, termasuk dengan alasan melanggar Pasal 67 huruf b jo Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf d yakni tidak melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan Penegakan Protokol Kesehatan, tetap harus dilakukan melalui DPRD. Jika ada DPRD yang berpendapat demikian, mereka wajib memulainya dengan melakukan proses pemakzulan (impeachment)," terangnya.

Disebutkan Yusril, jika DPRD berpendapat cukup alasan bagi Kepala Daerah untuk dimakzulkan, maka pendapat DPRD tersebut wajib disampaikan kepada Mahkamah Agung (MA) untuk dinilai dan diputuskan apakah pendapat DPRD itu beralasan menurut hukum atau tidak.

"Untuk tegaknya keadilan, maka Kepala Daerah yang akan dimakzulkan itu diberi kesempatan oleh Mahkamah Agung (MA) untuk membela diri," jelas Yusril.

Proses ini akan memakan waktu cukup lama. Bahkan bisa mencapai setahun lebih.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Instruksi Mendagri

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri untuk penegakan protokol kesehatan Covid-19. Tito meminta kepala daerah konsisten menerapkan kepatuhan terhadap protokol kesehatan.

Hal itu merespons terjadinya kerumunan masyarakat yang masif akhir-akhir ini, yang seolah kepala daerah tidak mampu menanganinya. Instruksi itu baru dia keluarkan pada hari ini, Rabu (18/11/2020).

"Saya keluarkan Instruksi Mendagri tentang penegakan prokes, di sini menindaklanjuti arahan Presiden pada Senin lalu untuk menegaskan konsistensi kepatuhan Covid dan mengutamakan keselamatan rakyat," ujar Tito dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR RI, Rabu (18/11/2020).

Tito meminta para kepala daerah konsisten menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Dia mengingatkan kepala daerah harus mengedepankan langkah pencegahan daripada penindakan. Kepala daerah juga harus mematuhi protokol kesehatan Covid-19 dengan tidak ikut dalam kerumunan.

"Lakukan langkah proaktif, tidak hanya responsif reaktif. Karena mencegah lebih baik daripada menindak. Mencegah dapat dilakukan secara humanis termasuk dengan membubarkan kerumunan secara tegas dan terukur," kata Tito.

Dia juga meminta kepala daerah tidak justru menjadi bagian dari kerumunan, dan justru memberi contoh kepada warganya.

"Saya meminta kepala daerah untuk menjadi teladan mematuhi protokol kesehatan, termasuk tidak ikut dan kerumunan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan," lanjut mantan Kapolri ini.

Tito mengatakan, kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan bisa disanksi. Salah satunya adalah pencopotan dari jabatan. Dalam UU Nomor 23 tahun 2014 Pasal 27 ayat b kewajiban kepala daerah adalah menaati peraturan perundang-undangan. Termasuk peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

"Kalau itu dilanggar sanksinya dapat diberhentikan sesuai dengan pasal 48. Pasal 48 itu kepala daerah wakil kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri atau diberhentikan ayat 1 c mengatakan di antaranya tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam asal 67 b wajib menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan," jelas Tito.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya