Liputan6.com, Jakarta 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan telah merdeka dari penjajahan. Naskah Proklamasi dibacakan oleh Bapak Proklamator Soekarno yang sekaligus menjadi Presiden pertama Indonesia. Namun saat itu roda pemerintahan belum bisa berjalan efektif. Kekacauan masih terjadi di mana-mana. Pemuda Indonesia mencoba melucuti senjata tentara Jepang. Belum lagi kedatangan tentara sekutu yang diboncengi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) atau Belanda mencoba menguasai kembali menguasai Indonesia.
Pertempuran tentara sekutu dengan TNI tak terhindarkan. Yang paling terkenal dengan Pertempuran 10 November 1945 atau disebut peristiwa Arek-Arek Surabaya yang kemudian diperingati hari sebagai hari Pahlawan, demikian yang ditulis oleh Amir Hendarsyah pada 2010 dalam bukunya berjudul Soekarno Sang Proklamator.
Akibatnya situasi Jakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia menjadi tidak aman karena diduduki tentara Inggris dan tentara NICA. Laman situs resmi pusat sejarah TNI, membeberkan Presiden Soekarno juga tidak luput dari gangguan ini, beberapa kali mendapat ancaman dan teror.
Advertisement
Presiden Soekarno kemudian menggelar rapat terbatas pada 1 Januari 1946 malam di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Dari hasil rapat terbatas, ada usulan mengendalikan Negara dari daerah.
Saat itu Yogyakarta dipilih menjadi alternatif. Alasannya karena secara fasilitas cukup memadai. Yogyakarta memang telah memiliki birokrat yang bersifat nasional sejak masih berada di bawah penjajahan Jepang, demikian yang dikutip dari buku Sejarah Baru Indonesia Baru, karangan M.C Rickles.
Pada saat yang hampir bersamaan tepatnya pada 2 Januari 1946 Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan kurir ke Jakarta untuk memberikan usulan pemindahan sementara ibu kota Negara RI ke Yogyakarta. Tawaran Sultan diterima oleh Soekarno.
Soedarmanta JB, dalam buku berjudul Jejak-jejak pahlawan: perekat kesatuan bangsa Indonesia, menyebut Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta beserta Menteri dan staf yakni Sekertaris Negara Gafar Pringgodigdo, Sekertaris Wakil Presiden I Wangsa Widjaja hijrah Yogyakarta pada 3 Januari 1946.
Mereka naik kereta api KLB (Kereta Api Luar Biasa) pukul 7 malam dan naik dari belakang rumah Presiden di Jalan Pegangsaan Timur 56. Ada 13 orang polisi yang mengawal yakni Sukarsih, Winarso Supandi, Rasmad, Didik Kardi, Ramelan, Oding Suhendar, Suharjo, Sukanda, Sudio, Kardi dan Moh. Toha.
Kepergian mereka seperti dikutip dalam buku Takhta untuk rakyat: celah-celah kehidupan Sultan Hamengku Buwono IXkarya Atmakusumah, ternyata diketahui oleh rakyat di luar kota Jakarta. Setiap berhenti di stasiun ribuan rakyat telah menunggu kedatanganya. Rakyat bersorak "Merdeka, Merdeka" dan kadang mencoba naik kereta yang ditumpangi oleh Presiden dan Wakil Presiden. Pun demikian ketika rombongan tiba di stasiun Tugu.
Banyak orang menanti kehadiran Presiden dan Wakil Presiden. Kedatangan disambut langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX, Sri Paku Alam dan pembesar Kesultanan Yogyakarta lainnya.
Setelah berada di Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan pengumuman tentang kepindahan Presiden dan Wakil Presiden dari Jakarta ke Yogyakarta.
Isi pengumuman seperti ditulis dalam buku berjudul Kronik Revolusi Indonesia 2 (1946) karya PramoedyaAnanta Toer, Koesalah Soebagyo Toer dan Ediati Kamil, adalah sebagai berikut: Berhubungdengan keadaan di kota Jakarta pada dewasa ini, Pemerintah RI menganggap perlu agar Presiden dan Wakil Presiden berkedudukan di luar Jakarta. Oleh sebab itu kemarin Presiden dan Wakil Presiden telah berangkat ke tempat kedudukan yang baru.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Berdampak Positif Bagi Yogya
Pemindahan ibukota ini berdampak positif pada Yogyakarta. Gedung-gedung besar dijadikan kantor kementerian. Yogyakarta dan kota-kota di sekitarnya juga dipenuhi pendatang baru.
Presiden sendiri berkantor di Gedung Agung yang terletak di sebrang bekas benteng kompeni Vredebug untuk melanjutkan perjuangan melawan Belanda.
Buku yang ditulis Amir Hendarsyah berjudul 'Soekarno Sang Proklamator' menjelaskan sejak Ibu Kota pindah di Yogyakarta setidaknya dua kali melancarkan Agresi Militer 1 dan 2 dan kekuatan militer Belanda melancarkan serangan langsung ke Ibu Kota RI di Yogyakarta pada 19 Desember 1948.
Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dan beberapa kota penting di tanah air. Bahkan Presiden dan Wakil Presiden serta beberapa anggota kabinet lain diasingkan ke Bangka.
Dengan pencapaian hasil tersebut, Belanda mengumumkan Republik sudah tidak ada lagi.
Namun, agresi militer Belanda kedua ini menuai kritik dunia internasional, yang memaksa Belanda kembali ke meja perundingan demikian dijelaskan dalam Laman Resmi Pusat Sejarah TNI.
Selanjutnya pada Mei 1949, Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Rum Royen, yang salah satu isinya mengembalikan pemerintah RI ke Yogyakarta. Pada 6 Juli 1949, Soekarno dan Hatta kembali ke Yogyakarta.
Sehari setelah pengakuan kedaulatan dari Pemerintah Belanda sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 28 Desember 1949, Rombongan Presiden Soekarno kembali ke Jakarta dengan menggunakan pesawat Dakota milik Garuda Indonesia Airways.
Perpindahan ibu kota kembali ke Jakarta ini tertuang dalam UUD Sementara tahun 1950 dalam pasal 46 yang menyebut: “Pemerintah berkedudukan di Jakarta, kecuali jika dalam hal darurat pemerintah menentukan tempat yang lain”.
Dengan demikian secara otomatis fungsi Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan republik yang berlangsung selama kurang lebih empat tahun berakhir. Pada 17 Agustus 1950 pemerintahan Republik Indonesia secara penuh kembali ke Jakarta.
Advertisement