Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi akan mengambil putusan soal pengurangan hari libur dan cuti jelang tahun baru nanti. Senin mendatang, 30 November 2020, Jokowi akan memutuskan hal ini usai menggelar rapat terbatas.
Banyak kalangan yang menunggu keputusan pemerintah terkait libur panjang akhir tahun ini. Khususnya mereka yang bergelut di sektor pariwisata yang sangat berharap libur panjang ini akan membawa berkah di tengah pandemi. Namun, dengan adanya pemangkasan hari libur ini, Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengaku pihaknya akan menanggung kerugian.
"Kalau ditanya ke kita sudah pastilah merugikan. Yang paling utama adalah agenda libur itu kan sudah dikeluarkan sudah lama. Di awal pandemi pun sudah diumumkan bahwa secara nasional itu libur Lebaran akan digantikan nanti pada bulan Desember. Nah tentu sudah banyak juga yang melakukan travel plan," ujar Maulana kepada Liputan6.com, Jumat (27/11/2020).
Advertisement
Dengan adanya travel plan itu, lanjut dia, otomatis rencana sudah dibuat dan kalau untuk dari sisi hotel atau mereka yang menggunakan transportasi umum tentu sudah melakukan reservasi. Dengan adanya perubahan mendadak yang dilakukan pemerintah, tentu akan terjadi pembatalan.
"Nah, pada saat terjadi cancelation itu kan potensi ruginya di situ besar. Kita nggak bicara situasi reguler loh, ini pandemi. Yang tadinya sudah berharap akan adanya income untuk menopang situasi yang tidak mudah saat ini, itu pupus karena terjadinya perubahan kebijakan di tengah jalan," beber Maulana.
"Jadi substansinya adalah, kami yang bergerak di sektor pariwisata itu tidak mungkin selalu mendapatkan kebijakan yang berubah-ubah di tengah jalan," imbuh dia.
Padahal, lanjut Maulana, yang harusnya dilakukan pemerintah bukan mengurangi jumlah hari liburnya, melainkan memastikan protokol kesehatan dipatuhi dan dilaksanakan dengan ketat. Hanya dengan cara itu penyebaran Covid-19 bisa dilakukan, termasuk untuk sektor pariwisata.
"Protokol kesehatan harus dilakukan dengan ketat dan mengubah prilaku masyarakat, kita harus masif di situ. Masalahnya sekarang kan nggak dilakukan dengan masif, hanya dikeluarkan sekadar melalui imbauan dan peraturan, tapi pengawasannya tidak mutlak dan tegas," ujar dia.
Karena itu, dengan adanya rencana untuk memangkas hari libur jelang tahun baru mendatang, menurut Maulana merupakan bentuk kepasrahan pemerintah terhadap kondisi yang ada.
"Kalau kita melihatnya seperti itu, karena kan kita dalam rangka perubahan perilaku dan saya agak kritis karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak," jelas dia.
Jadi, lanjut Maulana, momentum pergerakan wisatawan saat libur harusnya tidak dikurangi, namun menjadikan pengalaman sebelumnya sebagai pelajaran. Pemerintah bisa mengkaji tentang apa yang kurang di liburan sebelumnya, dan apa yang harus dilakukan dalam liburan mendatang? Misalnya dari sisi pengawasan atau mengedukasi masyarakat untuk perubahan perilaku.
"Tidak mudah memang mengedukasi orang, tapi mestinya ini yang kita lakukan, bukan malah mengurangi hari liburnya. Kemarin angkanya (kasus Covid-19) jadi naik nih, kenapa? Pasti ada yang kurang kan, mungkin pengawasan di destinasinya atau mungkin pengawasan di tempat usahanya," tegas dia.
Saat ini situasinya menjadi serba salah. Karena, lanjut Maulana, dengan adanya pemangkasan hari libur, pihak penyedia jasa pariwisata tak bisa lagi melakukan apa-apa.
"Susah, karenakan masalahnya di situasi sekarang ini pelaku pariwisata itu sudah melakukan terobosan dalam berbagai hal, dalam rangka promosi mereka coba menuver melalui digital kemudian supaya survive pas libur mereka buka, tapi begitu udah selesai dia tutup lagi. Kan dia mesti lihat mana yang lebih efisien supaya bisa bertahan dulu kan. Sementara sekarang liburnya malah dikurangi," dia memungkasi.
Â
Senada dengan Maulana, Komisaris PT Mutiara Hitam Pertiwi (MHP) selaku pengelola Mutiara Carita Cottages, Bambang Irianto menyatakan kerugian yang dirasakan oleh pengelola usaha pariwisata akibat dari pemangkasan hari libur sifatnya relatif. Di sisi lain, dia bisa memahami langkah yang diambil pemerintah.
"Kerugian atau potensi kehilangan pasti ada, tapi pemerintah kan pasti melihatnya lebih besar. Idealnya sih jumlah liburnya nggak dipangkas, tapi ini mesti memikirkan kepentingan yang lebih besar, ya kita terima saja," ujar Bambang kepada Liputan6.com, Jumat (27/11/2020).
Padahal, lanjut dia, lokasi wisata yang dia kelola relatif luas, sekitar 20 hektare, sehingga sangat memungkinkan untuk menerapkan protokol kesehatan. Namun, pihaknya akan tetap mematuhi ketentuan yang sudah digariskan pemerintah.
"Hotel di tempat kami memang agak berbeda dan kalau di tempat kami sih aman-aman saja, tapi pemerintah kan mungkin mengambil kebjikan secara makro dengan mempertimbangkan bukan hanya ekonomi saja, tapi juga dari segi kesehatan yang diutamakan," papar Bambang.
Dia mengatakan, kondisi bisnis pariwisata, khususnya perhotelan, selama pandemi Covid-19 selalu naik turun. Mulai Agustus 2020 menurutnya sudah mulai beranjak meningkat bagus, apalagi ada libur panjang ketika itu. Namun, hal itu kembali stagnan saat ini.
"Intinya tetap ada, tapi nggak maksimal seperti sebelum Covid-19. Kalau di week end cukup bagus di atas 60 persen, kadang-kadang 80 persen. Nah kalau week day ini yang berat, bisa 10-20 persen. Memang belum pulih benar, karena kondisi secara makro itu masyarakat kita ada yang berani ada yang nggak untuk berwisata di tengah pandemi," jelas Bambang.
Meski pemerintah tengah menggodok pengurangan jumlah hari libur untuk akhir tahun nanti, dia mengaku pihaknya tetap melakukan antisipasi guna menarik wisatawan.
"Antisipasi tetap kita lakukan, promosi tetap kita jalankan, acara-acara di tempat kami tetap dibuat menarik. Yang lain kita berikan diskon-diskon khusus supaya mereka bisa stay lebih lama lagi," Bambang menandaskan.
Â
Liburan Boleh, Asal...
Ada kecenderungan jika melihat angka-angka, jumlah kasus positif Covid-19 selalu naik drastis usai liburan panjang. Tak heran kalau kemudian pemerintah berniat mengurangi jumlah hari libur jelang pergantian tahun ini.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Profesor Amin Soebandrio menilai langkah pemerintah tak ada yang salah jika melihat pada pengalaman-pengalaman sebelumnya. Kendati demikian, dia juga mengingatkan untuk tidak salah fokus pada inti masalahnya.
"Sebetulnya yang menyebabkan kenaikan itu kan bukan liburnya, tapi perilaku orang-orangnya kan? Jadi sebenarnya ada yang lebih mendasar lagi yang harus diperbaiki, yaitu bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat, tidak hanya masyarakat bawah saja, tapi juga masyarakat menengah ke atas juga," ujar Amin kepada Liputan6.com, Jumat (27/11/2020).
"Jadi, walaupun tidak ada libur panjang, kalau perilaku masyarakat tetap, tidak berubah, ya tidak akan menutus mata rantai penularan juga," imbuh dia.
Nah, cara yang efektif untuk mengubah itu semua, menurut Amin adalah dengan meyakinkan semua lapisan masyarakat bahwa pandemi ini memang ada. Alasannya, dalam beberapa survei ternyata masih ada sekian persen masyarakat yang percaya bahwa Covid-19 ini tidak ada.
"Jadi kita harus memberdayakan juga tokoh-tokoh masyarakat, karena mungkin banyak masyarakat yang lebih mendengar kepada para tokoh masyarakat, tokoh agama, tapi kita juga tidak memungkiri ada beberapa tokoh masyarakat, kaum intelektula yang menyuarakan hal tersebut. Itu harus terus menerus dengan berbagai cara pendekatan," beber dia.
Di sisi lain, lanjut Amin, tak ada yang salah jika ingin berlibur, apalagi sudah banyak lokasi wisata yang dibuka dengan memberlakukan protokol kesehatan.
"Boleh-boleh saja (pergi liburan), tetapi penerapan protokol kesehatan harus ketat. Ini yang harus dilakukan secara konsisten, kepada siapa pun, kapan pun, di mana pun itu harus diterapkan," tegas dia.
Konsistensi itu, menurut Amin, protokol kesehatan diterapkan sepanjang waktu, bukan hanya pada jam-jam tertentu atau saat razia saja. Setiap kali ada orang tak pakai masker, misalnya, atau orang berkerumun, siapa pun dia harus diambil tindakan atau diingatkan bahwa itu tidak sesuai dengan prosedur dan harus dihentikan.
"Intinya, kalau ada orang minta izin berkerumun ya jangan dikasih," tegas dia.
Sementara itu, terkait dipangkasnya libur panjang akhir tahun 2020, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menekankan bahwa keputusan Pemerintah tersebut mengutamakan keselamatan masyarakat.
"Masyarakat perlu mengetahui bahwa apa pun keputusan yang diambil Pemerintah akan selalu mengutamakan keselamatan masyarakat Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Karena kita tidak boleh lengah," ujar Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (27/11/2020).
Masyarakat juga harus belajar dari pengalaman libur panjang dan cuti bersama pada bulan-bulan sebelumnya, seperti periode Idulftri, Hari Kemerdekaan Indonesia, dan libur akhir Oktober hingga awal November 2020.
"Dari data yang kami peroleh, terdapat peningkatan kasus positif Covid-19 pasca liburan panjang tersebut," ujar Wiku.
Satgas Covid-19 juga memahami kondisi pelaku usaha di sektor pariwisata selama pandemi Covid-19, terutama mendekati akhir tahun.
Namun, perlu diketahui bahwa peningkatan kasus positif Covid-19 yang tidak terkendali juga dapat berdampak buruk pada terhadap keberlangsungan usaha berbagai sektor, termasuk pariwisata.
"Oleh karena itu, Pemerintah akan berusaha untuk dapat meminimalisir peningkatan kasus positif, sehingga dapat lebih dikendalikan," tambah Wiku.
"Kebijakan yang akan diambil tentunya sudah mempertimbangkan berbagai dampak, termasuk terhadap sektor pariwisata. Kami mohon pengertian dari seluruh pihak agar kondisi aman dari Covid-19 ini betul-betul dapat terjaga meskipun kita nanti akan melalui libur akhir tahun ini," dia memungkasi.
Advertisement
Tarik Ulur Libur Panjang
Soal panjangnya masa liburan akhir tahun 2020 mengemuka karena Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta hal itu dipertimbangkan kembali. Melihat pada kasus-kasus sebelumnya, liburan panjang selalu membuat kasus positif Covid-19 menanjak tajam.
Perbincangan cuti bersama Desember 2020 ini mengemuka karena pada Mei lalu pemerintah memutuskan mengalihkan cuti bersama Hari Raya Idul Fitri ke akhir tahun, sementara pandemi Covid-19 belum juga reda.
Apabila cuti bersama Lebaran tetap berlangsung pada akhir tahun ini seperti yang tertuang dalam surat keputusan bersama tiga menteri pada 20 Mei 2020, maka total cuti bersama, libur Natal, sampai tahun baru 2021 akan berlangsung selama sebelas hari. Rinciannya:
- Kamis, 24 Desember 2020: Cuti Bersama Hari Natal
- Jumat, 25 Desember 2020: Hari Natal
- Sabtu-Minggu, 26-27 Desember 2020: Libur akhir pekan
- Senin-Kamis, 28-31 Desember 2020: Pengganti Cuti Bersama Hari Raya Idul Fitri
- Jumat, 1 Januari 2021: Libur Tahun Baru
- Sabtu-Minggu 2021: Libur akhir pekan
Jika tidak, kemungkinan pemerintah hanya akan menerapkan cuti bersama Natal, libur Natal, libur akhir pekan, dan libur tahun baru, yang jumlahnya tujuh hari:
- Kamis, 24 Desember 2020: Cuti Bersama Hari Natal
- Jumat, 25 Desember 2020: Hari Natal
- Sabtu-Minggu, 26-27 Desember 2020: Libur akhir pekan
- Jumat, 1 Januari 2021: Libur Tahun Baru
- Sabtu-Minggu 2021: Libur akhir pekan
Perubahan apa pun terkait cuti bersama ini tertuang dalam surat keputusan bersama tiga menteri, yakni Menteri Tenaga Kerja, Menteri Agama, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi.
Pemerintah sendiri punya alasan kuat untuk memangkas jumlah hari pada libur panjang akhir tahun ini. Pertimbangan itu antara lain:
1. Jumlah Kasus Covid-19
Pada Rabu 25 November 2020, Satgas Penanganan Covid-19 melaporkan kasus harian Covid-19 di Indonesia bertambah signifikan, yakni 5.534 orang. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, ada sembilan provinsi dengan kasus harian Covid-19 di atas 100 per Rabu kemarin, yaitu DKI Jakarta (1.273 kasus), Jawa Tengah (1.008 kasus), Jawa Barat (741 kasus), Jawa Timur (402 kasus), Sumatera Barat (260 kasus), Riau (236 kasus), Kalimantan Timur (190 kasus), Yogyakarta (150 kasus), dan Banten (128 kasus).
Dan Jumat (27/11/2020) angka itu terus naik menjadi 5.828 kasus baru Covid-19.
2. Libur Panjang Sebelumnya
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito menyampaikan data kenaikan kasus Covid-19 seusai libur panjang. Selama pandemi Covid-19 ini sudah berlangsung tiga periode libur panjang, yakni pada Mei, Agustus, dan Oktober 2020. Berikut data kasus Covid-19 pasca-libur panjang:
- Libur panjang Idul Fitri pada 22-25 Mei 2020
Libur selama empat hari ini berdampak pada peningkatan kasus positif sebesar 69 -93 persen pada 28 Juni 2020.
- Libur HUT RI pada 20-23 Agustus 2020
Libur selama empat hari ini juga berdampak pada peningkatan kasus positif sebesar 58-118 persen pada pekan pertama sampai ketiga September 2020.
- Libur panjang 28 Oktober-1 November 2020
Libur selama lima hari ini berdampak pada peningkatan kasus positif sebesar 17-22 persen pada 8-22 November 2020.
"Masa libur panjang akhir tahun 2020 memiliki durasi yang lebih panjang dan dikhawatirkan berpotensi memicu kasus Covid-19 dua bahkan tiga kali lipat lebih besar dari masa libur sebelumnya," ujar Wiku.
3. Arahan Presiden Jokowi
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mendapatkan arahan dari Presiden Joko Widodo untuk mengurangi jatah libur demi menekan kasus Covid-19.
"Bapak Presiden memberikan arahan supaya ada pengurangan (libur)," kata Muhadjir di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin 23 November 2020.
Rencananya, Senin 30 November 2020 mendatang pemerintah akan mengumumkan soal keputusan pengurangan jumlah hari libur akhir tahun 2020.